Bawaslu; Antara Penegakan Hukum dan Moral | Ahmad Tamimi

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Bawaslu; Antara Penegakan Hukum dan Moral | Ahmad Tamimi

Selasa, 13 Juni 2023
           Seiring jalannya tahapan pemilu tahun 2024, banyaknya aktivitas perorangan maupun kelompok yang mengarah pada kegiatan kampanye, seperti sosialisasi; penyebaran poster, stiker, sepanduk, baliho, bantuan sosial, deklarasi membentuk kelompok relawan untuk penguatan citranya hingga komitmen dukungan baik bakal calon Presiden maupun legislatif, dan ini dilakukan sebelum masa kampanye.

          Fenomena lain seperti kasus pembagian uang zakat berlogo partai di rumah ibadah yang terjadi di Sumenep Jawa Timur 24 Maret 2023 lalu oleh kader partai PDIP. Dari hasil penelusuran, Bawaslu memandang bahwa terdapat persoalan hukum dalam pristiwa tersebut, mengingat pembagian itu dilakukan di tengah tahapan pemilu sedang berjalan. Namun, dari hasil klarifikasi yang dilakukan hal tersebut tidak dapat diproses pada tahap penanganan pelanggaran pemilu.

          Menurut anggota Bawaslu RI Totok Hariyono, peristiwa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kampanye pemilu, karena berdasarkan Peraturan KPU nomor 3 tahun 2022 kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa partai tersebut memang termasuk peserta pemilu tahun 2024 sebagai subyek hukum, namun berdasarkan fakta bahwa peristiwa itu dilakukan atas inisiatif personal bukan kebijakan partai, dan yang bersangkutan juga bukan kandidat atau calon (Bawaslu, 6/4/2023), terkait kasus ini Bawaslu hanya memberikan himbauan moral, lantas bagaimana pengaturannya. Dari beberapa peristiwa tersebut, publik semacam menagih fungsi Bawaslu agar konsisten menegakan hukum pemilu disetiap tahapan, tapi justru belum dapat dilakukan, lalu fungsi apa yang harus Bawaslu lakukan ketika norma hukum mengalami keterbatasan ruang.

Pengaturan Terbatas Daya Norma

       Pengaturan kampanye di luar jadwal terdapat dalam pasal 25 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan KPU Nomor 33 tahun 2018. Hemat penulis dalam pasal itu selain kontradiktif juga tidak punya daya ikat, seperti pengaturan tentang larangan kampanye diluar jadwal tapi tidak ada sanksi yang jelas dan tegas terutama terkait dengan subyek hukumnya, seperti sanksi pidana kampanye luar jadwal sebagaimana bunyi pasal 492 undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, normanya jelas membatasi luar jadwal dalam masa kampanye dan bukan luar jadwal di luar masa kampanye sebagaimana dimaksud oleh pasal 25 ayat 1 Peraturan KPU.

          Kemudian sisi kontradiktif pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 33 tahun 2018 dijelaskan bahwa “partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu dilarang melakukan kampanye sebelum dimulainya masa kampanye…”. Jika di luar masa kampanye justru tidak bisa digunakan istilah “kampanye”. Sebab, terminologi kampanye luar jadwal itu hanya ada dan untuk kampanye yang dilakukan luar jadwal dalam masa kampanye. Hal ini dijelaskan dalam pasal 279 bahwa mengenai pedoman pelaksanaan kampanye pemilu termasuk soal metode, waktu dan tempat dan pelaksanaannya secara nasional diatur oleh Peraturan KPU. Jadi, di luar masa kampanye lebih tepatnya disebut sebagai aktivitas sosialisasi partai politik. Lantas bagaimana dengan kegiatan sosialisasi tidak beraturan yang dinilai mencuri star, bukankah ini tidak sesuai dengan asas keadilan pemilu bagi semua peserta. Harapan publik yang ditangkap dari jendela media agar Bawaslu konsisten menegakkan hukum pemilu disemua tahapan, sementara bawaslu mengalami keterbatasan daya norma.

 Antara Penegakan Hukum dan Moral

       Dalam teori, sistem keadilan pemilu (electroral justice sistem) hadir sebagai upaya agar tersedianya mekanisme komplain untuk memastikan prosedur pemilu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum, serta melindungi hak pilih dan dipilih. (Ayman Ayoub & Andrew Ellis, 2010:9). Oleh karena itu, sistem keadilan pemilu terdiri dari instrumen pencegahan dan penanganan pelanggaran atau sengketa untuk jaminan terwujudnya pemilu yang berintegritas.

      Kerangka ini kemudian tertuang dalam pasal 93, 97 dan 101  undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu, setidaknya memberikan 3 poin arah tugas Bawaslu. Pertama; mengawasi setiap tahapan, kedua; melakukan fungsi pencegahan, yaitu melakukan identifikasi, koordinasi, sosialisasi serta pendidikan politik yang bersifat kreasi dan inovasi. Ketiga; fungsi penindakan, yaitu penegakan hukum untuk memberikan keadilan dan kepastian.

       Tiga tugas utama itu adalah satu kesatuan yang tak terpisah untuk mewujudkan pemilu berintegritas dengan penegakan asas keadilan. Untuk mewujudkan asas keadilan tidak semata dapat dipahami hanya dengan pendekatan hukum atau norma, tetapi juga dengan pendekatan moral. Pendekatan norma, terkait larangan dan sanksi yang mengandung kepastian (fungsi penindakan). Akan tetapi pendekatan moral menitik beratkan pada tegaknya ajaran moral yang berlaku ditengah masyarakat dengan maksud agar peserta dan masyarakat memahami, meyakini serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, tolerasi, kebaikan hati dan tanggungjawab (fungsi pencegahan).

        Namun ketika terjadi kekosongan hukum yang megatur seperti maraknya kegiatan sosialisasi yang terkesan kampanye sebelum masa kampanye, atau norma yang mengandung larangan tanpa sanksi, maka masuk wilayah fungsi pencegahan sebagai maksud dalam pasal 93, 97 dan 101, atau dapat disebut dengan gerakan moral yang bersifat tidak mengikat namun hanya sebatas membangun malu yang berkaitan erat dengan cara, budaya serta adab berpolitik masyarakat Indonesia.

         Hemat penulis ketika moralitas dan adab satu masyarakat sudah tinggi maka dapat dikatakan tidak lagi diperlukan bingkai norma yang mengatur prilaku berpolitik secara detil, karena cukup malu menjadi penyangga rasa sosialnya untuk mengatur tingkah laku dalam berpolitik. Pandangan ini bukan berarti penulis mengaggap norma tidak penting, akan tetapi antara hukum dan moral saling menopang untuk mewujudkan pemilu berintergitas, serta jujur dan adil.

         Jadi, terkait dengan kegiatan sosialisasi tak beraturan saat ini yang dinilai mencuri star, tidak dapat ditegakan Bawaslu dengan fungsi penindakan, akan tetapi hanya sebatas himbauan moral kepada peserta dan masyarakat agar tetap menjaga nilai-nilai keadilan, persatuan, edukasi dalam kontestasi pada tahapan sedang berjalan. Oleh karenanya sosialisasi tidak dilarang selama nilai-nilai moral dapat dipegang, apalagi masa kampanye pemilu tahun 2024 begitu singkat yang hanya 75 hari, tentu tidak rasional jika sosialisasi dilarang, karena jelas tidak cukup waktu untuk melaksanakan kampanye.

      Disinilah dapat dijelaskan bahwa pendekatan dan penegakan hukum pemilu bukanlah hal yang otonom sebagaimana dalam teori hukum murni Teori Hans kalsen, akan tetapi lebih integratif sebagaimana oleh dijelaskan dalam Romli Atmasasmita, karena tidak ada yang bisa berdiri sendiri dan semua saling menopang satu sama lain terutama antara hukum dan moral sebagaimana kerangka penegakan hukum pemilu dalam Undang-undang Pemilu. (*)