INDRAGIRI.com, OPINI - Di tengah zaman yang gaduh oleh wacana kebebasan tanpa arah, manusia tak jarang terjerumus dalam kegamangan batin dan disorientasi moral. Peradaban modern yang mendewakan otonomi individu secara halus mengikis kesadaran spiritual yang paling mendasar: ketaatan kepada Allah dan rukun-rukun iman yang menjadi fondasi keyakinan, termasuk keimanan kepada para malaikat.
Keimanan kepada malaikat bukan sekadar doktrin metafisik, melainkan pilar teologis yang memancar ke dalam kesadaran moral dan spiritual seorang mukmin. Dalam lanskap batin ini, malaikat tampil bukan hanya sebagai makhluk langit, tetapi sebagai figur teladan ketundukan absolut kepada Allah, simbol keseimbangan psikis dan spiritual, serta representasi kehambaan yang total dan murni.
Malaikat merupakan deskripsi teologis yang meneguhkan posisinya sebagai makhluk yang secara totalitas berada dalam kesatuan kehendak Ilahi. Keimanan terhadap malaikat mengajarkan umat bahwa ada dimensi keberadaan yang sepenuhnya taat, tanpa cela pembangkangan.
Perspektif teologis keimanan kepada malaikat mengokohkan prinsip bahwa alam semesta ini tidak berjalan secara kebetulan, tetapi penuh keteraturan. Dan malaikat memainkan peran sebagai penjaga dan pelaksana hukum-hukum Ilahi. Dari Jibril sebagai penyampai wahyu, Mikail sebagai pembagi rezeki, hingga Malik penjaga neraka; semua menunjukkan bahwa dalam tatanan langit, ketaatan adalah hukum utama yang menggerakkan realitas. Maka iman kepada malaikat menjadi jembatan untuk mempercayai bahwa segala bentuk petunjuk Allah, baik yang tedapat dalam wahyu maupun takdir, berjalan melalui sistem spiritual yang tercatat bertahun-tahun yang lalu (Lauh Mahfudz).
Psikospiritual keimanan kepada malaikat mengandung ajaran yang amat mendalam: bahwa ketaatan bukan hasil tekanan jiwa, tetapi ekspresi iman. Malaikat tidak pernah melihat perintah Tuhan sebagai beban, karena iman mereka adalah struktur eksistensial permanen. Kontekstualitas manusia, ketaatan serupa semestinya lahir dari iman yang disinari oleh makrifatullah dan mahabbatullah, tidak dari ketakutan atau kebiasaan tanpa makna. Tetapi kesadaran akan spirit jiwa yang tumbuh internalitas diri.
Era kemodernan yang memuja kebebasan absolut, justeru keteladanan malaikat mengajarkan bahwa kebebasan spiritual hanya muncul ketika ego tunduk pada kehendak Allah. Keimanan kepada malaikat membuka kesadaran bahwa patuh, tiadalah bentuk dan sisi lemah, melainkan kuat; bukan terpaksa, tetapi sadar. Inilah realitas dari iman yang hidup: tidak berhenti pada pengakuan lisan, tetapi nyata dalam sikap hidup yang terus-menerus menuju spiritualitas dekat dengan sang pemilik jagat yaitu Allah Rabbul Jalil.
Malaikat adalah petugas loyalis yang merepresentasikan keimanan yang berwujud dalam amal dan integritas ruhani. Tidak ada perintah Tuhan yang mereka abaikan, tidak ada kelalaian dalam tugas. Ikrar meneladani malaikat, bukan hanya keyakinan, tetapi juga kesiapan untuk meniru ketaatannya, sejauh yang dimungkinkan oleh kodrat kemanusiaan.
Dalam tradisi sufistik, ketaatan para malaikat merupakan acuan bagi manusia yang sedang menempuh jalan menuju Allah. Tazkiyah al nafs, riyāḍah al-nafs, muḥāsabah, murāqabah, dan istiqāmah adalah bentuk-bentuk konkret dari upaya memancarkan iman kepada malaikat ke dalam kehidupan nyata. Sebab iman kepada malaikat tak bisa hanya bersifat pasif atau spekulatif; ia harus menjadi dorongan aktif untuk menyucikan jiwa dan stabilisasi langkah spiritual.
Beriman kepada malaikat bukan hanya memperkuat dimensi teologis seseorang, tetapi juga memberi arah dalam membangun karakter dan kesadaran spiritual. Setiap individu memiliki daya dorong yang kuat bagi mengikuti jejak kemanusiaannya yang memang sedari awal telah dititipkan potebsi fujr ( berlaku bejat). Bisikan hati yang mengajak pada kebaikan adalah kesanggupan menahan diri dari maksiat serta melepaskan diri nafsu bahimah yang merugikan siapapun.
Dunia boleh bergerak lebih cepat, namun ketaatan para malaikat tetap menjadi daya pengikat batin dan magnet keimanan, membimbing, dan motivasi menuju kesehatan jiwa paripurna serta merespon gejolak hati konsisten dalam meneladani ibadah para malaikat yang tidak fluktuatif.
Allāhu a‘lam bish-shawāb.
0 Komentar