INDRAGIRI.com, OPINI - Kisruh terkait keberangkatan jamaah haji furoda tahun 2025
kembali mengemuka dan memancing perdebatan publik. Ribuan calon jamaah yang
telah mendaftar melalui jalur ini dikabarkan gagal berangkat karena visa yang
dijanjikan tidak kunjung terbit dari otoritas Kerajaan Arab Saudi. Situasi ini
tentu menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana letak persoalan sebenarnya?
Apakah ini murni kelalaian pihak travel, atau ada ketidaktegasan regulasi di
dalam negeri?
Pertama-tama, penting untuk menegaskan kembali bahwa perjanjian resmi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi terkait pelaksanaan ibadah haji adalah melalui jalur haji reguler, dengan kuota 221.000 jamaah untuk tahun 2025. Kuota ini telah disepakati dan dikelola langsung oleh Kementerian Agama RI melalui sistem yang sudah terstruktur dan terintegrasi, baik dari sisi pendaftaran, bimbingan, maupun pemantauan pelaksanaan di Tanah Suci.
Langkah tersebut bukan hanya tidak relevan, tapi juga kontraproduktif dalam memahami prinsip tata kelola haji yang berbasis pada kedaulatan otoritas masing-masing negara. Jika memang terjadi permasalahan pada jamaah furoda, yang seharusnya ditelusuri adalah siapa pihak yang menjanjikan visa tersebut kepada jamaah? Pihak travel tentu harus dimintai pertanggungjawaban, tetapi yang lebih penting adalah mengungkap: siapa pihak “penjamin” yang konon katanya memiliki akses untuk mengeluarkan visa?
Sayangnya, hingga kini, tidak ada kejelasan mengenai entitas mana yang menjadi penghubung antara travel penyelenggara dan sistem visa di Arab Saudi. Jika pun ada, maka lobi seharusnya diarahkan kepada pihak tersebut—bukan kepada otoritas Saudi yang telah menunaikan komitmen sesuai perjanjian resmi.
Dalam hal ini, Pemerintah Arab Saudi sesungguhnya telah bersikap konsisten: mereka mengeluarkan visa hanya untuk jalur resmi dengan kuota yang telah disepakati, dan tidak memberikan toleransi terhadap visa yang berasal dari saluran tidak resmi atau tak terverifikasi. Ini adalah bagian dari upaya modernisasi sistem haji yang tengah mereka lakukan, yang mencakup digitalisasi, transparansi, serta penegakan aturan demi keamanan dan kenyamanan jamaah dari seluruh dunia.
Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan reposisi cara pandang. Daripada sibuk melobi untuk sesuatu yang secara prinsip tidak memiliki legitimasi diplomatik, Kementerian Agama seharusnya memperkuat pengawasan terhadap travel haji non-kuota dan mengedukasi masyarakat secara masif mengenai perbedaan mendasar antara haji reguler dan haji furoda. Sosialisasi yang lemah dan janji-janji manis dari pihak travel telah menciptakan persepsi keliru di masyarakat seolah-olah haji furoda adalah hak yang bisa diperjuangkan, bukan fasilitas opsional yang tidak bisa dijamin.
Penting untuk diingat bahwa ibadah haji adalah panggilan suci yang harus dijalani dengan cara yang sah, tertib, dan tidak memaksakan kehendak. Dalam konteks ini, kejujuran informasi dan transparansi birokrasi menjadi bagian dari integritas spiritual yang harus dijaga bersama. Jangan sampai kekecewaan para jamaah berubah menjadi ketidakpercayaan publik terhadap sistem pengelolaan haji nasional yang selama ini telah berupaya keras menjadi lebih baik dari tahun ke tahun.
Kekisruhan haji furoda 2025 ini harus menjadi pelajaran kolektif bahwa regulasi, diplomasi, dan edukasi publik harus berjalan secara harmonis dan saling menguatkan. Kementerian Agama tidak perlu terjebak dalam tarik-ulur yang sebenarnya berada di luar lingkup yurisdiksinya. Fokus utama tetap harus pada pelayanan jamaah haji reguler, penegakan aturan untuk jalur non-reguler, serta perlindungan masyarakat dari praktik yang menjurus pada penipuan atau pemanfaatan celah hukum.
Sebab, sejatinya, menjaga marwah ibadah haji bukan hanya tanggung jawab spiritual, tetapi juga amanah konstitusional dan moral yang harus dijalankan secara adil, jujur, dan proporsional. (*)
--------------------
Nakeisha Alea
Mahasiswi S-1 Diplomacy and International Law di Universiti
Utara Malaysia. Ia banyak menulis mengenai isu-isu politik, hukum,
pemerintahan, dan sosial-kemasyarakatan.
0 Komentar