Breaking News

Berekoteologi, upaya pengentasan kemiskinan | Prof Dr Khairunnas Rajab


Prof. Dr. Khairunnas Rajab

INDRAGIRI.com, Opini - Mustadh'afin adalah istilah dalam bahasa Arab yang berarti "kaum yang tertindas" atau "kaum yang lemah". Dalam konteks teologi dan sosial, istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan, miskin, dan tidak memiliki akses ke sumber daya dan kekuasaan.

Kemiskinan dan ketertindasan adalah dua hal yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh siapapun, bahkan jadi momok kehidupan pahit yang mendera banyak manusia di sudut marginal yang tidak terelakkan. 

Kemiskinan dan ketertindasan menyimpan ragam negatif yang menyelimuti garis-garis kehidupan yang tidak diperhitungkan dan tidak pula dapat dihitung populasi jumlahnya. Statistiknya bisa menaik dan menurun secara fluktuatif. 

Banyak kajian yang telah dilakukan untuk menghitung populasi kemiskinan dan ketertindasan diberbagai negara di dunia, untuk kemudian menemukan solusi pengentasannya. 

Sudut pandang solutif pengentasan kemiskinan dan ketertindasan telah diujiterapkan, namun kedua term itu tetap saja bergulir pada masyarakat dinamis di abad kapanpun dan dimanapun. Sebab musababnya ada sudut pandang dan perspektif. Untuk menyamakan persepsi dan pikiran dalam memandang sesuatu juga lebih sulit lagi, karena sesungguh itu merupakan rahmat untuk bisa berbeda. 

Kita semua pasti bersepakat bahwa kemiskinan dan ketertindasan akan selalu ada tergantung perspektif tadi yang di atas disampaikan. Dalam kajian psikologis, kemiskinan dan ketertindasan adalah perasaan emosional yang mengitari setiap insan. 

Merasakan atau melihat kemiskinan dan ketertindasan seiring munculnya empati, simpati, dan asertif. Seorang miskin dan tertintas merasa sedih dan galau, karena dirundung rasa tidak nyaman dengan kemiskinan dan ketertindasan yang dialaminya, lalu timbul rasa diperlakukan secara tidak adil. Ada juga yang mengumpat Tuhan, menyalahkan nasib, atau bisa juga membrontak pada pihak-pihak baik personal ataupun pemerintah. 

Kemiskinan dan penindasan memang harus dientaskan, keduanya tidak boleh ada. Setiap jiwa mesti memperkuat motivasi diri dan bersinergi dengan semesta. Kekuatan dan potensi pada masing-masing diri dapat diberdayakan dengan menolak budaya malas. 

Malas adalah aspek hegemoni diri yang menghantui dan bisa menghinggapi siapapun. Malas adalah sikap mental yang merugikan diri sendiri dan orang banyak. Pada sebuah riwayat Rasulullah bersabda: semua orang akan masuk syurga kecuali orang yang enggan (malas). 

Hadits itu menunjukkan motivasi yang kuat dari sang Psikoterapis Agung Muhammad SAW. Kepentingan teraeutik sikap pemalas menjadi tujuan hakiki agar setiap insan harus giat bekerja, tidak menyia-nyiakan waktu, dan berbaji baku dengan kesahajaan yang mengeluarkannya dari kemiskinan dan ketertindasan. 

Selain mengikis rasa malas, setiap jiwa perlu kerja keras dan berupaya merubah mindset dan nasibnya menjadi prinsip yang tiada kenal lelah dan berfikir positif. Prinsip tidak kenal lelah adalah sikap mental yang mendorong baju baku yang sinergis dan kolaboratif. 

Mengerjakan sesuatu secara bersama atau kemandirian yang teguh dengan konsep diri yang empatik bagi alam sekitar. Sedangkan berfikir positif adalah penghindaran diri dari buruk sangka dan praduga yang belum tentu kebenarannya. 

Apalagi sampai menuduh dan fitnahan terhadap orang-orang shaleh. Dalam riwayat terkait Muflis, Rasulullah bertanya: siapa itu muflis (bangkrut), sahabat menjawab, orang yang tidak memiliki uang, tetapi baginda Nabi SAW menjelaskan yang bangkrut itu adalah orang yang memiliki modal (amal) lalu kemudian ia sia-siakan dengan menghujat, menghina, dan memfitnah, lalu pahala amalan baik berpindah automatis kepada yang di hujat, dihina, dan difitnahnya tersebut, begitu sampai habis pahalanya, sehingga apabila pahalanya lesap, maka dosa yang hujat, dihina, dan difitnahnya ditanggungnya sebagai beban siksa. 

Secara psikologinya penghujat, penghina, dan pemitnah itu hidup dalam keadaan tidak menentu, bahkan fisiknyapun menjadi kering mersik tidak bermaya. Rasulullah yang memiliki kesehatan mental paripurna, menunjukkan sisi psikologi perilaku yang terukir dan dapat dibuktikan dengan dalil-dalil ilmiah.

Apabila setiap pribadi mampu menghindarkan diri dari praduga dan wasangka lalu menggantinya dengan kerja keras, maka mereka sesungguhnya telah memasuki tahapan pengentasan kemiskinan dan ketertindasan itu. 

Kerja keras dan berfikir positif adalah dua lencana kesadaran yang dapat mengeluarkan dari mudharat menuju maslahat diri dalam berbangsa dan bernegara. Pribadi pekerja keras yang berfikir positif terbukti hidup penuh makna dan kesahajaan. 

Berekoteologi pada hakikatnya adalah menumbuhkembangkan kesadaran yang diawali dengan keyakinan diri bahwa Tuhan telah menganugerahkan kasih sayang dan cintanya untuk semesta, maka pengendalian diri, konsep diri, kepercayaan diri yang kenal empatik untuk kemudian kenal Rabbnya

Kesadaran akan kesamaan derjat dihadapan Tuhan adalah lestari yang mampu mengeluarkan individu dan masyarakat dari merasa miskin, merasa tertindas untuk kemudian merubahnya dengan kerja keras dan berfikir positif. (*)


0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close