Oleh: Prof. Dr. Khairunnas Rajab
Dua kata, qadha dan qadar, adalah paralel yang menjadi rukun iman yang keenam. Qadha merupakan ketetapan Allah Azza wa Jalla yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Sedangkan qadar adalah ketentuan Allah SWT yang tertulis di Lauh Mahfudz. Qadar adalah ketentuan Rabbus Samawati wal Ardh yang sudah pasti, namun ikhtiarnya ada pada manusia untuk menggapainya. Ikhtiar, doa, dan tawakal adalah wilayah kewenangan personal masing-masing individu.
Di antara mereka, ada yang pencapaiannya ditempuh dengan menggunakan potensi fujur (negatif)—menghalalkan segala cara. Ada pula yang menempuh jalan dengan nilai-nilai kesadaran dan akhlak mulia, yaitu potensi taqwa (positif). Individu melakukan upaya untuk meraih takdirnya, baik berupa rezeki, jodoh, maupun kematian, dengan cara yang etis (berakhlak) atau melalui pelanggaran—seringkali disebabkan oleh dorongan prediktif yang bisa bersifat argumentatif, atau dipengaruhi oleh aspek-aspek tertentu dalam dirinya.
Setiap manusia memiliki kompetensi atau kemampuan akal dalam menerjemahkan kehidupan dan penghidupan. Sebagai makhluk berpikir, manusia secara kodrati ingin meraih sesuatu yang membuatnya hidup dalam aktualitas—yakni kondisi yang nyaman, aman, dan tenang. Aktualisasi diri adalah upaya sadar seorang individu untuk menunjukkan bahwa ia mampu berbuat melampaui, atau setidaknya sejajar, dengan orang lain.
Aktualisasi diri merupakan hierarki tertinggi menurut konsep Abraham Maslow.
Dalam perspektif Islam, aktualisasi diri adalah sesuatu yang nyata dan wujud, namun dibingkai dalam senyawa syariat yang harus diikuti. Artinya, aktualisasi diri adalah proses menghadirkan potensi ke permukaan publik dengan kompetensi yang melekat secara sah dan penuh kesahajaan. Keniscayaan aktualisasi diri harus tetap lestari sesuai nilai etis dan norma-norma syariat.
Unjuk diri kepada siapa pun tidak boleh ternodai oleh dorongan sifat fujur, agar tidak mencederai kesadaran personal maupun merusak norma masyarakat beragama. Beraktualisasi tidak boleh melanggar ketentuan apa pun, karena sejatinya ia adalah kesadaran normatif yang dibentengi oleh nilai-nilai, baik norma, hukum, maupun agama.
Fenomena abad milenial ditandai dengan merosotnya akhlak dan keadaban. Pertimbangan akhlak dan adab yang seharusnya menjadi dasar justru mengalami penyusutan makna. Sebagian individu telah larut dalam arus globalisasi yang deras dan interventif, seiring dengan penetrasi media yang kebablasan—terutama media sosial yang sulit dikontrol.
Media sosial seolah menjadi representasi diri dalam bentuk aktualitas yang kebanyakan tidak lagi mempertimbangkan nilai kebaikan dan kemanfaatan. Perubahan gaya hidup berjalan seiring dengan upaya menonjolkan diri, namun sayangnya, dalam bentuk kekonyolan dan perilaku maladaptif. Apa yang terjadi hari ini adalah pergeseran aktualisasi diri yang tadinya positif menjadi negatif.
Budaya kritik konstruktif pun miris berubah menjadi destruktif—sekali lagi, karena keinginan beraktualisasi tanpa memandang norma, baik etika maupun syariah. Popularitas diburu dengan modus memperjuangkan kepentingan orang banyak, padahal pada hakikatnya lebih bertujuan untuk pengakuan pribadi. Inilah yang disebut aktualisasi diri di ambang kehancuran (destruktif).
Setiap insan memiliki garisnya sendiri yang disebut sebagai takdir. Siapa pun memiliki takdir masing-masing, namun untuk mencapainya diperlukan kesadaran dan akal rasional. Sekalipun Allah Ta‘ala telah menetapkan qadha dan qadar bagi setiap orang, kehadirannya tetap logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tidak ada takdir—baik yang baik maupun yang buruk—yang proses dan tahapan kejadiannya tidak masuk akal. Karena Islam adalah agama bagi orang berakal, dan ajarannya pun pasti masuk akal.
Masyarakat kita familiar dengan pernyataan seperti: "Itu sudah takdirnya," atau "Takdirnya telah tertulis di Lauh Mahfudz." Pernyataan ini tidak salah, tetapi sering kali dipahami secara fatalistik, seolah-olah takdir datang begitu saja. Padahal, proses menuju takdir sangat rasional dan dapat dicerna oleh akal.
Di dunia politik kecenderungan penyimpangan aqidah acapkali terjadi, mulai dari campur tangan dukun, money politik, dan saling tikung telah mendominasi. Banyak kepentingan yang dipaksakan demi jabatan strategis di pemerintahan. Sogok menyogok, jual beli jabatan dan sihir ( menggunakan makhluk halus; jin) telah tidak lagi jadi rahasia. Semua itu dilakukan adalah pelanggaran subtantitif yang merugikan diri sendiri dan masyarakat luas. Rangkaian capaian itu adalah takdir yang tidak pernah tertukar. Apabila takdir bisa diraih dengan proses yang benar, tentulah jabatan ataupun posisi takdir dijalani dengan penuh makna dan keberkahan.
Pada prinsipnya takdir adalah ketetapan Allah SWT yang tidak pernah berubah, yang beragam adalah cara sampai pada garis takdir tersebut, berproses etis syar'i atau sebaliknya yang menghalalkan segala cara.
Allahua'lam bisshowab. (*)
0 Komentar