INDRAGIRI.com, OPINI - Adalah Abu Zar yang pernah menghina Bilal ibn Rabah dengan sebutan "anak perempuan hitam." Rasulullah mendengar celaan itu, tersentak marah, lalu bersabda penuh tekanan: "Terlalu, terlalu, terlalu." Beliau menegaskan bahwa tidak ada kelebihan antara kulit hitam dan kulit putih. Abu Zar yang melihat kemurkaan Rasulullah segera menjatuhkan dirinya ke tanah dan memohon agar Bilal menginjak tubuhnya, sebagai bentuk penyesalan atas kesombongannya.
Kesombongan adalah sikap mental negatif yang dapat menjangkiti siapa pun, tanpa pandang kelas atau keadaan. Bahkan mereka yang hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan pun bisa dikuasai oleh sifat kibir. Ia dapat menghina dan menistakan, membutakan akal serta menumpulkan empati. Kesombongan adalah bentuk keangkuhan batin, destruktif dan tersembunyi, karakter iblis yang sangat dimurkai Allah Azza wa Jalla.
Haji, yang disimbolkan dengan pakaian ihram serba putih dan tanpa jahitan, merupakan lambang kesederhanaan, ketundukan, dan kesetaraan. Tak ada lagi sekat antara si kaya dan si miskin, pejabat atau rakyat jelata, kulit putih maupun hitam. Kisah Abu Zar dan Bilal adalah cerminan dari hancurnya tembok dikotomis yang memisahkan manusia satu dengan lainnya.
Setiap tahun, jutaan jiwa dari berbagai penjuru dunia memenuhi panggilan ilahi untuk berhaji ke Tanah Suci. Mereka bersatu dalam keseragaman niat, pakaian, dan gerakan. Di balik ritual-ritual fisik yang monumental, tersimpan kedalaman teologis dan realitas psikologis yang memperlihatkan betapa dekatnya manusia dengan Tuhannya.
Haji bukan semata-mata ibadah fisik atau perkara kesiapan finansial. Ia adalah puncak dari perjalanan spiritual, sebuah pengalaman eksistensial yang melibatkan akal, jiwa, dan ruh. Teologi haji adalah perjumpaan antara kesadaran tauhid yang paling murni dengan kerendahan eksistensi manusia sebagai hamba yang berasal dari tanah dan akan kembali kepada-Nya.
Pakaian ihram dikenakan sebagai pertanda bahwa seseorang mulai menanggalkan segala atribut duniawinya. Tiada lagi pembedaan yang bersifat diskriminatif; tidak ada lagi simbol status, jabatan, atau kekuasaan. Si petani, pedagang, nelayan, pengusaha, pejabat, maupun rakyat biasa, semua larut dalam satu identitas spiritual yang sama. Terjadi de-identifikasi sosial yang mendalam. Di sinilah awal mula kedekatan psikologis dengan Tuhan terbentuk—saat manusia merasa kecil, hina, dan tak memiliki apa pun di hadapan Yang Mahakuasa.
Perjalanan haji mendidik seorang hamba untuk menjelma menjadi makhluk spiritual yang sepenuhnya menyadari makna ubudiyyah (penghambaan). Tawaf mengelilingi Ka’bah bukan hanya gerakan jasmani, tetapi simbol orbit cinta dan penyerahan diri kepada pusat eksistensi, yakni Allah SWT. Sa’i antara Shafa dan Marwah adalah gambaran dinamika batin antara harapan dan ketakutan, antara doa dan usaha. Wukuf di Arafah adalah puncak kesadaran spiritual—di mana manusia berdiri sebagaimana ia kelak berdiri di Padang Mahsyar: mengakui dosa, memohon ampunan, dan mendamba kasih sayang Ilahi.
Setiap tahapan rukun haji pada dasarnya adalah proses pembentukan kesadaran psikologis yang mendalam. Kesadaran ini melahirkan proximity—kedekatan batiniah antara hamba dan Rabb-nya. Di hadapan Ka’bah, di tengah padang Arafah, saat melempar jumrah, atau ketika bermalam di Mina, seorang hamba tengah menjalani terapi ruhani yang membongkar egosentrisme dan menanamkan nilai-nilai transendensi.
Realitas psikologis dari ibadah haji membuat seseorang merasa benar-benar dilihat oleh Allah. Ia merasa diawasi, disapa, dan disayangi oleh-Nya. Inilah konsep ihsan dalam tasawuf: beribadah seolah-olah melihat Allah, dan jika tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihat kita. Psikologi ketuhanan ini melahirkan suasana batin yang penuh damai, syukur, dan tawakal.
Tak sedikit jemaah haji yang mengalami transformasi hidup pasca berhaji. Perubahan itu bukan sekadar akibat dari atmosfer spiritual di Makkah dan Madinah, melainkan buah dari kesadaran teologis yang hidup di hati: bahwa hidup bukan untuk dunia, melainkan untuk menggapai rida Allah SWT.
Teologi haji adalah manifestasi dari tauhid yang konkret. Ia tidak hanya mengajarkan keesaan Allah secara teoretis, tetapi mengajak manusia untuk menjalani hidup berlandaskan tauhid. Lempar jumrah, misalnya, adalah simbol perlawanan terhadap setan, hawa nafsu, dan godaan dunia. Dalam mabit dan tahallul, terkandung pesan-pesan luhur tentang kesabaran, kerendahan hati, dan pembaruan jiwa.
Berhaji adalah proses pembebasan diri dari belenggu duniawi. Seorang muhaji belajar menjadi hamba yang jujur pada dirinya sendiri: bahwa semua yang ia miliki hanyalah titipan. Ia sadar bahwa dunia hanyalah persinggahan, dan kepada Allah-lah ia akan kembali. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un—sesungguhnya kita milik Allah, dan pasti akan kembali kepada-Nya.
Haji juga menyentuh aspek-aspek sosial-keummatan. Jutaan muhaji dari latar budaya, bahasa, dan bangsa yang berbeda berkumpul dalam satu kesatuan di Tanah Haram. Ini adalah miniatur persatuan umat Islam sedunia, tanpa batas negara, tanpa warna kulit, tanpa kasta. Di sinilah tauhidul ummah (kesatuan umat) menemukan wujudnya. Di Baitullah, semua bersatu dalam tauhid, cinta, dan kasih sayang yang tak terbatas.
Subhanallah... kerinduan memuncak. Ingin selalu bersama-Mu, Ilahi Rabbiy. (*)
0 Komentar