Breaking News

Kepribadian Malaki, Suluh Kehidupan Berteologi | Prof. Dr. Khairunnas Rajab


Di tengah derasnya arus globalisasi, manusia semakin tergilas oleh kecepatan dan kecemasan zaman. Dalam pusaran modernitas, manusia kerap kehilangan jati dirinya yang paling dalam tereduksi menjadi deret angka dalam sistem ekonomi, data dalam algoritma digital, dan objek dari hasrat yang tak kunjung usai. Modernitas, yang semula dijanjikan sebagai pembebas, justru menjelma menjadi penjara makna. Namun, di balik kabut peradaban yang menyesakkan, masih ada cahaya yang setia menuntun jiwa: kepribadian malaki, kepribadian ruhani yang berakar dari kesadaran ilahiyah, teguh dalam kebijaksanaan hikmah, dan bersinar dalam cinta yang merangkul semesta.

Dalam tradisi filsafat Islam, khususnya dalam pemikiran Ibn Sina dan al-Farabi, struktur jiwa manusia terbagi menjadi tiga tingkatan: nafs bahimiyyah (jiwa kebinatangan), nafs sabu‘iyyah (jiwa agresif), dan nafs malakiyyah (jiwa malaikat). Kepribadian malaki bukanlah sekadar ekspresi moralitas lahiriah, melainkan hasil transformasi batiniah yang mengangkat manusia dari derajat hayawaniyyah menuju maqam lathifah ruhaniyyah. Setiap insan tak akan mudah berada di bawah naungan ruh ketuhanan sebelum terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri. Sebagaimana sabda hikmah yang telah lama bergaung: "Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu" Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.

Kepribadian malaki tidak tumbuh semata dari kebiasaan, melainkan dari sibghah rabbaniyyah—pencelupan spiritual yang bersumber dari tauhid. Ia tidak dibangun di atas kesombongan akal atau gejolak syahwat, tetapi berakar pada kesucian niat, kejernihan qalbu, dan perjumpaan batin dengan Yang Maha Hakiki, Allah Azza wa Jalla. Malaikat adalah makhluk Allah yang senantiasa taat dan tidak memiliki kecenderungan untuk bermaksiat. Maka, kepribadian malaki adalah cerminan manusia yang telah menundukkan hawa nafsu, menjadikan akal sebagai pelayan wahyu, dan tunduk sepenuhnya pada panji kebenaran: "Al-haqqu min rabbik, fa la takunanna minal mumtariin."

Secara epistemologis, manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan dianugerahi potensi untuk berkembang menjadi insan kamil. Konsep insan kamil, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn ‘Arabi, al-Jili, dan para sufi besar lainnya, adalah puncak pencapaian spiritual dan eksistensial manusia. Ia tidak hanya mengenal Tuhan, tetapi juga memanifestasikan Asmaul Husna dalam kepribadiannya.

Kepribadian malaki bukan hanya entitas etis, tetapi juga kosmologis. Ia menghubungkan langit dan bumi, menyelaraskan wahyu dan akal, serta mensinkronkan ilham dengan realitas. Ia menjadi suluh penuntun umat dari gelapnya kekosongan eksistensial menuju cahaya makna dan hidayah. Di sinilah ia menjadi jalan tengah antara keberagamaan yang dogmatis dan yang liberal; antara tekstualisme yang membeku dan relativisme yang liar.

Teologi dalam Islam bukan sekadar rasionalisasi iman (‘ilm al-kalām), tetapi juga jembatan ruhani yang mengikat hamba dengan Tuhannya. Dalam kerangka ini, kepribadian malaki menjelma menjadi penghubung antara ‘ilm dan ḥāl, antara diskursus intelektual dan kesaksian spiritual. Ia menghidupkan teologi yang tidak menjadikannya sekadar kumpulan definisi, tetapi laku hidup (syu‘ūr wujūdiyy). Sebagaimana ditekankan al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din: ilmu tanpa amal adalah kutukan, dan amal tanpa keikhlasan adalah kehampaan yang gersang.

Oleh karena itu, kepribadian malaki niscaya melahirkan konsepsi teologis yang bijak dan inklusif: tidak kaku dalam perbedaan mazhab, tidak keras dalam perbedaan fikih, dan tidak kering dalam spiritualitas. Ia menyatukan nalar dan nur, menyeimbangkan syari‘ah, tariqah, dan haqiqah dalam satu tarikan napas keimanan yang utuh.

Berkepribadian malaki berarti menghidupkan kesadaran psikologis dan membangun pertahanan spiritual untuk menuju kesalehan sosial yang memberi maslahat bagi kemanusiaan. Meneladani sifat-sifat malaikat adalah pilihan berharga dalam meneguhkan ketaatan dan keimanan secara konsisten. Kepribadian malaki berdampak langsung pada tumbuhnya kemampuan self-adaptive dan self-acceptance, yang kemudian melahirkan kepedulian terhadap lingkungan dan komunitas.

Suri teladan semacam itu lahir bukan dari panggung popularitas, tetapi dari sujud-sujud panjang dalam keheningan malam, dari air mata istighfar yang menetes lirih, dan dari hati yang hanya ingin dilihat oleh Sang Maha Melihat.

Dalam arus perubahan sosial yang cepat dan tak terbendung, dibutuhkan tatanan batin yang kokoh—tameng dan benteng psikologis yang tak mudah rapuh. Tameng itu adalah kepribadian tangguh yang terelaborasi dalam kerangka kepribadian malaki.

Sesungguhnya, kepribadian malaki dapat menuntun manusia pada kesejatian: kepada kemanusiaan yang utuh, dan kepada ketuhanan yang hakiki. Ia bukan hanya kunci kehidupan yang bertauhid—baik secara vertikal (tauhidullah) maupun horizontal (tauhidul ummah)—tetapi juga obor peradaban dalam dunia yang nyaris padam dan kehilangan arah.

Spiritualitas yang autentik menjadi jembatan antara modernitas dan kesadaran psikologis, menyelaraskan akhlak dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang transformatif. Dalam kepribadian malaki, kecenderungan akal, qalbu, dan nafsu terintegrasi dalam harmoni yang ilahiyah. Justru karena malaikat bersifat statis dalam pengabdiannya, kepribadian malaki yang terbentuk dari dinamika jiwa manusia menjelma menjadi perisai spiritual yang menumbuhkan kesadaran paripurna dan menjamin kesejahteraan jiwa sejati.


Allāhu a‘lam bish-shawāb.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close