Breaking News

Makna Sejati Sarjana: Dari Jiwa Merdeka ke Ijazah yang Hilang Ruhnya | Sudirman Anwar

 

ilustrasi

INDRAGIRI.com, OPINI - Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: “Apa sebenarnya arti menjadi sarjana?”

Hari ini, gelar SARJANA menjadi tanda status sosial, tiket kerja, atau simbol kesuksesan akademik.
Tapi delapan hingga sembilan abad yang lalu  di Oxford, Paris, Bologna, dan universitas-universitas tertua di Eropa, gelar sarjana (bachelor of arts) bukan tentang karier. Ia adalah tanda bahwa seseorang telah belajar menjadi manusia yang berpikir bebas.

Kata universitas sendiri berasal dari universitas magistrorum et scholarium yang berarti “perkumpulan para guru dan murid.”

Ia bukan institusi birokratis. Ia adalah komunitas pencarian kebenaran.

Dan apa yang pertama kali diajarkan di sana?Bukan teknik, bukan bisnis, bukan akuntansi.
Tiga hal sederhana tapi mendalam:

1. Grammatica, agar mampu berpikir tertib dan berbahasa dengan jelas.

2. Logica, agar tahu membedakan mana yang benar dan salah.

3. Rhetorica, agar bisa menyampaikan gagasan dengan cara yang membangkitkan nurani.

Itulah dasar dari apa yang disebut trivium, tiga jalan menuju kebijaksanaan. Tujuannya bukan agar cepat kerja,tapi agar manusia bebas berpikir, Free Spirit.

Nah, Bagi mereka yang ingin bekerja di bidang keterampilan praktis, ada tempat belajar lain disebut “vocatio” (dari bahasa Latin vocare, artinya “memanggil”). Inilah asal mula kata vokasi: pendidikan yang berfokus pada panggilan kerja, bukan panggilan jiwa.

Dua jalur ini universitas dan vokasi dulunya berjalan beriringan. Yang satu membentuk pikiran bebas, yang satu membentuk keahlian hidup.

Namun hari ini, keduanya sering tertukar. Kita mengirim anak ke universitas untuk mendapat pekerjaan, padahal akar katanya mengajarkan: universitas adalah tempat mencari kebijaksanaan.

Kini, banyak mahasiswa belajar bukan karena haus pengetahuan, tapi karena takut tidak lulus. Bukan karena ingin berpikir, tapi karena ingin cepat selesai.

Pendidikan pun berubah dari proses pencerahan menjadi industri gelar.

“Kita tidak lagi mencetak pemikir bebas,
tapi pekerja yang patuh dengan toga.”

Padahal dulu, menjadi sarjana berarti menjadi orang yang bertanggung jawab atas pikirannya sendiri. Ia bebas bukan karena menolak aturan, tapi karena menguasai logika, bahasa, dan keindahan berpikir.

Mungkin sudah saatnya pendidikan kita bertanya ulang: Apakah universitas masih universitas atau sudah jadi sekadar pabrik ijazah?

Apakah dosen masih menyalakan obor, atau sekadar memeriksa absen?

Apakah mahasiswa masih mencari kebenaran, atau hanya mengumpulkan nilai?

Sarjana Sejati Adalah Jiwa yang Merdeka, Menjadi sarjana bukan soal toga atau wisuda, tapi soal keberanian berpikir dengan nalar, berbicara dengan hati, dan bertindak dengan nurani.

Sarjana sejati adalah mereka yang belajar bukan untuk hidup, tapi belajar agar hidupnya bermakna. Dan mungkin, pendidikan kita hari ini tak perlu diubah total, cukup dikembalikan pada maknanya.

“Universitas bukan tempat menimbun ilmu,
tapi taman di mana pikiran tumbuh dan jiwa menjadi merdeka.” (Allahu 'Alam)
--------


0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close