Demokrasi: Kuasa Rakyat atau Kegilaan Massa? Pandangan Skeptis Plato Terhadap Demokrasi

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Demokrasi: Kuasa Rakyat atau Kegilaan Massa? Pandangan Skeptis Plato Terhadap Demokrasi

Minggu, 03 September 2023


INDRAGIRI.com, KHAZANAH - Plato merupakan murid Socrates yang sangat terkenal dalam sejarah pemikiran manusia karena karya masterpiece-nya yang monumental berjudul "Republik". Namun, di balik ide dan pandangan bijak yang terkandung di dalam Republik, Plato juga memiliki pandangan yang sangat skeptis terhadap konsep demokrasi. Bagi Plato, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang sangat rentan terhadap cacat dan kelemahan, dan pandangannya tentang hal ini tetap relevan hingga hari ini.

Plato hidup pada abad ke-4 SM di Yunani kuno, sebuah periode yang melihat lahirnya demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang baru dan revolusioner. Bagi sebagian orang, demokrasi adalah manifestasi nyata kekuasaan rakyat, di mana semua warga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Namun, Plato ternyata, secara out of the box, dapat melihat celah suram sisi demokrasi yang tidak hanya membuatnya khawatir, bahkan membuatnya menarik diri dari dunia politik dan menjauhkan dirinya dari hiruk pikuk dunia politik yang sejatinya ingin ia geluti.

Tirani Mayoritas

Salah satu kritik utama Plato terhadap demokrasi adalah pandangannya tentang "tirani mayoritas." Dia menganggap bahwa dalam demokrasi, mayoritas memiliki kekuasaan mutlak untuk membuat keputusan, meskipun keputusan tersebut tidak selalu bijak atau beralasan. Dalam sistem demokrasi, suara mayoritas dapat dengan mudah menggusur hak-hak individu dan memicu kebijakan yang didasarkan pada emosi daripada nalar. Kenyataan dari pandangan Plato mengenai hal ini masih sangat mudah untuk di temukan di belahan dunia mana saja.

Ketidakstabilan Politik

Plato juga mencemaskan ketidakstabilan politik yang terkait dengan demokrasi. Dia melihat bahwa perubahan cepat dalam pemerintahan dan kebijakan adalah konsekuensi dari sistem yang mengizinkan pergantian penguasa sesuai dengan kehendak rakyat. Parahnya lagi, jika ditarik kepada realita kontemporer, instabilitas semacam ini dengan cepat menjarah ke banyak lingkup kehidupan, tidak hanya politik. Ketidakstabilan politik juga diikuti oleh ketidakstabilan ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya, akibat dari perubahan pemerintahan yang selalu hadir dengan perubahan kebijakan publik. Hal ini tidak terlepas dari ego tiap-tiap pemerintah yang seakan berlomba membuat legacy dalam masa pemerintahannya tanpa memikirkan segala sesuatu secara bijak dan mendalam. Plato menganggap ketidakstabilan ini dapat merusak tatanan sosial dan ekonomi, serta mengganggu pembangunan jangka panjang.

Kekurangan Ahli dan Kebijaksanaan

Salah satu pandangan paling mendalam dari Plato adalah tentang ketidakmampuan demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan bijaksana. Dia berpendapat bahwa dalam demokrasi, pemimpin politik dipilih berdasarkan popularitas daripada kebijaksanaan. Ini berarti bahwa individu yang mungkin tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang masalah kompleks dapat memegang jabatan tinggi, menghasilkan kebijakan yang tidak memadai. Maraknya spanduk raksasa di pinggiran jalan merupakan usaha gigih orang-orang itu untuk sekedar menjadi populer dan terkenal. Bak bintang iklan serta model terkenal, foto-foto wajah mereka tersebar dengan senyuman menghipnotis massa di tambah dengan slogan dan janji-janji pemanis lidah. Rakyat dibuai oleh tampilan iklan, pencitraan dan mimpi. Tidak ada di sana konsep, ide, visi-misi yang teruji dan bijak untuk diterapkan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Alternatif Plato: Filsuf-Raja

Dalam "Republik," Plato mengajukan alternatif sistem pemerintahan yang disebut "filsuf-raja" atau "King Philosopher". Bukan berarti bahwa yang ada di dalam benak Plato adalah King atau Raja dalam nuansa monarki, namun karena pada masa ia hidup, konsep pemimpin itu disebut dengan Raja/King, maka alternatif yang dipakai Plato juga menggunakan kosakata King/Raja. Sejatinya, yang ia maksud adalah pemimpin dalam arti yang luas. Ia berpendapat bahwa pemimpin ideal harus orang yang memiliki kecerdasan, kepintaran, wawasan, pemahaman dan mampu berpikir secara mendalam tentang keadilan, kebijaksanaan, dan kebenaran. Pemimpin harus mampu berpikir secara luas, tidak partisan. Menurutnya, hanya orang-orang semacam ini yang layak memimpin, dan jika diperhatikan ciri-ciri orang yang ia sebut tadi, sangat kental dengan karakter seorang filsuf yang oleh karenanya ia katakan King Philosopher / Filsuf-Raja.

Meskipun pandangan Plato terhadap demokrasi dikritik oleh banyak orang, dia memberikan kita alasan untuk merenung tentang kerentanannya. Kritiknya terhadap "tirani mayoritas" dan ketidakstabilan politik adalah peringatan bahwa demokrasi, sementara memberikan banyak kebebasan dan hak, juga membawa tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan adalah bijak dan adil. Pandangan Plato tentang filsuf-raja juga menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang berbasis pada pengetahuan dan kebijaksanaan, sebuah pandangan yang masih relevan dalam politik modern.@


Ilustrasi: Wikimedia Commons