![]() |
Prof. Dr. Khairunnas Rajab |
INDRAGIRI.com, Transformasi digital dewasa ini bukan hanya membawa percepatan informasi dan konektivitas, tetapi juga menyisakan efek samping berupa meningkatnya individualisme, hedonisme, dan alienasi dalam relasi sosial. Gaya hidup global yang serba cepat kerap menyeret manusia ke pusaran instanisme, membuat banyak keluarga kehilangan pijakan nilai yang kokoh. Dalam situasi semacam ini, keluarga idealnya menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan integritas moral dan spiritual, bukan justru ikut larut dalam disorientasi nilai dan fragmentasi relasi.
Keluarga yang sehat secara spiritual dan emosional menjadi fondasi kokoh bagi sebuah peradaban yang beradab. Namun realitas hari ini menunjukkan hal yang sebaliknya: meningkatnya angka perceraian, maraknya kekerasan dalam rumah tangga, keterasingan emosional antara orang tua dan anak, serta semakin pudarnya makna sakral dalam hubungan suami istri. Fenomena ini bukan semata mata disebabkan oleh krisis ekonomi atau tekanan sosial, melainkan lebih mendalam: sebuah krisis karakter yang merambah ke jantung kehidupan keluarga.
Dalam konteks ini, karakter kenabian menawarkan paradigma dan solusi integral. Ia bukan sekadar ajaran teologis atau etika ritualistik, melainkan model psikospiritual yang menyeluruh, membangun kepribadian yang utuh, ketahanan emosional, dan kedewasaan relasional dalam lingkungan keluarga. Empat karakter utama Nabi Muhammad SAW, shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (komunikatif), dan fathanah (bijaksana), bukanlah nilai nilai abstrak, melainkan prinsip hidup konkret yang relevan sepanjang zaman.
Nabi Muhammad SAW sebagai sosok yang shidiq terlihat sejak sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Dalam peristiwa rekonstruksi Ka’bah, ketika perselisihan antar kabilah Quraisy mengenai siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad hampir memicu pertumpahan darah, mereka sepakat menunjuk Muhammad sebagai penengah karena beliau dikenal dengan gelar al Amin dan ash Shadiq. Ketika Nabi mengusulkan solusi agar semua kabilah memegang kain yang memuat Hajar Aswad, lalu beliau sendiri yang meletakkannya, semua pihak menerima dengan lapang. Kejujuran dan integritasnya menjadi perekat sosial yang mencegah konflik.
Sifat amanah Nabi tercermin kuat ketika beliau masih berdagang bersama Khadijah. Meski membawa harta besar dan melewati perjalanan panjang, Nabi tak pernah mengurangi sedikit pun hak Khadijah, justru membawa keuntungan dan reputasi yang lebih baik bagi usaha sang istri. Bahkan setelah diangkat menjadi rasul dan mengalami tekanan dari kaum Quraisy, Nabi tetap menjaga barang barang titipan mereka. Ketika hijrah ke Madinah, beliau menitipkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua amanah itu kepada pemiliknya. Keteladanan ini menunjukkan bahwa amanah tidak tunduk pada situasi, tetapi berdiri kokoh sebagai prinsip.
Keteladanan Nabi dalam tabligh terlihat dalam caranya menyampaikan kebenaran dengan penuh kelembutan dan efektivitas, sebagaimana Allah memerintah dalam Al-Qur’an untuk menyampaikan risalah dengan qawlan layyinan (perkataan yang lemah lembut) [QS. Taha: 44], qawlan balighan (perkataan yang mengena) [QS. An-Nisa: 63], qawlan ma’rufan (perkataan yang baik) [QS. An-Nisa: 5], dan qawlan sadidan (perkataan yang benar dan lurus) [QS. Al-Ahzab: 70].
Contoh konkret dari karakter ini adalah saat seorang Arab Badui kencing di dalam masjid. Para sahabat ingin langsung menegurnya keras, tetapi Nabi melarang mereka dan membiarkan lelaki itu menyelesaikannya. Setelah itu, beliau mendekatinya dengan qawlan layyinan, menjelaskan dengan tenang dan penuh kasih bahwa masjid adalah tempat ibadah. Penyampaian itu bukan hanya benar (qawlan sadidan), tetapi juga tepat sasaran (qawlan balighan), dilakukan dengan kelembutan (qawlan layyinan), dan tetap menjaga kehormatan lawan bicara (qawlan ma’rufan). Dalam keluarga, sifat tabligh ini menjadi fondasi komunikasi yang sehat dan membangun, menyampaikan kebenaran tanpa menyakiti, menasihati tanpa menggurui.
Sifat fathanah Nabi tampak jelas dalam berbagai keputusan strategisnya. Salah satunya adalah dalam Perjanjian Hudaibiyah. Walau isi perjanjian tampak merugikan umat Islam secara sepintas, Nabi menerimanya dengan bijaksana. Beliau membaca kondisi jangka panjang, memahami psikologi lawan, dan mengedepankan maslahat umat. Keputusan itu terbukti jitu: dalam waktu singkat, justru setelah perjanjian damai tersebut, Islam berkembang pesat dan banyak orang masuk Islam karena mereka menyaksikan langsung akhlak dan kelapangan hati umat Islam.
Keluarga sakinah sebagaimana disebut dalam QS. Ar-Rum: 21 tidak lahir secara instan. Ia tumbuh melalui proses panjang penyatuan dimensi spiritual, emosional, dan sosial. Ketenangan (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan rahmah (kasih sayang) hanya mungkin lahir dari pribadi pribadi yang matang secara spiritual dan dewasa secara emosional. Karakter kenabian adalah prototipe kematangan itu.
Keteladanan Nabi Muhammad SAW menjadi bukti nyata. Dalam relasinya dengan Sayyidah Khadijah, Nabi menunjukkan bahwa cinta adalah tentang pengorbanan, penguatan moral, dan penghargaan. Dalam rumah tangganya dengan Aisyah, Rasulullah hadir sebagai sahabat yang menyenangkan, yang membangun keintiman emosional dengan kelembutan dan canda kasih. Dalam interaksinya dengan anak dan cucu, Nabi mengajarkan bahwa kasih sayang bukan kelemahan, melainkan kekuatan afektif yang membentuk jiwa anak.
Di tengah era digital yang cenderung mendegradasi kualitas relasi manusia menjadi sekadar koneksi teknis, keluarga memerlukan revitalisasi spiritual dan emosional. Rumah tidak cukup menjadi tempat tinggal, tetapi harus menjadi rumah jiwa, ruang penyembuhan, pembinaan, dan penguatan karakter.
Meneladani karakter kenabian dalam keluarga bukanlah beban moralistik, melainkan kebutuhan psikologis dan spiritual. Shidiq menciptakan rasa aman, amanah membangun kepercayaan, tabligh menjernihkan komunikasi, dan fathanah merawat kebijaksanaan. Keempatnya menjadi terapi batin yang melampaui pendekatan psikologi Barat, karena berakar dari wahyu dan teladan agung Rasulullah SAW.
Membangun generasi sehat akal dan jiwanya hanya dapat dimulai dari pribadi pribadi yang meneladani Nabi. Karakter kenabian adalah jalan pembebasan: dari kecemasan, dari konflik, dari kehampaan emosional. Inilah jalan menuju keluarga yang bukan sekadar hidup bersama, tetapi tumbuh bersama, menuju sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Allahu a‘lam bish shawab.
0 Komentar