Antara Ham PBB dan Ham Islam Oleh Sofiandi, B.A., M.H.I., Ph.D

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Antara Ham PBB dan Ham Islam Oleh Sofiandi, B.A., M.H.I., Ph.D

Pak JAYEN
Minggu, 06 Maret 2022


INDRAGIRI.com, BATAM - Ide tentang HAM, bagi dunia Barat, merupakan produk perjuangan social class yang secara militant menuntut ditegakkannya nilai-nilai dasar persamaan dan kebebasan. Perjuangan social class ini secara konteks historis dapat ditelusuri melalui momen penting dalam sejarah peradaban bangsa Barat dengan lahirnya Magna Carta (Piagam Agung) pada 15 Juli 1215 di Inggris. Piagam ini merupakan bukti nyata dari perjuangan tersebut yang merupakan pemberontakan para baron Inggris terhadap Raja John. Konten penting dari Magna Carta antara lain, pertama, kemerdekaan seseorang tidak boleh dirampas jika tidak berdasarkan undang-undang atau keputusan hakim. Kedua, pajak tidak boleh dipungut semata-mata atas perintah raja.

Rentetan penting selanjutnya dari sejarah HAM di dunia Barat tercermin dari penandatanganan Bill of Rights oleh Raja Willem II di Britania Raya pada tahun 1689 sebagai hasil dari sebuah revolusi yang dikenal dengan Glorius Revolution.


Pasca Perang Dunia II, dianggap sebagai periode terpenting dalam sejarah HAM dunia Barat. Ditandai dengan Universal Declaration of Human Rights oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Deklarasi ini pada awalnya masih belum bersifat mengikat secara hukum. Baru kemudian pada tanggal 16 Desember 1966, lahirlah Convenant dari sidang umum PBB yang mengikat bagi negara-negara yang meratifikasinya. Bagian terpenting dari konten convenant 1966 tersebut adalah pertama, perjanjian tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya. Kedua, perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik.


Berdasarkan historical context ini, dapat dilihat bahwa konsepsi HAM dengan berbagai perjanjian yang mengikutinya memandang manusia dalam konteks sekularisme dan agama tidak dapat dijadikan elemen penting dalam tatanan yang mengikat masyarakat, negara atau dalam hubungan internasional. Seakan agama tidak memiliki kompetensi sedikitpun terhadap hukum karena hukum harus ditegakkan secara adil tanpa memperdulikan agama yang dianut.


Terhadap hal ini, muncul respon dari kalangan dunia Islam. Setidaknya, ada 3 tanggapan dunia Islam terhadap konsep HAM diatas. Pertama, menolak secara keseluruhan. Kedua, menerima secara keseluruhan. Ketiga, ambigu, artinya adanya keinginan untuk tetap setia dengan Syariah di satu sisi, dan keinginan untuk menghormati tatanan serta hukum internasional pada sisi lain.


Sikap atau tanggapan pertama yang menolak secara keseluruhan konsep HAM PBB disebabkan oleh keyakinan bahwa Syariah bersifat kekal, independent, dan merupakan system hukum yang paling absolut, benar dan sempurna. Oleh karenanya, konsep HAM PBB dianggap sebagai bualan kosong dan bertentangan dengan Islam. Ditambah lagi bahwa konsep tersebut dipandang identic dengan agama selain Islam. Menurut golongan ini, Islam harus membangun konsep HAM nya sendiri.


Sikap kedua yang menerima konsep HAM PBB secara total didasarkan pada pandangan bahwa Universal Declaration of Human Rights dan perjanjian internasional lainnya merupakan hasil elaborasi pemikiran manusia yang berlandarkan nilai-nilai moralitas dan juga bagian dari khasanah kemanusiaan dan oleh karena itu, tidak diperlukan justifikasi Islam terhadapnya.


Lain lagi bagi mereka yang bersikap menerima setengah-setengah dan menolak setengah-setengah. Kelompok ini berkeyakinan bahwa Syariah bersifat kekal, universal dan harus dijadikan landasan hidup. Namun bukan berarti harus menolak gagasan deklarasi HAM PBB tersebut. Karena ada hal yang sejalan dengan ajaran Islam di dalamnya, seperti toleransi, menghormati martabat manusia dan sebagainya. Sikap ambigu muncul karena memang terdapat beberapa perbedaan antara ajaran Syariah dengan ketetapan dalam deklarasi HAM PBB tersebut. Contohnya dalam hal pernikahan beda agama.


Pernikahan beda agama, menurut HAM PBB, diperbolehkan oleh siapa saja karena menikah merupakan hak asasi manusia. Namun dalam Islam, aturan tentang pernikahan, terutama dalam pernikahan beda agama, hanya boleh dilakukan oleh laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab. Jika perempuan Muslimah menikahi laki-laki nonmuslim maka hukumnya haram.


Terlepas dari tiga pandangan diatas, yang pasti bahwa ajaran Islam telah mengajarkan tentang HAM sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber normatif. Selain itu, Rasulullah Saw dan para Sahabat-Nya telah mempraktikkannya dan ini, antara lain, dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah ketika Nabi memimpin negara Madinah yang dihuni penduduk beragam agama. Dalam piagam tersebut setidaknya terdapat dua ajaran pokok yang merefleksikan substansi dari HAM: Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa; Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip: (1) berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga; (2) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; (3) membela mereka yang teraniaya; (4) saling menasihati; dan (5) menghormati kebebasan beragama.


Formulasi yang lebih sistematis dari HAM di dunia Islam dijumpai dalam Deklarasi Universal tentang HAM dalam Islam (Al-Bayān al-Alam ‘an Huqūq al-Insān fī al-Islām) pada September 1981 di Paris. Karakteristik pokok dari rumusan HAM dalam deklarasi tersebut adalah, pertama, Islam mempunyai konsep HAM yang genuine yang


sudah dirumuskan sejak abad ketujuh Masehi. Sehingga HAM bagi Islam bukanlah suatu lembaran baru sebagai refleksi deklarasi HAM Barat.


Kedua, seluruh kandungan deklarasi yang dirumuskan berdasarkan alQur’an dan al-Hadits sebagai sumber yang tidak dapat disangkal kebenarannya. Ketiga, apa yang dimiliki manusia bukanlah hak-hak yang sudah dibawanya sejak lahir, melainkan preskripsi-preskripsi yang dititahkan kepada manusia, yang didapat dan direduksi dari sumber-sumber yang ditafsirkan sebagai titah-titah Ilahi yang meliputi kewajiban dan hak. Keempat, Syariah menjadi kriteria kebenaran final dan satu-satunya untuk menilai semua tindakan manusia.


Deklarasi yang hampir sama ditemukan pada rumusan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration of Human Right in Islam). Deklarasi ini diumumkan pada tahun 1990 oleh negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Deklarasi ini baru dapat disetujui oleh semua anggotanya setelah dilakukan perdebatan di antara mereka selama 13 tahun.


Deklarasi Kairo memuat 25 pasal, substansi dasar yang menjadi titik tumpu pelaksanaan HAM di dunia Islam, yaitu: Pertama, segala unsur HAM dijunjung tinggi, tetapi seluruhnya harus tunduk di bawah Syariah (Pasal 24); Kedua, satu-satunya acuan adalah syari’ah Islam (Pasal 25), misalnya dalam menggunakan hak politik seperti hak mengutarakan pendapat secara bebas, dibatasi oleh ketentuan yang tidak bertentangan dengan asas-asas Syariah.


Dari sini, setidaknya didapatkan benang biru antar kedua konsep besar mengenai HAM ini. Namun yang harus digaris bawahi adalah bahwa diantara konsep HAM PBB dan Islam, memiliki landasan dan objektifitas yang sama, yakni menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan kehambaan bahwa setiap dari manusia yang hidup di dunia ini adalah makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri. Harus saling berangkulan dan Bersatu yang oleh karenanya, rasa hormat, rasa cinta, rasa menghargai itu merupakan sebuah keniscayaan.