INDRAGIRI.com, OPINI - Ungkapan “mendahulukan adab daripada ilmu” bukanlah hal baru. Ini adalah prinsip yang sudah sangat dikenal, terutama di kalangan pesantren di seluruh nusantara.
Adab sendiri merujuk pada nilai-nilai etika, kesopanan, tata krama, dan akhlak mulia yang mencerminkan perilaku luhur seorang Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi Islam, adab adalah ekspresi lahiriah dari kesadaran spiritual dan nilai-nilai ilahiyah.
Sementara itu, ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar rasionalitas, empirisme, dan prinsip-prinsip sistematis, objektif, serta dapat diverifikasi. Ilmu dan adab sejatinya bukan dua hal yang terpisah. Keduanya justru saling melengkapi, menjadi fondasi penting dalam membangun peradaban yang utuh, bermakna, dan berkelanjutan.
Adab dan Ilmu: Jalan Menuju Akhlak Mulia
Ketika adab dan ilmu menjadi bagian dari kesadaran akal, hati, dan jiwa manusia, maka akan lahir pribadi yang berakhlak mulia. Sikap mental yang positif akan terlihat dalam perilaku nyata, dan kehadiran sosok beradab dan berilmu akan sangat dibutuhkan dalam masyarakat.
Jika keduanya telah menyatu dalam diri seseorang, maka kritik etis pun lahir sebagai bentuk tertinggi dari tanggung jawab moral dan intelektual. Kritik yang berlandaskan adab dan ilmu bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan, tapi untuk memperbaiki. Ia adalah bentuk kepedulian, bukan celaan. Ia muncul dari integritas dan keinginan untuk menegakkan kebaikan dalam masyarakat, terutama dalam konteks kekuasaan.
Dalam sejarah Islam, para ulama besar tidak segan menyuarakan kebenaran, meskipun kepada penguasa. Mereka tidak membangkang, tapi menunaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sebagai upaya menjaga keadilan.
Teladan Kritik Etis: Hasan al-Bashri dan Ahmad bin Hanbal
Salah satu contoh tokoh besar yang berani menyampaikan kritik etis adalah Hasan al-Bashri. Ia menasihati penguasa dengan berkata:
"Wahai anak Adam, engkau bukanlah raja, melainkan pegawai yang dipercaya Allah untuk menegakkan keadilan. Jika tidak, engkau adalah pengkhianat."
Perkataan ini menunjukkan bagaimana spiritualitas dan moralitas berpadu dalam menyuarakan keadilan.
Contoh lain adalah Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali, yang menolak keras doktrin "Al-Qur'an adalah makhluk" yang dipaksakan oleh negara. Ia memilih dipenjara dan disiksa, daripada tunduk pada kekuasaan yang mencampuri aqidah. Sikap ini adalah contoh nyata dari kritik etis—teguh dalam keyakinan, namun tetap beradab.
Menuju Indonesia Emas: Tantangan dan Tanggung Jawab Etis
Indonesia adalah bangsa yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan agama. Kemajemukan ini adalah kekuatan, namun juga tantangan besar jika tidak dikelola dengan bijak. Pemerintahan yang inklusif dan sistem pendidikan berbasis multikulturalisme sangat dibutuhkan agar semangat saling menghargai tumbuh sejak dini.
Sayangnya, saat ini kita masih dihadapkan pada persoalan serius: maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial yang semakin tajam. Ini bukan hanya melukai nalar publik, tapi juga mengancam persatuan bangsa. Di tengah arus informasi digital yang deras, ruang publik justru penuh dengan narasi yang memecah belah.
Literasi digital yang rendah dan lemahnya penegakan hukum membuat kondisi ini makin memprihatinkan. Jika dibiarkan, akan memudarkan nilai-nilai gotong royong dan memicu saling curiga antar kelompok.
Kritik Etis sebagai Solusi
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dari semua pihak—negara, tokoh agama, akademisi, media, dan masyarakat—untuk menghadirkan ruang dialog yang sehat dan etis. Informasi yang disebar harus mendidik, bukan memecah. Komunikasi publik harus mengedepankan akhlak dan etika.
Kritik etis adalah bagian penting dalam demokrasi. Ia bukan provokasi, melainkan ajakan untuk memperbaiki kebijakan, perilaku elit, dan struktur sosial yang timpang. Kritik etis harus dibingkai dengan adab dan ilmu—agar membangun, bukan meruntuhkan.
Allahu a'lam bish-shawab.
0 Komentar