Sofiandi : Palestina VS Israel, Siapa Yang Menang ?

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Sofiandi : Palestina VS Israel, Siapa Yang Menang ?

Pak JAYEN
Jumat, 28 Mei 2021

Gambar : Ilustrasi Bendera Palestiva dan Israil By Google Images

INDRAGIRI.com, BATAM - Konflik bersenjata antara pasukan Israel dan Palestina (Hamas) di Jalur Gaza berkesudahan dengan gencatan senjata. Diawali deklarasi sepihak oleh Kantor Perdana Menteri Israel pada hari Kamis (20/05/2021) dan disambut keesokan harinya oleh pihak Hamas. Dunia menarik nafas lega. Sekalipun kenyataan dilapangan menyisakan tangis dan air mata bahkan menurut catatan pejabat Kesehatan di Gaza, 232 korban tewas di pihak Palestina termasuk diantaranya 65 anak-anak dan 39 wanita dengan lebih dari 1.900 orang cedera akibat luka-luka.

Kontan setelah gencatan senjata tersebut resmi diumumkan oleh Israel dan Palestina, klaim kemenangan bergema di kedua belah pihak. Palestina menyatakan diri sebagai pemenang. Khalil al-Hayya, seorang pejabat senior Hamas dalam pidatonya di Jalur Gaza menyatakan kesepakatan gencatan senjata adalah wujud kemenangan mereka dalam perlawanan terhadap Israel. Kesan ini semakin diamini oleh segenap rakyat Palestina dengan fakta bahwa gencatan senjata tersebut awalnya diproklamirkan secara sepihak oleh Israel, bukan oleh pihak Palestina. Al-Hayya juga menambahkan bahwa Israel telah gagal menghancurkan infrastruktur tempur Hamas dan para milisi Hamas saat ini masih siaga di sejumlah terowongan. Tak ayal, rakyat Palestina, khususnya pendukuk Jalur Gaza larut dalam sukacita dan merayakannya dengan gegap gempita. Mereka turun ke jalan, meneriakkan takbir sebagai ekspresi kebebasan dari rasa takut yang menghantui selama 11 hari kebelakang.

Dilain pihak, Israel dalam pernyataannya mengatakan kampanye udara mereka telah membuat pencapaian signifikan dan beberapa di antaranya belum pernah terjadi di Gaza, wilayah yang diblokade Israel sejak 2007 atau sejak dipimpin Hamas. Perihal pengumuman gencatan senjata secara sepihak tersebut, menurut Pemerintah Israel, merupakan usulan dari Mesir dan Qatar yang sebelumnya telah menawarkan berbagai solusi.

Lantas, siapa yang sesungguhnya menang? Tentu sebenarnya pertanyaan semacam ini tidak etis untuk dikemukakan tatkala kita mencoba mengulas sebuah tragedi kemanusiaan. Namun sekiranya ingin melihat eskalasi konflik yang telah mengakar dalam sejarah peradaban dunia ini, artinya dari dulu hingga sekarang, nampaknya kita perlu juga sekali-kali mengabaikan aspek etiks. Setidaknya sebagai acuan untuk melukiskan sejauh mana pertikaian ini sudah mencapai titik destruktifnya lalu kemudian diharapkan berakhir untuk selama-lamanya.

Tapi sebelum menjawab siapa yang tampil sebagai pemenang, kita harus menarik alur cerita agak sedikit ke belakang. Sebenarnya, sebelum konflik ini terjadi, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu tengah berada dalam posisi terjepit. Dia saat ini sedang menghadapi pengadilan di dalam negeri karena dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi. Sebagai bentuk “frustasi” yang dirasakan saat ini, dia mengganti Kepala Kepolisian Israel dan melantik seorang Kepala Polisi baru yang terkenal dengan karakter yang sangat militan dan keras. Konsekwensinya tentu akan sampai pada hubungan berdarah antara Israel dan Palestina. Bisa kita bayangkan bagaimana bertambah bengisnya polisi Israel terhadap rakyak Palestina. 

Maka, konflik senjata 11 hari di Bulan Mei 2021 ini tidak bisa dianggap sebagai konflik antara kedua belah pihak semata. Justru kali ini dunia (kita semua) kudu waspada dan berhati-hati. Karena dengan dukungan dana dan persenjataan yang unlimited dari Pemerintah Amerika Serikat ditambah lagi dengan invisible support dari PBB, Israel (Netanyahu) bisa berbuat apa saja bahkan hingga mengancam keamanan dunia dan kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dan untuk menciptakan skenario pengalihan, apapun bisa dilakukan. Setidaknya, saat ini, pengadilan serta lawan-lawan politik dalam negeri disibukkan oleh peperangan dan secara tidak langsung meneggelamkan kasus yang sedang menjeratnya. 

Tak ayal, dunia disuguhkan berita penyerangan di Syekh Jarrah, Jerussalem Timur, dan penyerangan terhadap Muslim Palestina di dalam Masjidil Aqsa. Penjarahan atau pencaplokan wilayah terus menerus dilakukan. Pihak Israel menyatakan wilayah tersebut diambil alih oleh Pemerintah Israel dan rakyat Palestina diperintahkan untuk pergi (diusir) dan dinyatakan tidak berhak lagi menempati tanah yang selama berabad-abad mereka tempati secara turun temurun. Culasnya lagi, setelah tanah tersebut diambil oleh Pemerintah Israel, kemudian dibagi-bagikan kepada penduduk Israel untuk ditempati sebagai kawasan yang baru. Inilah yang terus menerus memantik amarah rakyat Palestina, terutama Hamas, karena mereka tidak terima diperlakukan semena-mena dan tidak adil. 

Tapi sekali lagi, secara umum, konflik kali ini ada nuansa frustasi pribadi di dalamnya. Dan lihatlah efeknya sekarang. Bahkan, dengan tanpa malu mempertontonkan tabiat khianatnya, polisi Israel tetap saja memuntahkan peluru ke arah orang Palestina selang beberapa jam setelah pengumuman gencatan senjata.

Dari sini, meskipun kita harus bersedih hati (lebih dari 70.000 orang di Gaza mengungsi kehilangan tempat tinggal), namun kita melihat dunia mulai berubah. Ada perubahan sikap manusia dalam memandang konflik kali ini. Termasuk di Amerika Serikat sendiri.


Kita sangat paham dan mengetahui betapa selama ini Amerika Serikat berdiri side by side dengan Israel (Yahudi). Bahkan sudah rahasia umum, seorang yang ingin menjadi presiden AS harus setia mati demi menegakkan kepenting-kepentingan Yahudi dalam bentuk apa saja, di Amerika, di Israel ataupun dibelahan dunia lain. Namun kali ini terjadi perubahan yang luar biasa. Sudah mulai bermunculan individu-individu, media-media, suara-suara yang berimbang, baik secara gamblang menjadi suporter-suporter Palestina ataupun tidak secara langsung pro Palestina. Sebelumnya, jangankan terang-terangan menyuarakan hak Palestina, berkomentar imbang saja sudah dicap sebagai anti-Israel.

Perubahan sikap dunia ini sangat terasa. Bahkan negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim saja sudah mulai berani meneriakkan suara kemanusiaan untuk Palestina. Bendera Palestina seakan menjadi viral dibentang dan dikibarkan dimana-mana. Fenomena yang tidak diperkirakan dan tidak terbayangkan sebelumnya. Bayangkan, Prancis yang mana masih hangat diingatan kita keukeuhnya mereka dalam kasus penghinaan kepada Nabi SAW, jalanannya dipenuhi oleh para pengunjuk rasa yang malah mencap kelakuan Israel nini sebagai sebuah agresi yang barbarian. Anda tahu Kanada? Dan anda tahu bagaimana para pekerja seni di Dunia Barat sana? Justru lebih dari 1.000 artis dan pekerja seni budaya di Kanada menandatangani pernyataan yang menyerukan pemerintah Kanada untuk menjatuhkan sanksi militer dan ekonomi kepada Israel. Bahkan di lokasi lain, tidak sedikit uskup, pastur, rohaniawan dari agama lain yang melakukan hal yang sama yakni memberikan dukungan dan empati kepada rakyat Palestina, dan banyak mantan tentara Yahudi sendiri yang mengutuk tingkah laku pemerintahnya terhadap orang-orang Palestina.

Tidak hanya di dunia nyata, dukungan penuh juga muncul di dunia maya. Twitter penuh dengan dukungan terhadap Palestina. Saking kuatnya arus dukungan tersebut, mengusik salah satu pihak seperti Facebook yang akhirnya menutup/memblokir akun-akun yang secara terbuka menyatakan keberpihakannya kepada perjuangan Palestina. Belakangan pihak Facebook melalui perwakilannya memohon maaf kepada rakyat Palestina atas tindakan pemblokiran yang telah mereka lakukan. Sudah tentu hal ini demi menyelamatkan bisnis Facebook itu sendiri.

Jadi, siapa yang menang? Hamas ditengah klaim kemenangan yang mereka suarakan, namun nyatanya Gaza tampak jelas luluh lantak, babak belur, hancur lebur. Sedangkan Israel dengan superioritasnya malah lebih awal mengumumkan (baca: meminta) gencatan senjata, meskipun banyak orang pesimistis akan jaminan keamanan bagi rakyat Palestina karena rekam jejak Israel yang selalu ingkar janji.

Setidaknya, untuk menerka-nerka jawaban ini, kita bisa melihat apa yang diungkapkan oleh Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS. Dia menyerukan pentingnya memikirkan cara agar rakyat Palestina bisa hidup dengan dignity (marwah/harga diri) sebagai manusia. Sebuah seruan yang tidak pernah dicetuskan oleh Amerika Serikat selama ini. 

Nyatalah bahwa dunia dan manusia sudah berubah dalam menyikapi kebrutalan Israel terhadap orang Palestina saat ini. Maka jawabannya? Silahkan anda simpulkan sendiri.