INDRAGIRI.com, OPINI - Hijrah dalam Islam sejatinya merupakan ekspresi terdalam dari transformasi eksistensial manusia yang mencakup dimensi moral, sosial, dan yang terpenting psikospiritual. Ia menandai proses pendakian jiwa dari keterikatan duniawi menuju orientasi ilahiah.
Dalam kerangka ini, hijrah bukan hanya berpindah dari maksiat ke taat, melainkan sebuah perjalanan dari keterpecahan diri menuju kesatuan batin yang berpadu dalam kesadaran tauhid. Ia adalah pengalaman spiritual menyeluruh yang melibatkan akal, nafs, dan qalbu dalam gerak menuju tawhidic self.
Secara psikospiritual, hijrah berlangsung dalam medan dinamis antara nafs (dorongan instingtif) dan qalbu (pusat kesadaran spiritual). Dalam teologi Islam, manusia dipandang sebagai entitas multidimensional yang secara fitrah condong kepada kebaikan, namun berpotensi terseret oleh kekuatan destruktif nafs al-ammarah. Karena itu, hijrah merupakan proses rekonstruksi batin untuk mengarahkan kembali hidup menuju Allah, ruju‘ ila Allah, sebagai puncak perjalanan spiritual dalam Islam.
Inilah dimensi teologis hijrah: mengaitkan dinamika psikologis dengan doktrin tauhid, sehingga transformasi diri tidak bersifat egosentris, melainkan teosentris, berporos pada Allah sebagai sumber, tujuan, dan orientasi perubahan.
Tauhid sebagai inti dari teologi Islam bukan hanya sistem keyakinan dogmatis, melainkan struktur nilai yang membentuk orientasi batin dan pengorganisasian jiwa. Dalam psikologi kontemporer, manusia modern sering terjebak dalam krisis makna, alienasi, dan kekosongan eksistensial.
Teologi Islam menjawab keresahan ini dengan menawarkan narasi tauhid sebagai jalan pemaknaan hidup. Dalam konteks ini, hijrah berfungsi sebagai proses dekonstruksi terhadap ilah-ilah palsu dalam jiwa seperti ego, hedonisme, dan cinta dunia untuk menegakkan kembali ubudiyyah. Inilah yang membedakan hijrah dari perubahan moral biasa; ia adalah transformasi struktur kesadaran dan orientasi eksistensial menuju transendensi.
Transformasi ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui tahapan-tahapan psiko-spiritual yang kompleks. Dimulai dengan takhalliyah, pengosongan jiwa dari penyakit batin seperti riya’, takabbur, dan hubb al-dunya, yang menuntut perenungan mendalam dan kesadaran moral (self-awareness).
Dalam psikologi Islam, ini sejalan dengan praktik muhasabah dan taubah sebagai mekanisme kognitif dan afektif dalam membentuk narasi diri baru. Proses ini mencerminkan fungsi metacognition dalam psikologi modern, yakni kemampuan seseorang untuk merefleksikan serta mengevaluasi pola pikir dan perilakunya.
Tahap selanjutnya, tahalliyah, merupakan proses pengisian qalbu dengan nilai-nilai ilahiah seperti sabar, syukur, ikhlas, dan mahabbah. Praktik spiritual seperti zikir, tilawah, dan shalat bukan sekadar ritual, melainkan sarana internalisasi nilai-nilai tauhid ke dalam struktur kepribadian.
Di sinilah aspek psikospiritual hijrah menemukan daya terapeutiknya, yaitu mengaktifkan inner healing yang berakar pada relasi transenden. Riset mutakhir dalam psikologi spiritual menunjukkan bahwa pengalaman relasional dengan entitas ilahi yang dalam Islam termanifestasi melalui zikir dan tawakal memiliki efek signifikan dalam mengurangi kecemasan, memperkuat self-regulation, dan meningkatkan ketahanan psikologis.
Tahap akhir, tajalliyah, merupakan penyinaran jiwa oleh kesadaran ilahiah yang melahirkan ketenangan eksistensial (nafs al-muthmainnah). Pada tahap ini, manusia mengalami integrasi antara dimensi spiritual dan psikologisnya, sehingga tidak lagi terbelah antara ideal dan realitas.
Ini selaras dengan konsep self-actualization dalam psikologi humanistik, namun melampauinya melalui dimensi transenden: kesempurnaan diri bukan hanya realisasi potensi, tetapi keterhubungan total dengan Allah. Dalam Islam, inilah yang disebut ihsan, menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya.
Dengan demikian, hijrah sebagai proses psikospiritual sekaligus merupakan manifestasi dari teologi praktis. Ia menjembatani antara keyakinan dan perubahan perilaku, mengintegrasikan kesadaran tauhid dengan pengelolaan emosi serta kehendak.
Ketika teologi hanya berhenti pada tataran kognitif tanpa menyentuh transformasi jiwa, ia menjadi kering dan dogmatis. Sebaliknya, hijrah menjadikan teologi sebagai kekuatan hidup yang menggerakkan manusia untuk menjadi lebih sadar, lebih utuh, dan lebih dekat kepada Tuhan.
Di tengah dunia yang dilanda krisis identitas, disorientasi nilai, dan kehampaan spiritual, hijrah menawarkan jalan rekonstruksi diri yang berakar pada kesadaran ilahiah. Ia menyatukan kekuatan tauhid dan potensi psikologis manusia untuk membentuk kepribadian Islami yang resilien, bermakna, dan penuh kasih. Inilah kontribusi utama hijrah sebagai konsep psiko-teologis, bukan hanya menyembuhkan, tetapi juga menghidupkan kembali fitrah manusia sebagai hamba dan khalifah yang paripurna.
Allahu a‘lam bish-shawab.
0 Komentar