Breaking News

Yang Penting Berkah | Sofiandi, Ph.D


INDRAGIRI.com, - Dalam kehidupan kita sehari-hari, kata berkah terdengar begitu akrab. Ia muncul di banyak kesempatan: saat kelahiran anak, akad nikah, merintis usaha, bahkan ketika mengambil keputusan besar dalam hidup. Tak jarang kita mendengar orang berkata, “Yang penting berkahnya,” atau “Nanti juga diberi jalan oleh Allah.” Ucapan-ucapan itu terdengar manis, religius, bahkan meyakinkan.

Namun pertanyaannya, apakah setiap keputusan yang dilandasi dengan harapan akan berkah itu otomatis tepat? Apakah konsep berkah dalam Islam benar-benar seperti itu - cukup yakin, lalu abaikan semua pertimbangan teknis dan akal sehat?

Suatu ketika, saya merenungkan sebuah kejadian yang menarik sekaligus menyentil. Ada satu keluarga yang begitu berharap agar anaknya bisa belajar di sebuah pesantren yang mereka anggap ideal. Namun, kenyataannya, si anak mengalami kondisi psikologis yang tidak mudah ditangani. Sementara di lingkungan pesantren itu, tidak tersedia tenaga ahli atau sistem pendukung yang memadai. Kekhawatiran mulai muncul: bagaimana jika kondisi ini bukan hanya menyulitkan si anak, tetapi juga mempengaruhi dinamika sekitarnya?

Tiba-tiba muncul suara lembut, “Tidak apa-apa... yang penting berkahnya.”

Saya terdiam. Bukan karena tidak setuju dengan kalimat itu, tetapi karena saya tahu berkah bukan tentang menafikan realitas, bukan semata soal niat baik.

Dalam Islam, berkah (barokah) adalah sesuatu yang amat mulia. Ia berarti bertambahnya kebaikan, meluasnya manfaat dari sesuatu yang bahkan bisa tampak kecil atau sederhana. Berkah bukan sekadar "asal jalan" atau “asal cara”, tapi “jalan atau cara yang benar dan membawa kebaikan berlipat ganda.”

Masalahnya, di zaman yang penuh semangat religius ini, kita kadang tergelincir dalam semangat yang tidak disertai ketepatan. Niat baik memang penting. Tapi niat baik tanpa kesiapan bisa melahirkan akibat buruk. Bukan karena kurang ikhlas, tapi karena tidak hati-hati.

Umar bin Khattab RA pernah berkata, “Bukanlah orang yang berakal itu yang bisa membedakan baik dan buruk, tetapi yang bisa membedakan mana yang lebih baik dari dua hal baik, dan mana yang lebih buruk dari dua hal buruk.” Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kebijaksanaan dan pertimbangan dalam setiap tindakan, termasuk ketika melibatkan harapan akan keberkahan.

Berkaca dari kasus tadi, kita perlu bertanya dengan jujur: apakah kita benar-benar sedang mencari berkah, atau hanya sedang menggunakan (baca: memanfaatkan) kata "berkah" sebagai perisai untuk menutupi sesuatu atau “modus” belaka?

Berkah sejati datang dari usaha yang matang, niat yang lurus, dan keputusan yang bijaksana. Itu dasarnya (meminjam gaya bicaranya Rocky Gerung). Menerima/melakukan sesuatu yang belum siap ditangani bukanlah sikap tawakal, tapi bisa jadi bentuk kedunguan yang terbungkus niat baik. Apalagi jika itu berpotensi membahayakan atau menyulitkan banyak pihak.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Barangsiapa yang ingin dunianya, hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang ingin akhiratnya, hendaklah dengan ilmu. Dan barangsiapa yang ingin keduanya, maka juga dengan ilmu.” Artinya, setiap keputusan strategis, sekecil apapun, sebaiknya tetap bersandar pada pengetahuan, bukan sekadar keinginan mulia tanpa arah.

Kemudian, berkah dalam Islam juga terkait erat dengan keadilan sosial. Keputusan yang mengorbankan kenyamanan dan hak banyak orang atas nama niat baik yang tidak disiapkan, bisa jadi bukan berkah, tapi beban.

Islam sangat menekankan keseimbangan antara kebaikan niat dan dampak nyata dari perbuatan. Rasulullah SAW dalam banyak tindakannya tidak hanya mempertimbangkan kemurnian niat, tapi juga memperhitungkan maslahat dan mafsadat (manfaat dan mudarat). Maka, sebagai Muslim, kita tidak hanya dituntut untuk ikhlas, tapi juga cerdas dan terukur dalam bertindak.

Berkah bukan alasan untuk bertindak sembrono. Ia bukan jaminan untuk segala keputusan yang terburu-buru. Justru, berkah sejati lahir dari kombinasi niat yang benar, tindakan yang rasional, perhitungan yang matang, dan kesiapan untuk menanggung dampak.

Mari kita berhenti menjadikan “berkah” sebagai kartu AS untuk sesuatu yang tidak jelas. Sebaliknya, mari kita perjuangkan agar setiap kebijakan, langkah, dan keputusan - baik di rumah, masyarakat, ataupun institusi - berangkat dari kesadaran bahwa keberkahan adalah hasil dari upaya serius dan keberanian untuk jujur pada kemampuan yang ada. Profesional-lah…! Wallahu A'lam bi Ash-Showab.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close