Breaking News

Idhul Adha dan Kuasa

Oleh: Imron Rosidi (Guru Besar UIN Suska Riau)


Cak Nur berpendapat bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi untuk menundukkan alam, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Manusia adalah khalifah yang diberi wewenang untuk menundukkan segala ciptaan Allah SWT. Ketika manusia justru tunduk kepada sesuatu selain Tuhan, maka fungsi kekhalifahan itu lenyap. Pada saat itulah, manusia disebut musyrik.

Dahulu, ketika nenek moyang kita menyembah batu atau pohon, mereka dianggap musyrik. Sebab, mereka tunduk kepada sesuatu yang seharusnya mereka tundukkan. 

Batu dan pohon adalah ciptaan Tuhan yang semestinya dikuasai, bukan dijadikan objek penyembahan. Inti dari tauhid adalah bahwa tidak ada yang berhak menundukkan manusia kecuali Sang Pencipta, Allah SWT. Maka, sebagai khalifah, kita semestinya hanya tunduk kepada-Nya, bukan kepada apa pun selain Dia.

Idul Adha mengingatkan kita untuk meluruskan kembali fungsi kekhalifahan dalam diri setiap Muslim. Menyembelih sapi, kambing, atau domba adalah bentuk kepatuhan kepada perintah Tuhan. 

Itu juga simbol bahwa kitalah yang seharusnya menundukkan ciptaan-Nya, bukan sebaliknya. Jangan sampai kita justru ditundukkan oleh materi. Jika materi menjadi tujuan utama hidup, maka pada hakikatnya kita telah "disembelih" oleh materi. Dalam kondisi itu, kita bukan lagi seorang khalifah.

Demikian pula, Idul Adha mengajarkan bahwa kekuasaan yang melekat pada jabatan sejatinya adalah sesuatu yang harus bisa kita kendalikan atau "sembelih". Jabatan atau kekuasaan tidak boleh menundukkan kita, sebagaimana materi pun tidak boleh menguasai kita. 

Ketika seseorang menjadi gila kuasa, saat itu pula fungsi kekhalifahannya sirna. Menurut Cak Nur, hal ini termasuk bentuk syirik, karena saat itu kita telah tunduk kepada jabatan. Padahal dalam ajaran Islam, hanya kepada Allah SWT kita wajib tunduk. Inilah makna sejati dari tauhid. (*)

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close