INDRAGIRI.com, - Dalam kehidupan kita sehari-hari, kata berkah terdengar begitu akrab. Ia muncul di banyak kesempatan: saat kelahiran anak, akad nikah, merintis usaha, bahkan ketika mengambil keputusan besar dalam hidup. Tak jarang kita mendengar orang berkata, “Yang penting berkahnya,” atau “Nanti juga diberi jalan oleh Allah.” Ucapan-ucapan itu terdengar manis, religius, bahkan meyakinkan.
Namun pertanyaannya, apakah setiap keputusan yang dilandasi
dengan harapan akan berkah itu otomatis tepat? Apakah konsep berkah dalam Islam
benar-benar seperti itu - cukup yakin, lalu abaikan semua pertimbangan teknis
dan akal sehat?
Suatu ketika, saya merenungkan sebuah kejadian yang menarik
sekaligus menyentil. Ada satu keluarga yang begitu berharap agar anaknya bisa
belajar di sebuah pesantren yang mereka anggap ideal. Namun, kenyataannya, si
anak mengalami kondisi psikologis yang tidak mudah ditangani. Sementara di
lingkungan pesantren itu, tidak tersedia tenaga ahli atau sistem pendukung yang
memadai. Kekhawatiran mulai muncul: bagaimana jika kondisi ini bukan hanya
menyulitkan si anak, tetapi juga mempengaruhi dinamika sekitarnya?
Tiba-tiba muncul suara lembut, “Tidak apa-apa... yang
penting berkahnya.”
Saya terdiam. Bukan karena tidak setuju dengan kalimat itu,
tetapi karena saya tahu berkah bukan tentang menafikan realitas, bukan semata
soal niat baik.
Dalam Islam, berkah (barokah) adalah sesuatu yang
amat mulia. Ia berarti bertambahnya kebaikan, meluasnya manfaat dari sesuatu
yang bahkan bisa tampak kecil atau sederhana. Berkah bukan sekadar "asal
jalan" atau “asal cara”, tapi “jalan atau cara yang benar dan membawa
kebaikan berlipat ganda.”
Masalahnya, di zaman yang penuh semangat religius ini, kita
kadang tergelincir dalam semangat yang tidak disertai ketepatan. Niat baik
memang penting. Tapi niat baik tanpa kesiapan bisa melahirkan akibat buruk.
Bukan karena kurang ikhlas, tapi karena tidak hati-hati.
Umar bin Khattab RA pernah berkata, “Bukanlah orang yang
berakal itu yang bisa membedakan baik dan buruk, tetapi yang bisa membedakan
mana yang lebih baik dari dua hal baik, dan mana yang lebih buruk dari dua hal
buruk.” Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kebijaksanaan dan
pertimbangan dalam setiap tindakan, termasuk ketika melibatkan harapan akan
keberkahan.
Berkaca dari kasus tadi, kita perlu bertanya dengan jujur:
apakah kita benar-benar sedang mencari berkah, atau hanya sedang menggunakan
(baca: memanfaatkan) kata "berkah" sebagai perisai untuk menutupi sesuatu
atau “modus” belaka?
Berkah sejati datang dari usaha yang matang, niat yang
lurus, dan keputusan yang bijaksana. Itu dasarnya (meminjam gaya bicaranya Rocky
Gerung). Menerima/melakukan sesuatu yang belum siap ditangani bukanlah sikap
tawakal, tapi bisa jadi bentuk kedunguan yang terbungkus niat baik. Apalagi
jika itu berpotensi membahayakan atau menyulitkan banyak pihak.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Barangsiapa
yang ingin dunianya, hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang ingin akhiratnya,
hendaklah dengan ilmu. Dan barangsiapa yang ingin keduanya, maka juga dengan
ilmu.” Artinya, setiap keputusan strategis, sekecil apapun, sebaiknya tetap
bersandar pada pengetahuan, bukan sekadar keinginan mulia tanpa arah.
Kemudian, berkah dalam Islam juga terkait erat dengan keadilan
sosial. Keputusan yang mengorbankan kenyamanan dan hak banyak orang atas
nama niat baik yang tidak disiapkan, bisa jadi bukan berkah, tapi beban.
Islam sangat menekankan keseimbangan antara kebaikan niat
dan dampak nyata dari perbuatan. Rasulullah SAW dalam banyak tindakannya tidak
hanya mempertimbangkan kemurnian niat, tapi juga memperhitungkan maslahat dan
mafsadat (manfaat dan mudarat). Maka, sebagai Muslim, kita tidak hanya dituntut
untuk ikhlas, tapi juga cerdas dan terukur dalam bertindak.
Berkah bukan alasan untuk bertindak sembrono. Ia bukan
jaminan untuk segala keputusan yang terburu-buru. Justru, berkah sejati lahir
dari kombinasi niat yang benar, tindakan yang rasional, perhitungan yang
matang, dan kesiapan untuk menanggung dampak.
Mari kita berhenti menjadikan “berkah” sebagai kartu AS untuk sesuatu yang tidak jelas. Sebaliknya, mari kita perjuangkan agar setiap kebijakan, langkah, dan keputusan - baik di rumah, masyarakat, ataupun institusi - berangkat dari kesadaran bahwa keberkahan adalah hasil dari upaya serius dan keberanian untuk jujur pada kemampuan yang ada. Profesional-lah…! Wallahu A'lam bi Ash-Showab.
0 Komentar