![]() |
Prof. Dr. Khairunnas Rajab |
Saat riwayat dibacakan, lantunan kisah tentang Nabi Ibrahim AS dan putra belahan jiwanya, Ismail AS, membuat air mata jatuh tanpa suara. Dikisahkan, Nabi Ibrahim AS mengayunkan pisau ke leher putranya yang masih belia—Ismail. Sejarah kurban pun dimulai, bukan dari darah, melainkan dari cinta dan keikhlasan.
Kurban bukan sekadar ritual sembelihan. Dalam bayangan Ibrahim AS, itu adalah anak kandungnya sendiri—si belahan jiwa yang tengah tumbuh. Berat, ya Rabb! Namun, ini adalah perintah yang harus ditaati. Ismail yang masih kecil, dengan hati tulus tanpa ragu, justru meminta sang ayah untuk segera melaksanakan perintah Ilahi itu. Hati Ibrahim AS terenyuh melihat anaknya yang saleh, yang malah meyakinkan dirinya agar menunaikan tugas syar'i. Tak ada ego, tak pula prasangka di antara mereka.
Riwayat ini mencerminkan kesadaran diri, keyakinan, serta tumbuhnya ketakwaan dan ketaatan yang kukuh terhadap ajaran yang diwariskan melalui syariat oleh Sang Khalilullah. Ibadah kurban bukan ajaran yang sekadar memotivasi semangat berkurban, tetapi merupakan bentuk dari tauhidullah (mengesakan Allah) dan tauhidul ummah (kesatuan umat).
Kesadaran diri yang tumbuh dari ibadah kurban menegaskan nilai tauhid yang mendalam. Perintah dan ketaatan kepada Khaliqul Basyar lebih utama karena nurani menyadari bahwa tidak ada yang lebih layak ditaati selain Allah Azza wa Jalla demi meraih rida-Nya.
Allah SWT adalah sumber tauhid uluhiyah dan rububiyah, yang ruhnya menancap lebih dalam dari sekadar tindakan penyembelihan. Berkurban memang perintah syariat, namun mencakup dimensi empati dari tauhidul ummah—saat individu merasakan asertivitas dan simpati kepada sesama.
Kepedulian yang lahir adalah rasa persamaan dalam keberagaman, solidaritas di tengah kemajemukan, dan perjumpaan yang tak didasarkan pada kekerabatan. Tauhidul ummah menyiratkan spiritualisasi diri: bahwa setiap orang perlu berbagi kebahagiaan dan membuat semua bergembira bersama. Ia menjadi refleksi dari tauhidullah yang diwujudkan dalam keyakinan terhadap keesaan Tuhan Yang Maha Tunggal.
Tauhidullah merupakan manifestasi dari kekuatan internal yang tumbuh melalui latihan kejiwaan yang terukur. Ia adalah hidayah yang melekat pada hati insan yang senantiasa mengalami pasang-surut iman—kadang bertambah, kadang berkurang. Justru karena potensi fluktuasi inilah, doa agar iman tetap teguh di hati menjadi pilihan terbaik:
“Yā Muqallibal-qulūb, tsabbit qalbī ‘alā dīnika wa ṭā‘atika.”
"Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu dan ketaatan kepada-Mu."
Jika tauhidullah bersemayam dalam diri, bersama ketakwaan, keridaan, dan ketawakalan, maka jiwa yang bertauhid akan mendapat penjagaan dan limpahan rahmat. Dalam kondisi ini, tauhidul ummah akan lestari, berspirit kurban yang kian meningkat dengan empati yang tumbuh, simpati yang kuat, dan asertivitas yang elaboratif.
Setiap pribadi yang telah tertanam nilai-nilai tauhidullah dan tauhidul ummah akan menampakkan spiritualitas yang tercermin dalam semangat berkurban, berinfak, bersedekah, ikhlas, pemaaf, sabar, bersyukur, bertawakal, serta hidup dalam keberkahan dan kebahagiaan yang paripurna.
Teologi kurban adalah jalan menuju kesadaran paripurna: kesadaran akan keesaan Allah, dan kesadaran atas peran manusia sebagai hamba serta khalifah di bumi.
Kesadaran yang tumbuh dari teologi kurban membawa manusia pada realitas bahwa dirinya adalah bagian dari umat yang saling membantu, tolong-menolong, dan hidup bersama dalam kesederhanaan dan penuh pengertian.
Allāhu a‘lam biṣ-ṣawāb
0 Komentar