KILAS SEJARAH PERBANKAN SYARIAH DI DUNIA ISLAM DAN DI INDONESIA

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

KILAS SEJARAH PERBANKAN SYARIAH DI DUNIA ISLAM DAN DI INDONESIA

Rabu, 01 Februari 2023

 


INDRAGIRI.com, OPINI - Bank Syariah yang kita kenal di Indonesia saat ini, mulai dari Bank Muamalah hingga yang terupdate Bank Syariah Indonesia (BSI) merupakan sebuah hasil pergulatan ijtihadi dan perjuangan sektor finansial yang tidak mudah. Banyak fase suram yang telah dilewati dengan beragam kondisi politik, ekonomi, hukum dan sosial hingga intervensi luar negeri. Walhasil, umat Islam memiliki rumah ekonomi sektor keuangannya dalam bentuk BSI.

 

Fenomena yang sama juga dihadapi oleh negara-negara Islam atau mayoritas muslim lainnya. Pakistan malah memulai dengan kegagalan. Negara-negara lain justru menjadi pragmatis akibat kegagalan yang terjadi. Namun kemudian jalan terbuka setelah Mesir berhasil membuat terobosan yang akhirnya dapat diikuti oleh negara-negara Islam lainnya, sekalipun, tantangan-tantangan yang silih berganti datang menghadang. Bagaimana rekam sejarah perbankan Islam masa modern, di dunia dan di Indonesia? Berikut kilasannya.

 

Kemunculan Perbankan Syariah Modern

 

Dalam keuangan Islam, bunga uang digolongkan sebagai riba yang artinya haram. Di tengah maraknya praktek bunga dalam dunia perbankan dunia maka, di beberapa negara Islam dan mayoritas Muslim, muncul  suara dan keinginan pendirian lembaga perbankan alternatif non-ribawi. Melihat idenya untuk keluar dari mekanisme suku bunga, pendirian Bank Syariah pada awalnya menimbulkan banyak keraguan. Situasi ini muncul karena sistem perbankan bebas bunga adalah konsep yang tidak mungkin dan tidak biasa dan dengan demikian menimbulkan pertanyaan bagaimana bank syariah akan membiayai operasi mereka di masa depan.

 

Konsep teoritis perbankan syariah pertama kali muncul pada tahun 1940-an dengan ide bank bagi hasil. Dalam hal ini, bank bagi hasil merupakan ide dari banyak para ilmuan Islam termasuk diantaranya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952).

 

Upaya pertama dilakukan oleh Pakistan. Pakistan mendirikan bank bebas bunga untuk mengelola dana haji pada pertengahan 1940-an namun tidak begitu berhasil. Langkah selanjutnya dalam membangun operasi perbankan Islam yang paling sukses dan inovatif di zaman modern adalah di Mesir pada tahun 1963 dengan pendirian Bank Tabungan Lokal Mit Ghamr. Bank ini populer di kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Sayangnya, karena gejolak politik di Mesir, Mit Ghamr mulai menurun drastis sehingga operasinya diambil alih oleh Bank Nasional Mesir dan Bank Sentral Mesir pada tahun 1967. Pengambilalihan tersebut mengakibatkan pengabaian prinsip tanpa bunga yang telah dilakukan oleh Mit Ghamr, sehingga bank ini kembali beroperasi dengan basis bunga. Konsep bebas bunga akhirnya dihidupkan kembali pada masa rezim Sadat pada tahun 1971 dengan berdirinya Nasser Social Bank. Tujuan bank adalah membuka kembali bisnis di bawah filosofi praktik yang pernah berhasil dilakukan oleh Bank Mit Ghamr.

 

Ulama jumhur (mayoritas/mayoritas) sepakat bahwa bunga bank adalah riba dan karenanya haram. Pada Konferensi Kajian Islam di Kairo, Mesir pada Mei 1385 Hijriah atau Mei 1965, 150 ulama besar sepakat bahwa semua hasil pinjaman dalam bentuk apapun dilarang, termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional juga telah mengeluarkan fatwa pelarangan bunga bank.

 

Para ulama seperti Abu Zahrah, Abu 'ala al-Maududi, Abdullah al-'Arabi, dan Yusuf Qardhawi telah menyatakan bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba yang dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh melakukan transaksi dengan bank yang menggunakan sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau tidak dapat dihindari. Menurut Yusuf Qardhawi, tidak ada yang namanya keadaan darurat atau keadaan yang tidak dapat dihindari, dan beliau secara mutlak melarangnya. Al-Syirbashi mendukung pandangan ini, dengan menyatakan bahwa bunga yang diperoleh dari menyimpan uang di bank adalah riba, baik dalam jumlah kecil maupun besar. Namun, dalam situasi darurat, agama memperbolehkan meminjam dari bank dengan bunga.

 

Keberhasilan Bank Mit Ghamr menginspirasi umat Islam di seluruh dunia, meningkatkan kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam masih dapat diterapkan dalam bisnis modern.

 

Ketika OKI akhirnya didirikan, serangkaian konferensi internasional diadakan, salah satunya difokuskan pada pendirian bank Islam sebagai bagian dari agenda ekonominya.

 

Bank Islam swasta pertama adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan pada tahun 1975 oleh sekelompok pengusaha Muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977, Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan serta Kuwait Finance House di Kuwait didirikan.

 

Secara internasional, perkembangan perbankan syariah pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Pertemuan Tingkat Menteri Organisasi Konferensi Islam tahun 1970 di Karachi, Pakistan, Mesir mengusulkan pembentukan Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan dan Federasi Bank Islam untuk menggantikan sistem keuangan berbasis bunga dengan skema bagi hasil. Hal ini mengarah pada pembentukan Bank Pembangunan Islam (IDB) pada bulan Oktober 1975 dengan 22 negara Muslim sebagai pendiri. IDB memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara anggotanya, membantu mendirikan bank-bank Islam, dan memainkan peran penting dalam penelitian ekonomi, perbankan, dan keuangan Islam. Kini, bank yang berbasis di Jeddah ini memiliki lebih dari 56 negara anggota.

 

Pada tahun 1970-an, upaya untuk mendirikan bank-bank Islam menyebar ke banyak negara. Beberapa negara, seperti Pakistan, Iran, dan Sudan, mengubah seluruh sistem keuangan mereka menjadi bebas bunga, sehingga seluruh lembaga keuangan di negara-negara tersebut beroperasi tanpa bunga. Di negara-negara Muslim lainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank-bank bebas bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.

 

Saat ini, perbankan syariah telah berkembang pesat dan menyebar ke banyak negara, termasuk negara-negara Barat seperti Denmark, Inggris, dan Australia, yang berlomba-lomba menjadi Pusat Keuangan Syariah Dunia dengan membuka bank syariah dan jendela syariah untuk memberikan layanan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.

 

Awal Mula Perbankan Syariah di Indonesia

 

Bank di Indonesia didirikan pertama kali pada zaman penjajahan Belanda. Bank-bank yang beroperasi saat itu antara lain: De Javasche NV, De Post Paar Bank, Dealgemene Volks Crediet Bank, Nederland Handels Maatschappij (NHM), De Escomto Bank NV, Bank Nasional Indonesia, Bank Abuan Saudagar, NV Bank Boemi, The Charteredbank of India, The Yokohama Species Bank, The Matsui Bank, The Bank of China, dan Batavia Bank.

 

Pada zaman kemerdekaan, dunia perbankan semakin berkembang dengan didirikannya bank-bank baru dan terjadi nasionalisasi beberapa bank Belanda oleh pemerintah Republik Indonesia. Bank-bank yang beroperasi saat itu adalah Bank Rakyat Indonesia yang didirikan pada tanggal 22 Februari1946 yang dahulunya bernama De Algemene Volks Crediet Bank atau Syomin ginko, Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tanggal 05 Juli 1946 (BNI 1946), Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur di Solo pada tahun 1945, Bank Indonesia di Palembang pada tahun 1946, Bank Dagang Nasional Indonesia di Medan tahun 1946, Indonesian Banking Corporation di Yogyakarta tahun 1947 dan beberapa bank lainnya.

 

Deregulasi sektor perbankan di Indonesia dimulai pada tahun 1983, ketika Bank Sentral Indonesia (BI) mengizinkan bank-bank untuk menetapkan tingkat suku bunga mereka sendiri. Pemerintah berharap bahwa deregulasi ini akan menghasilkan industri perbankan yang lebih efisien dan lebih kuat, sehingga dapat mendukung perekonomian. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia telah merencanakan untuk menerapkan sistem "bagi hasil" untuk pemberian kredit, berdasarkan konsep perbankan syariah.

 

Pada tahun 1988, pemerintah mengeluarkan Paket Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yang membuka sektor perbankan untuk bisnis untuk mendukung pembangunan (liberalisasi sistem perbankan). Sementara lebih banyak bank konvensional bermunculan, beberapa usaha perbankan syariah lokal juga mulai bermunculan.

 

Inisiatif untuk mendirikan bank syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi tentang Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, konsep perbankan syariah dipraktekkan dalam skala yang relatif kecil, termasuk di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).

 

Pada tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk sebuah kelompok kerja untuk mendirikan sebuah bank syariah di Indonesia. Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya perbankan dan keuangan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya ini kemudian dibahas lebih lanjut dalam Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990 yang menghasilkan mandat pembentukan kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

 

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI, bank syariah pertama di Indonesia, PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), didirikan. Menurut dokumen pendiriannya, BMI didirikan pada tanggal 1 November 1991. Sejak 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-.

 

Pada awal operasionalnya, kehadiran bank syariah belum mendapatkan perhatian yang optimal di sektor perbankan nasional. Dasar hukum beroperasinya bank dengan sistem syariah pada saat itu hanya diakomodir dalam satu ayat tentang "bank bagi hasil" dalam UU No. 7 tahun 1992, tanpa dasar hukum syariah secara rinci dan jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.

 

Pada tahun 1998, pemerintah dan DPR menyempurnakan UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998 yang secara eksplisit menjelaskan bahwa perbankan di Indonesia dapat memiliki dua sistem (dual banking system), yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah. Peluang ini disambut baik oleh kalangan perbankan, ditandai dengan berdirinya beberapa bank syariah, antara lain Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh, dll.

 

Disahkannya beberapa produk hukum yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit pada tanggal 16 Juli 2008, pengembangan industri perbankan syariah nasional memiliki landasan hukum yang lebih memadai dan akan mendorong pertumbuhannya lebih cepat lagi. Dengan perkembangannya yang cukup mengesankan, dengan rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir, diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari 5 menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).

 

Sejak pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dimulai, telah banyak pencapaian dalam pengembangan keuangan syariah nasional dalam dua dekade terakhir, termasuk kemajuan dalam kelembagaan dan infrastruktur pendukung, sistem regulasi dan pengawasan, serta kesadaran dan literasi masyarakat mengenai layanan keuangan syariah. Sistem keuangan syariah Indonesia diakui sebagai salah satu yang terbaik dan terlengkap di dunia internasional. Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh bank konvensional, dan 162 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan total aset sebesar Rp. 273.494 Triliun dan pangsa pasar sebesar 4,61%. Di provinsi DKI Jakarta, total aset bruto, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) masing-masing sebesar Rp. 201.397 Triliun, Rp. 85.410 Triliun, dan Rp. 110.509 Triliun.

 

Pada akhir tahun 2013, pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian, pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai otoritas sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah yang dituangkan dalam "Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019" yang diluncurkan pada acara Pasar Rakyat Syariah 2014. Roadmap ini diharapkan dapat menjadi pedoman arah pengembangan dan memuat inisiatif strategis untuk mencapai target-target pengembangan yang telah ditetapkan.

 

Merger Perbankan Syariah di Indonesia (BSI)

 

Industri perbankan Indonesia mencatatkan sejarah dengan hadirnya PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) yang secara resmi berdiri pada tanggal 1 Februari 2021. Presiden Joko Widodo meresmikan bank syariah terbesar di Indonesia ini di Istana Negara.

 

BSI merupakan hasil penggabungan usaha (merger) antara PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank BNI Syariah, dan telah mendapatkan izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan pada 27 Januari 2021.

 

Pemegang saham BSI terdiri dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar 50,83%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebesar 24,85%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebesar 17,25%, dan pemegang saham lainnya masing-masing kurang dari 5%.

 

Penggabungan usaha ini menyatukan kekuatan dari ketiga bank syariah tersebut, menawarkan layanan yang lebih komprehensif, jangkauan yang lebih luas, dan kapasitas permodalan yang lebih baik. Dengan dukungan dari pemerintah dan sinergi dengan berbagai perusahaan, BSI siap untuk bersaing secara global.

 

BSI merupakan pencapaian yang membanggakan bagi masyarakat Islam, yang diharapkan dapat membawa energi baru bagi pembangunan ekonomi nasional dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat luas. Keberadaan BSI juga menjadi cerminan perbankan syariah modern dan universal di Indonesia yang memberikan manfaat bagi semua kalangan.

 

BSI memiliki potensi untuk terus berkembang dan menjadi bank syariah terkemuka di dunia. Selain kinerja yang positif, misi pemerintah Indonesia untuk membangun ekosistem industri halal dan memiliki bank syariah nasional yang besar dan kuat, serta status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar, juga memberikan peluang.

Langkah Menuju Konsolidasi Perbankan Syariah di Indonesia

 

-       Pada tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan membuat peta jalan untuk pengembangan keuangan syariah.

-       Pada tahun 2019, OJK mendorong konsolidasi bank-bank syariah dan unit usaha syariah milik pemerintah, termasuk Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank BRI Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.

-       Pada tanggal 2 Juli 2020, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir, berencana untuk menggabungkan bank-bank syariah milik pemerintah yaitu BRI Syariah, BNI Syariah, BTN Syariah, dan Mandiri Syariah.

-       Pada bulan Oktober 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan rencana penggabungan tiga bank syariah Himbara: Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah.

-       Pada tanggal 11 Desember 2020, konsolidasi bank-bank syariah Himbara menetapkan perusahaan hasil merger sebagai PT Bank Syariah Indonesia Tbk.

-       Pada tanggal 27 Januari 2021, OJK secara resmi menerbitkan izin penggabungan usaha dengan nomor SR-3/PB.1/2021.

-       Pada tanggal 1 Februari 2021, Presiden Jokowi meresmikan PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau Bank Syariah Indonesia (BSI).

 

Demikian, lantas apakah kita, sebagai muslim, harus total berbondong-bondong meninggalkan perbankan konvensional dan memindahkan semua aset dan praktek ekonomi kita ke institusi perbankan syariah ? Ini diskusi yang lain. Wallahu a’lam bishowab.

 

Penulis:

 

Dr. Sofiandi, Lc., M.H.I.

Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research, Reserach Fellow di IRDAK Institute of Singapore, Dosen IAI Arrisalah, Anggota Dewan Masjid Indonesia, Anggota ICMI Prov. Kepri, Pemimpin Redaksi ACADEMICS TV, Direktur Swara Akademika Indonesia Foundation.