Qurban berasal dari bahasa Arab قُرْبَان (qurbān), yang berasal dari akar kata قَرُبَ (qaruba) yang berarti "dekat". Secara etimologis, qurban mengandung makna pendekatan diri kepada Allah SWT. Dalam tradisi keagamaan Islam, qurban dimaknai sebagai bentuk pengorbanan yang dilakukan seorang hamba demi mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Maka, qurban bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan sebuah perwujudan spiritual dari ketaatan, keikhlasan, dan kepasrahan total kepada kehendak Allah SWT.
Setiap 10 Dzulhijjah, jutaan umat Muslim di seluruh dunia menyambut Hari Raya Idul Adha dengan melaksanakan ibadah qurban. Hewan disembelih, daging dibagikan, dan masjid-masjid dipenuhi takbir kemenangan. Namun di balik kemeriahan ini, ada pesan spiritual yang jauh lebih dalam: qurban sejatinya adalah ibadah penyucian diri—sebuah latihan untuk menyembelih sifat buruk dalam diri dan meneladani ketulusan pengorbanan Nabi Ibrahim
Kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail AS, merupakan simbol tertinggi dari penghambaan kepada Allah. Setelah bertahun-tahun menanti kehadiran seorang anak, Ibrahim justru diperintahkan untuk mengorbankan putra yang paling dicintainya. Perintah yang begitu mengguncang secara logika, namun diterima sepenuhnya oleh hati yang telah terlatih dalam iman.
Ismail pun menunjukkan keteguhan luar biasa. Ia berkata, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:
"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat: 102)
Momen ini bukan tentang darah dan daging, melainkan tentang ketundukan mutlak pada kehendak Ilahi. Allah pun mengganti Ismail dengan seekor domba, seraya menegaskan bahwa yang diterima dari ibadah qurban bukanlah fisik semata, tetapi ketakwaan.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Qurban sejatinya adalah latihan rohani. Saat pisau menyentuh leher hewan, seharusnya kita juga mengasah “pisau” keinsafan untuk menyembelih sifat-sifat buruk dalam diri:
Menyembelih keserakahan, dan menumbuhkan rasa qana’ah—syukur atas yang telah dimiliki. Menyembelih rasa iri, dan menggantinya dengan doa kebaikan untuk sesama. Menyembelih kesombongan, dan menanamkan ketawadhuan.
Menyembelih cinta dunia yang berlebihan, demi menumbuhkan cinta kepada akhirat.
Dalam konteks ini, qurban bukan sekadar kebiasaan kita menyembelih hewan qurban, melainkan ajakan untuk melakukan “penyembelihan batin” secara berkala. mengingatkan kita bahwa musuh terbesar bukanlah orang lain, melainkan hawa nafsu dan ego dalam diri kita sendiri.
meneladani Nabi Ibrahim berarti berani melawan ego sendiri. Berani berkata “ya” pada nilai kebaikan, meski harus mengorbankan kenyamanan. Berani taat, meski terasa berat. Itulah jiwa qurban.
Qurban juga menanamkan semangat pengorbanan yang seharusnya terus hidup dalam keseharian: dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam hubungan sosial. Ia mengajak kita untuk lebih rendah hati, lebih peduli, dan lebih taat pada Sang Pencipta.
bahwa hidup ini bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang memberi; bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang berkorban. Dan pada akhirnya, bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego—agar hati menjadi lapang, dan jiwa kembali suci. (*)
--------------
Julyadi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
0 Komentar