Breaking News

Kita Semua Mampu, apakah kita mau ?

“Kota atau kampung yang tertata indah bukanlah hasil kerja satu orang hebat, tapi buah dari kesadaran dan kemauan kolektif masyarakatnya.”

Jika kita menengok jalan-jalan utama, trotoar yang semestinya jadi ruang aman bagi pejalan kaki kini sering berubah menjadi tempat berjualan. Bangunan yang dulunya dirancang sesuai izin, kini meluas tanpa kendali. Jalan-jalan menjadi sempit, pasar-pasar menjadi kumuh, dan wajah kota kehilangan keanggunannya. Padahal, semua ini bukan karena kita tidak mampu menata, tapi lebih karena kita belum mau bersama-sama bergerak menata.

Kita tahu bahwa pemerintah punya aturan: dari Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah. Semua itu dirancang bukan untuk mengekang, tapi untuk menjaga keseimbangan—antara pertumbuhan ekonomi rakyat kecil dan keteraturan ruang kota. Ketika pedagang kaki lima meluber ke trotoar, dampaknya bukan hanya visual kota yang semrawut, tapi juga timbul gesekan sosial, ekonomi yang timpang, hingga konflik antar warga.

Padahal, jika pasar dan ruang usaha kecil ditata dengan baik, semua akan merasakan manfaatnya. Pedagang bisa berjualan dengan tenang, warga bisa berjalan dengan aman, dan pemerintah bisa lebih mudah menyediakan fasilitas umum. Bahkan nilai lingkungan akan naik, investasi akan datang, dan citra kampung halaman akan bangkit kembali.

Namun pertanyaannya bukan sekadar: “Apakah kita bisa?”

Kita semua bisa. Kita semua mampu.

Tapi pertanyaan yang lebih dalam adalah:

“Apakah kita MAU?”

Mau untuk bersama-sama menjaga kampung halaman.

Mau untuk tidak hanya menuntut pemerintah, tapi juga menjadi bagian dari solusi.

Mau untuk tertib, sadar, dan peduli.

Mau untuk menyapu halaman kita sendiri sebelum menunjuk kotoran di halaman orang lain.

Tugas menata dan menjaga wajah kota bukanlah milik pemerintah semata. Ini adalah tugas kita bersama. Dari pejabat hingga pedagang, dari tokoh masyarakat hingga warga biasa, dari anak muda hingga orang tua. Ketika semua bergerak dengan kesadaran, maka perubahan akan hadir bukan dengan paksaan, tapi dengan keikhlasan.

Mari kita jaga dan pelihara kampung halaman kita.

Mari kita rawat warisan ini untuk generasi mendatang.

Agar anak cucu kita nanti tidak bertanya:

“Dulu mereka punya kesempatan untuk memperbaiki, tapi mengapa mereka diam saja?”

Sekali lagi, kita semua mampu. Tapi pertanyaannya:

Apakah kita mau?

---‐----------


Oleh: Sulaiman,* *Mahasiswa IAI AR-RISALAH INHI-RIAU Sungai Guntung

Fakultas Dakwah, Prodi Komunikasi Penyiaran Islam

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close