Dalam Konteks Indonesia, Pendekatan Penegakan Hukum Lebih Tepat

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Dalam Konteks Indonesia, Pendekatan Penegakan Hukum Lebih Tepat

Minggu, 11 Oktober 2020


INDRAGIRI.com, TEMBILAHAN
- Webinar Polemik Pelibatan Tni Dalam Penanganan Aksi Terorisme Kerjasama Academics TV dengan  Center for Instructional Development (CID) Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau yang dilaksanakan pada 10 Oktober 2020 menyimpulkan bahwa peyusunan Peraturan Presiden (Perpres) dalam Penanganan Aksi Terorisme harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Beberapa hal yang patut diperhatikan terkait substansi yang masih menjadi masalah menurut publik prinsip dari perumusan Peraturan Presiden ini adalah mendukung penanganan terorisme yang efektif dan mencegah adanya masalah baru akibat tumpeng tindih peran penegak hukum dan TNI. Lebih jauh lagi jangan sampai Perpres ini menjadi ruang bagi arus balik demokrasi. 

Kegiatan yang menghadirkan 200 peserta melalui aplikasi zoom dan 450 penonton live melalui kanal Youtube Acemic TV ini menghadir pembicara dari kalangan akademisi dari perguruan tinggi di Riau. 

Dr. Mexasai Indra, SH. MH, Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Riau berbicara tentang proses regulasi yang mengatur tugas pokok TNI dan Polri yang dilakukan paska 1998. Ada perubahan paradigma di Kepolisian menjadi aparat penegak hukum sipil dengan kewenangan di bidang Kemanan dan Ketertiban Masyarakat. Wilayah penegakan hukum (Law Enforcrment) sejatinya tidak boleh dimasuki aparat non penegak hukum. Pelibatan TNI dalam rangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hendaknya berdasarkan otorisasi dari pemerintah dan dengan persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam Undang-undang TNI, agar Perpres tidak bertentangan dengan Undang-undang. Dr Mexasai menggarusbawahi bahwa pelibatan TNI harus bersifat perbantuan, bukan tugas utama dalam hal situasi tidak bisa ditangani aparat penegak hukum.

Peri Pirmansyah, SH. MH, Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUSKA Riau dan ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum UIN  SUSKA Riau menyampaikan pandangan bahwa pemisahan peran TNI dan Polri telah diatur dalam UUD 1945, dan tidak boleh dibuat rancu kembali melalui perundang-undangan yang akan dibentuk. Perpres pelibatan TNI hendaknya mengatur tentang teknis pelibatan TNI dalam kerangka ancaman pertahanan, atau ancaman keamanan yang tidak mungkin ditangani aparat kepolisian. Dalam tugas ini harus diperhatikan rancangan yang tepat agar tidak tumpeng tindih dengan aparat penegak hukum, tidak ada kewenangan instansi lain yang diambil, dan tidak mengamputasi kewenangan yang sudah ada di TNI dan instansi lain. 

Dr. Erdianto Effendi, SH., M.Hum, dosen hukum pidana FH UNRI, dosen luar biasa S-2 di UIR dan S-3 di UNJA memberikan uraian tentang perlunya kejelasan peran TNI dan penegak hukum, dengan membuka penjelasan terkait perbedaan antara terorisme yang menjadi ranah penegak hukum dan makar yang dapat menjadi ranah militer dalam system hukum kita. Dalam konteks pidana TNI hendaknya difikuskan pada keamanan negara, seperti serangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan simbol negara, sementara terorisme cenderung mentarget masyarakat dengan dampak ‘ketakutan’ yang diciptakan dari aksi terror mereka. TNI tidak dapat berperan dapam penegakan hukum, tetapi dapat bergabung dalam aspek lain, seperti dalam organisasi BNPT. Dalam hal TNI diturunkan ke lapangan, maka ancaman terorisme yang teridentifikasi sudah harus melampaui ancaman tindak pidana, tetapi bereskalasi menjadi ancaman keamanan nasional atau internasional.  

Dardiri, MA , Alumni Mc.Gill University Montreal, Kanada dan Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran, serta peneliti pada Institute of South-east Asian Studies berbicara tentang kerangka dan pendekatan sosiologis untuk penanganan terorisme di Indonesia. Setelah menjelaskan tentang 2 model penanganan terorisme di dunia (yaitu war model dan Criminal Justice model), Dardiri menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia pendekatan yang akan dipilih harus memperhatikan banyak factor seperti prinsip HAM, demokrasi, profesionalitas dan akuntablitas, sehingga pendekatan penegakan hukum lebih tepat.