Breaking News

Ketika Keserakahan Tambang Mengoyak Raja Ampat | Sofiandi, Ph.D

 


Saya ingin mengawali ini semua dengan beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban jujur, “ bagaimana mungkin sebuah pulau kecil yang menjadi bagian dari surga biodiversitas dunia bisa ditetapkan sebagai lokasi tambang ? Mengapa suara masyarakat adat dan anak-anak bangsa yang menolak, laporan-laporan ilmiah yang secara empirik memperingatkan, hingga kerusakan-kerusakan alam yang telah tampak nyata dengan mata telanjang, tetap tidak mampu menggerakkan negara untuk menghentikan sepenuhnya keserakahan ini?

Pulau Gag, salah satu bagian dari gugusan Raja Ampat, bukan sekadar hamparan tanah seluas 60 km². Ia adalah simpul kehidupan dari ekosistem laut dan darat yang saling terhubung, bagian dari eko-region paling kaya di dunia—rumah bagi 70% spesies terumbu karang yang dikenal manusia. Namun saat ini, pulau itu tengah berada di ambang kehancuran akibat tambang nikel yang terus dibiarkan beroperasi, meski empat izin lain telah dicabut oleh pemerintah.

Apa yang terjadi di Raja Ampat bukan sekadar persoalan teknis izin atau penyesuaian aturan tambang. Tidak hanya sekadar itu. Jauh lebih mendasar lagi, ini adalah cerminan dari bagaimana kita, sebagai bangsa, gagal memahami makna pembangunan berkelanjutan. 

Kendati pemerintah mengaku akan memverifikasi apakah kerusakan ekosistem benar-benar terjadi. Namun mengapa baru sekarang kita bicara soal verifikasi, kemarin ke mana saja? Tatkala sedimentasi, logam berat, dan kerusakan terumbu karang sudah mulai terlihat jelas oleh para penyelam dan segala bentuk ketidakwajaran yang diiringi dengan kecurigaan mulai menguak kepermukaan, semua baru sibuk bersuara? Parahnya, suara mereka terdengar sumbang pula?!

Yang paling menggelikan, bagaimana mungkin pemerintah sendiri melanggar undang-undang yang telah mereka tetapkan? UU No. 1 Tahun 2014 secara tegas melarang pertambangan di pulau kecil, dan ini telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2023. Akan tetapi, lain hal yang terjadi, contohnya, di Pulau Gag dengan luas yang jauh di bawah ambang batas 2.000 km². Berdasarkan UU tadi, Pulau Gag secara hukum dikategorikan sebagai pulau kecil. Maka, membiarkan pertambangan di pulau kecil ini berarti mengingkari hukum yang telah dibuat sendiri, sebuah ironi yang memilukan.

Sesungguhnya, tidak ada yang menolak kemajuan atau investasi. Bahkan kita harus terus bergerak maju dan membuka pintu buat investasi. Demikian pula halnya dengan komoditas nikel ini. Kita paham betul bahwa komoditas nikel kini menjadi komoditas penting dalam rantai pasok global, terutama untuk industri kendaraan listrik yang katanya lebih ramah lingkungan. 

Tapi, menambang nikel di wilayah dengan ekosistem serapuh Raja Ampat bukanlah wujud kemajuan. Itu justru kemunduran. Ia merupakan kompromi yang terlalu mahal, jika yang dikorbankan adalah warisan ekologi untuk generasi mendatang. Kita butuh kemajuan dan investasi, tapi bukan kemajuan dan investasi semacam itu.

Saya ingin mengajak kita semua belajar dari dua negara yakni Norwegia dan Kanada. Kenapa saya memilih kedua negara ini? Jawabannya ada di paragraf-paragraf selanjutnya di bawah ini. Sebagai clue, Norwegia dan Kanada tidak hanya kaya sumber daya alam, tapi juga “kaya visi” dalam mengelola sumber daya alam tersebut.

Norwegia adalah salah satu negara terkaya di dunia yang secara konsisten menempati peringkat atas negara dengan pendapatan per kapita tertinggi. Sekilas, sumber daya minyak dan gas bumi dianggap sebagai alasan utama tingginya income per kapita negara tersebut. Namun kunci kesuksesan Norwegia sejatinya terletak pada tata kelola sumber daya alam yang dimiliki. Norwegia berani menyeimbangkan eksploitasi sumber daya alam dengan perlindungan lingkungan. 

Negara ini menetapkan prinsip polluter pays—siapa pun yang menyebabkan kerusakan lingkungan, wajib membayar biaya pemulihan sepenuhnya, sekali-lagi, sepenuhnya, bukan setengah-setengah. Tak hanya itu, Norwegia juga membatasi eksploitasi pada wilayah-wilayah tertentu, dan melarang total aktivitas tambang dan pengeboran di zona-zona ekosistem sensitif, termasuk kawasan Arktik dan Lofoten yang mirip dengan kepulauan Raja Ampat. Arktik dihuni oleh kehidupan laut yang unik, seperti paus, anjing laut, dan burung laut. 

Sedangkan Lofoten terkenal dengan keindahan alamnya yang menakjubkan, perikanan yang subur (terutama ikan kod), dan industri pariwisata yang telah menjadi tulang punggung ekonomi lokal selama berabad-abad. Lofoten juga merupakan rumah bagi terumbu karang air dalam terbesar di dunia, yang sangat rentan terhadap gangguan. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menjadi dasar kebijakan mereka. Jika ada risiko kerusakan, lebih baik ditunda atau dihentikan, bukan malah “dicoba dulu, nanti lihat hasilnya.”

Norwegia pun tak bermain-main soal keterlibatan publik. Setiap izin tambang wajib melalui konsultasi dengan masyarakat lokal dan lembaga lingkungan independen. Tak ada “penyuluhan sepihak”, apalagi “persetujuan diam-diam.” Masyarakat punya hak veto dan negara mau mendengarkannya. Ini sejalan dengan tradisi friluftsliv mereka yang selalu dijunjung tinggi, filosofi hidup berdampingan dengan alam yang bukan sekadar slogan, jargon kampanye atau pencitraan, tetapi nilai hidup.

Sementara itu, Kanada, sebagai salah satu produsen logam dan mineral nonlogam terbesar di dunia (produsen potas terbesar di dunia, produsen niobium dan uranium terbesar kedua, serta produsen berlian dan paladium terbesar ketiga di dunia), memiliki sistem penilaian dampak lingkungan (Environmental Impact Assessment, EIA) yang ketat dan transparan. Setiap proyek pertambangan skala besar harus melewati proses EIA nasional yang melibatkan pakar multidisiplin, pemerintah daerah, komunitas adat (Indigenous communities), dan LSM lingkungan. Proses ini bukan formalitas administratif, melainkan forum substantif untuk menguji kelayakan ekologis dan sosial.

Kanada juga menerapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), terutama dalam wilayah adat. Artinya, tidak ada satu pun kegiatan pertambangan yang boleh berlangsung tanpa persetujuan penuh dari komunitas adat, yang diberikan secara bebas, sebelum proyek berjalan, dan berdasarkan informasi yang lengkap. FPIC di Kanada bukan sekadar basa-basi namun norma hukum yang secara tegas diberlakukan.

Lebih jauh, Kanada telah mengembangkan mining closure plans—rencana pascatambang yang harus diajukan bahkan sebelum izin tambang diterbitkan. Jadi sejak awal, negara memastikan bahwa tambang bukan hanya bisa dibuka, tetapi juga bisa ditutup dengan tanggung jawab penuh. Reklamasi dan pemulihan lahan adalah kewajiban, bukan konsekwensi yang bisa dipilah-pilih untuk opsi lepas tangan.

Menariknya, kedua negara ini tidak mengelola tambang dengan dalih "menggenjot investasi", melainkan dengan prinsip intergenerational equity—keadilan antar-generasi. Mereka sadar bahwa keuntungan ekonomi hari ini tidak boleh dibayar mahal oleh kerusakan yang diwariskan kepada anak cucu esok hari.

Mari kita jujur. Menambang di pulau kecil tidak mungkin tidak merusak. Setiap lubang galian akan memicu erosi, setiap kendaraan berat akan menghancurkan vegetasi, dan setiap sedimentasi akan mencemari laut. Apalagi di Raja Ampat, di mana arus laut kuat dapat membawa polutan hingga puluhan kilometer jauhnya. Maka jangan heran jika terumbu karang yang jauh dari lokasi tambang pun ikut mati. Ini bukan prediksi. Ini kenyataan ekologis yang sedang terjadi.

Maka ini bukan hanya soal Raja Ampat. Ini soal apakah kita, sebagai bangsa, masih punya akal sehat dalam mengelola kekayaan alam kita. Apakah kita mau terus mengulangi kesalahan yang pernah terjadi di Freeport dan Batu Hijau. Keduanya merupakan contoh nyata di mana tambang menghasilkan devisa besar, tapi juga menyisakan luka ekologis yang dalam dan tak tersembuhkan.

Pertambangan di Raja Ampat ini memberi sinyal kepada dunia bahwa Indonesia masih belum siap menjadi negara yang memimpin dalam pembangunan berkelanjutan. Bahwa kita lebih nyaman menjadi bangsa yang mengalah pada investor daripada berdiri tegak membela bumi kita sendiri.

Padahal kita bisa memilih jalan lain. Jalan yang berpihak pada alam, pada rakyat, dan pada masa depan. Karena pada akhirnya, negara yang merusak tanah airnya demi keuntungan sesaat adalah negara yang sedang menggali kuburannya sendiri.

Ketika kita menyaksikan pertambangan nikel di pulau-pulau kecil di jantung eko-region Raja Ampat ini dengan pengawasan yang lemah, partisipasi warga yang diabaikan, dan hukum yang dimanipulasi, maka jelaslah bahwa kita belum belajar dari siapa pun. Kita masih menambang seperti di era kolonial—merampas tanpa menggunakan hati dan pikiran.

Padahal kita bisa, dan seharusnya, meniru jalan Norwegia dan Kanada. Bukan karena mereka sempurna, tetapi karena mereka bersedia mengakui batas-batas alam dan batas-batas moral. Sementara kita, justru sedang menguji batas kesabaran alam semesta.

 -------------------------

Sofiandi, Ph.D adalah peneliti dan pengajar di bidang studi Islam, pendidikan, dan masyarakat. Ia aktif menulis dan memberikan kritik sosial terhadap isu-isu pembangunan manusia di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close