INDRAGIRI.com, - Pernahkah kita bertanya secara jujur: mengapa prestasi pelajar Indonesia dalam bidang sains dan matematika selalu tertinggal dibandingkan banyak negara lain? Mengapa dalam berbagai survei internasional, seperti PISA, posisi kita hampir selalu berada di papan bawah? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya bukan hal baru, tapi kerap kali dijawab dengan sikap reaktif, bukan reflektif.
Data memang tidak bisa berdusta. Dalam survei PISA beberapa
tahun lalu, Indonesia menempati peringkat ke-75 dari 81 negara untuk
matematika, dan ke-72 untuk sains. Peringkat ini jauh di bawah rata-rata OECD,
bahkan tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan
Malaysia. Fenomena ini tentu menyentak nalar, namun sayangnya belum sepenuhnya
menyentuh kesadaran kolektif kita.
Yang lebih memprihatinkan, masalah ini seringkali dicari
kambing hitamnya—kurikulum dianggap terlalu padat, guru dinilai kurang kreatif,
sistem pendidikan disebut tak relevan. Tetapi di balik semua itu, kita jarang
menoleh pada akar budaya dan cara berpikir kita sendiri sebagai bangsa
yang—secara tak sadar—kurang mendukung nalar saintifik.
Kelemahan kita dalam sains dan matematika bukan karena kita kurang cerdas. Justru sebaliknya—bangsa ini telah melahirkan ilmuwan, insinyur, dan peneliti hebat yang diakui dunia. Katakanlah Prof. Dr. Khoirul Anwar, penemu teknologi orthogonal frequency-division multiplexing (OFDM) yang menjadi dasar bagi 4G LTE. Atau Prof. Dr. Adi Utarini yang masuk dalam “Nature’s 10” tahun 2020 – daftar 10 ilmuwan dunia paling berpengaruh versi jurnal Nature berkat penelitian yang ia pimpin mengenai wolbachia untuk menekan penyebaran demam berdarah dengue melalui nyamuk yang disterilkan. Ada juga Prof. Dr. Yogi Ahmad Erlangga, ahli matematika terapan dan geofisika yang berhasil menyelesaikan persamaan Helmholtz secara efisien—sebuah terobosan penting dalam eksplorasi minyak dan gas bumi.
Belum lagi Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ
Habibie) yang merupakan salah satu tokoh paling menonjol dalam sejarah
Indonesia, yang tidak hanya dikenal sebagai Presiden ketiga RI, tetapi juga
sebagai ilmuwan kelas dunia di bidang aeronautika dan teknologi penerbangan. Ia
berhasil menciptakan rumus Crack Progression atau dikenal sebagai “Habibie
Factor”, sebuah teori untuk menghitung keretakan pada badan pesawat secara
presisi. Temuannya ini memungkinkan badan pesawat dibuat lebih ringan tanpa
mengorbankan kekuatan struktur. Sebuah terobosan besar yang mengubah desain dan
efisiensi pesawat modern yang diakui dan digunakan dalam industri pesawat
global, termasuk oleh Airbus dan Boeing.
Namun potensi ini seringkali tumbuh meski bukan karena sistem yang ada. Artinya, figur-figur hebat tersebut bukan muncul dari sebuah output sistem pendidikan yang ‘sengaja’ dirancang sedemikian rupa, namun lebih karena budaya/sistem belajar yang tumbuh secara alami di lingkungan keluarga masing-masing. Lihat saja, kita hidup dalam budaya belajar yang cenderung takut bertanya dan enggan salah. Kita terlalu cepat ingin jawaban, tapi terlalu malas menelusuri proses berpikir.
Bahkan terburu-buru menghafal daripada memahami.
Sehingga tak heran, muncul saat ini fenomena penghafal-penghafal al-Quran
cilik, yang hanya sebatas hafal namun, bukan hanya tidak mengetahui apa yang
dihafal tapi juga tidak memahami arti yang dihafalkan. Apalagi tafsir mengenai
ayat-ayat tersebut, jangan ditanyakanlah. Bukan bermaksud merendahkan nilai
relijisitas menghafal al-Quran, namun nyatanya budaya belajar kita memang
begitu, menghafal tanpa perlu mengerti. Dalam konteks al-Quran sebagai kitab
suci, bukankah lebih bermakna jika hafal dan mengerti yang dihafal sehingga
prilaku dan moral penghafal merupakan cerminan dari yang dihafal.
Lantas lihat juga ruang-ruang kelas kita. Seberapa sering siswa diberi ruang untuk mempertanyakan teori? Seberapa luas toleransi guru terhadap jawaban kreatif yang tidak konvensional? Bahkan, banyak dari mahasiswa saya di kampus yang mengadu mengenai beberapa dosen justru marah ketika diberikan pertanyaan, apalagi ketika menghadapi mahasiswa yang kritis dengan segudang pertanyaan di benaknya.
Kenapa ini terjadi? Mohon maaf, ini semua karena budaya belajar dan pola pikir umum dalam masyarakat kita, yang cenderung mengutamakan keseragaman (konformitas) dan malah alergi terhadap keberanian untuk ragu terhadap asumsi keilmuan atau pertanyaan. Kalimat ini agak sulit dipahami ya? Pokoknya begini, kalau dalam kelas, telan saja bulat-bulat apa yang dikasi oleh guru, jangan banyak tanya, jangan banyak interupsi.
Begitulah kita. Dan
matematika, dengan segala abstraksinya, sering dianggap beban yang memberatkan,
momok yang menakutkan, bukannya alat berpikir yang membebaskan, meminjam
istilahnya Paolo Freire.
Yang lebih memprihatinkan lagi, kita hidup di tengah
kemajuan digital yang ironis. Betapa tidak, sumber informasi melimpah, tetapi
kemampuan memilah dan mengkritisi informasi-informasi tersebut justru tumpul.
Budaya visual dan serba cepat membuat pelajaran yang memerlukan konsentrasi dan
ketekunan, seperti sains dan matematika, kian terpinggirkan, kalau tidak ingin
mengatakan “kian dianggap tidak penting”.
Lalu bagaimana?
Tentu tidak cukup hanya dengan mengubah kurikulum atau
menambah jam pelajaran. Kita perlu merumuskan ulang nilai-nilai dasar dalam pendidikan
bahwa bertanya adalah keniscayaan bahkan kebajikan, bukan ketidaksopanan. Bahwa
gagal adalah bagian dari proses belajar dan lompatan kepada kesuksesan. Bahwa
berpikir logis adalah bentuk tanggung jawab intelektual, bukan prilaku radikal
tak tentu arah.
Kita juga perlu menciptakan ekosistem belajar yang lebih
sehat. Oleh karena itu, harus kita bangun ruang-ruang yang merangsang
imajinasi, guru yang menghargai proses, dan keluarga yang tidak hanya menilai
prestasi dari angka di rapor. Pendidikan tidak cukup hanya ditopang oleh
birokrasi, ia harus dijaga oleh budaya dan nalar.
Maka di sinilah letak tantangan terbesarnya, yakni mengubah
pola pikir bangsa. Bahwa keberhasilan dalam sains dan matematika bukan milik
“anak pintar” semata, tapi milik siapa saja yang diberi kesempatan untuk
berpikir, tanpa dihakimi, tanpa dibatasi.
Prestasi pelajar Indonesia dalam bidang sains dan matematika
tidak akan berubah jika kita terus memelihara pola lama dan membiarkan sistem
berjalan di atas asumsi-asumsi yang sudah usang. Kita butuh keberanian untuk
mengubah cara kita mendidik dan mendewasakan cara kita berpikir sebagai bangsa.
Sebab pada akhirnya, membangun budaya saintifik bukan hanya
soal meningkatkan skor PISA, tetapi tentang menciptakan masyarakat yang mampu
berpikir jernih, mengambil keputusan dengan rasional, dan memandang masa depan
dengan nalar yang sehat.
---------------------------
Sofiandi, Ph.D adalah peneliti dan pengajar di bidang
studi Islam, pendidikan, dan masyarakat. Ia aktif menulis dan memberikan kritik
sosial terhadap isu-isu pembangunan manusia di Indonesia dan kawasan Asia
Tenggara.
0 Komentar