Penulis : Nasripin, nasripin834@gmail.com
STAI IBNU SINA BATAM
Dosen Pembimbing: Dr. Ita Tryas Nur Rochbani
ABSTRAK
Ilmu dalam perspektif filsafat pendidikan
Islam tidak hanya dipahami sebagai hasil dari proses berpikir rasional semata,
tetapi juga sebagai anugerah ilahiah yang mengarahkan manusia kepada pengenalan
hakikat kebenaran dan tujuan hidup. Pendidikan dalam Islam bukan sekadar sarana
transfer pengetahuan, melainkan proses penyempurnaan jiwa manusia agar mampu
mengenali Tuhannya dan menjalankan amanah sebagai khalifah di bumi. Tulisan ini
bertujuan untuk menguraikan kedudukan ilmu dalam filsafat pendidikan Islam
serta relevansinya terhadap sistem pendidikan kontemporer yang cenderung
menekankan aspek intelektual dan instrumental semata. Melalui kajian
kepustakaan terhadap pemikiran para tokoh klasik seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina,
dan Ibnu Rusyd, ditemukan bahwa pendidikan ideal dalam Islam bersifat integrative
menggabungkan antara dimensi rasional, spiritual, dan moral. Hasil kajian ini
menunjukkan bahwa filsafat pendidikan Islam menempatkan ilmu sebagai jalan menuju
penyempurnaan diri dan pembentukan karakter insan kamil, yakni manusia
paripurna yang seimbang antara akal dan iman. Dengan demikian, aktualisasi
pendidikan Islam di era modern harus diarahkan pada rekonstruksi paradigma
pendidikan yang menempatkan nilai-nilai ilahiah sebagai inti dari seluruh
proses pembelajaran.
Kata Kunci: Ilmu, Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan,
Epistemologi Islam, Nilai Spiritual.
PENDAHULUAN
Filsafat pendidikan Islam menempatkan hubungan antara ilmu dan pendidikan
sebagai fondasi pembentukan manusia seutuhnya. Dalam pandangan ini, ilmu
bukanlah entitas netral, melainkan sarana ilahiah untuk membimbing manusia
mencapai kebijaksanaan dan keadilan. Ilmu yang sejati, menurut pemikiran Islam,
adalah ilmu yang mengantarkan manusia kepada pengenalan terhadap realitas
tertinggi, yaitu Allah SWT. Pemikiran ini menjadi antitesis terhadap paradigma
modern yang menempatkan ilmu sebagai alat eksploitasi alam dan sesama manusia.
Salah satu kritik utama terhadap sistem pendidikan modern adalah terjadinya
reduksi makna ilmu. Ilmu hanya dipandang dari sisi utilitarian—berorientasi
pada kebutuhan ekonomi, teknologi, dan kompetisi global. Padahal, dalam
kerangka pendidikan Islam, ilmu harus bersifat integratif dan membawa kesadaran
moral. Pemikiran tokoh seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa
dewesternisasi ilmu menjadi langkah penting untuk memulihkan kesucian
pengetahuan sebagai sarana menuju kebenaran dan keadilan sosial.
Lebih jauh, filsafat pendidikan Islam memandang pendidikan sebagai proses
penyadaran diri (self-realization). Proses ini menuntut peserta didik untuk
mengenali hakikat dirinya sebagai hamba dan khalifah. Dengan demikian,
pendidikan bukan sekadar instrumen sosial, melainkan sarana transendental yang
mengantarkan manusia pada puncak kebijaksanaan. Pendidikan yang ideal adalah
pendidikan yang menyeimbangkan kecerdasan intelektual dengan kebijaksanaan
spiritual.
Pemikiran kontemporer dalam pendidikan Islam menekankan pentingnya
rekonstruksi paradigma pendidikan berbasis tauhid. Paradigma ini menolak
pemisahan antara ilmu agama dan ilmu dunia, sebab keduanya berasal dari sumber
yang sama wahyu Ilahi. Integrasi ini mengharuskan adanya revisi terhadap
kurikulum, metode pengajaran, dan evaluasi hasil belajar agar selaras dengan
nilai-nilai Islam dan kebutuhan manusia modern.
Akhirnya, dalam konteks globalisasi dan disrupsi digital, filsafat
pendidikan Islam menawarkan orientasi moral dan spiritual yang mampu
menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan kemanusiaan. Pendidikan Islam tidak
menolak perubahan, tetapi mengarahkan perubahan tersebut agar tidak menjauhkan
manusia dari hakikatnya. Pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai ilahiah
diyakini mampu membentuk manusia yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi
juga berkarakter dan berjiwa rahmatan lil ‘alamin.
Dalam perspektif Islam, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai proses
mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengembangkan potensi
fitrah manusia agar mampu mengenal, mengabdi, dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Filsafat pendidikan Islam memberikan dasar ontologis, epistemologis, dan
aksiologis bagi pengembangan ilmu dan sistem pendidikan yang berorientasi pada
keseimbangan antara aspek intelektual, spiritual, dan moral. Hal ini menjadi
relevan di tengah krisis nilai dan degradasi moral yang melanda dunia
pendidikan modern, di mana ilmu sering kali dipisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan dan kemanusiaan (Al-Attas, 1991).
Secara ontologis, pendidikan Islam berpijak pada pandangan tentang manusia
sebagai makhluk yang memiliki dimensi jasmani dan ruhani. Ilmu dalam Islam
tidak bersifat bebas nilai, melainkan harus diarahkan kepada tujuan yang mulia,
yaitu tercapainya insan kamil manusia sempurna yang seimbang antara kecerdasan
akal, keluhuran budi, dan ketundukan spiritual kepada Allah SWT (Al-Ghazali,
2002). Oleh karena itu, pendidikan Islam harus berfungsi tidak hanya
mencerdaskan pikiran, tetapi juga menyucikan jiwa dan memperkuat karakter moral
peserta didik.
Dari sisi epistemologis, filsafat pendidikan Islam mengakui bahwa sumber
ilmu pengetahuan berasal dari tiga pilar utama: wahyu, akal, dan pengalaman.
Integrasi ketiganya melahirkan pandangan bahwa ilmu tidak boleh terlepas dari nilai-nilai
wahyu yang menjadi pedoman kebenaran tertinggi. Tokoh-tokoh besar seperti Ibnu
Sina dan Ibnu Rusyd menekankan pentingnya peran akal dalam memahami wahyu,
sementara Al-Ghazali mengingatkan agar akal tidak keluar dari batas etika dan
spiritualitas (Nasr, 1987; Rosenthal, 2007).
Dalam konteks aksiologi, pendidikan Islam menempatkan ilmu sebagai sarana
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Nilai-nilai moral dan spiritual
menjadi landasan dalam setiap proses pembelajaran, sehingga ilmu tidak hanya
bermanfaat bagi individu, tetapi juga bagi kemaslahatan umat manusia. Pandangan
ini berbeda dengan paradigma pendidikan sekuler modern yang cenderung
menempatkan ilmu sebagai alat untuk mencapai kemajuan material dan kekuasaan
(Hashim, 2017).
Dengan demikian, pembahasan tentang ilmu dan pendidikan dalam perspektif
filsafat pendidikan Islam menjadi penting untuk mengembalikan orientasi
pendidikan kepada tujuan hakikinya, yakni membentuk manusia yang berilmu,
berakhlak, dan bertanggung jawab terhadap Tuhan, sesama, dan alam. Tulisan ini
akan menguraikan secara mendalam konsep ilmu dalam filsafat pendidikan Islam,
prinsip-prinsip filosofis yang mendasarinya, serta relevansinya terhadap sistem
pendidikan kontemporer yang sedang mengalami disorientasi nilai.
KAJIAN TEORITIS
Kajian
teoritis ini disusun berdasarkan kerangka konseptual yang telah dijelaskan
sebelumnya, yang mencakup tiga komponen utama dalam filsafat pendidikan Islam:
pengertian ilmu dalam Islam, filsafat pendidikan Islam sebagai sistem nilai,
dan pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik yang membentuk landasan epistemologis
dan aksiologis pendidikan Islam.
1. Pengertian Ilmu dalam Islam
Ilmu
dalam Islam berasal dari kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan atau
pemahaman yang membawa manusia kepada kebenaran. Dalam pandangan Islam, ilmu
bukan semata hasil rasionalitas manusia, melainkan pancaran cahaya Ilahi yang
menuntun hati dan akal kepada kebenaran hakiki. Al-Qur’an mengangkat kedudukan
ilmu dengan menempatkannya sebagai sarana untuk mengenal Allah SWT. Sebagaimana
ditegaskan oleh Al-Attas (1991), ilmu dalam Islam memiliki fungsi ganda:
sebagai sarana mengenal ciptaan Allah dan sebagai alat untuk menegakkan
keadilan serta kesejahteraan. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus membangun
struktur keilmuan yang tidak memisahkan antara ilmu rasional dan wahyu.
Dalam
konteks sosial, ilmu juga berperan sebagai kekuatan pembebasan yang memampukan
manusia untuk memahami realitas dan memperbaikinya sesuai nilai-nilai Ilahi.
Pandangan ini menolak ide bahwa ilmu bersifat netral, karena setiap pengetahuan
selalu membawa konsekuensi moral. Ilmu yang digunakan tanpa kesadaran etis
dapat menimbulkan ketimpangan dan kerusakan, sebagaimana tampak dalam
eksploitasi alam dan manusia pada era modern. Dengan demikian, pendidikan Islam
harus mengajarkan etika pengetahuan sebagai bagian tak terpisahkan dari
pembelajaran ilmiah.
Selain
itu, dalam pandangan filsafat Islam, ilmu tidak hanya berhubungan dengan dunia
empiris, tetapi juga mencakup dimensi metafisis yang menghubungkan manusia
dengan Tuhan. Pemahaman ini menjadikan pencarian ilmu sebagai bagian dari
perjalanan spiritual. Proses belajar tidak berhenti pada penguasaan konsep,
tetapi berlanjut pada penyadaran diri bahwa seluruh ilmu bermuara pada
pengenalan terhadap kebesaran Allah SWT.
Penulis
berpendapat bahwa ilmu dalam Islam memiliki sifat holistik: ia mencakup aspek
kognitif, afektif, dan spiritual. Keseimbangan ketiganya menghasilkan manusia
yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan moral
dan tanggung jawab sosial. Dalam praktik pendidikan, pendekatan ini dapat
diterapkan melalui integrasi nilai-nilai Qur’ani dalam pengajaran sains,
teknologi, maupun humaniora.
Akhirnya,
penting ditegaskan bahwa ilmu dalam Islam bersifat dinamis dan terus berkembang.
Islam tidak menolak kemajuan teknologi atau sains modern, tetapi menuntut agar
kemajuan tersebut diletakkan dalam kerangka etika tauhid. Setiap inovasi harus
dinilai dari segi manfaatnya bagi kemanusiaan dan kesesuaiannya dengan
nilai-nilai keadilan. Dengan demikian, pendidikan Islam memiliki peran
strategis dalam mengarahkan perkembangan ilmu agar tetap berorientasi pada
kemaslahatan universal.
2. Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat
pendidikan Islam membahas dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis
pendidikan. Secara ontologis, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki
potensi jasmani dan ruhani yang harus dikembangkan secara seimbang. Secara
epistemologis, sumber ilmu pengetahuan dalam Islam mencakup wahyu, akal, dan
pengalaman, yang saling melengkapi dalam proses mencari kebenaran. Sedangkan
secara aksiologis, tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukan insan
kamil, yaitu manusia sempurna yang berilmu, berakhlak, dan beriman. Pandangan
ini sejalan dengan gagasan Al-Ghazali (2002) yang menempatkan pendidikan
sebagai jalan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pencarian
kebahagiaan sejati.
Lebih
jauh, filsafat pendidikan Islam menempatkan tauhid sebagai asas utama dalam
seluruh proses pendidikan. Tauhid bukan hanya dogma teologis, melainkan prinsip
kesatuan yang mengikat seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk ilmu
pengetahuan dan pendidikan. Dengan demikian, setiap aktivitas belajar harus
diarahkan pada kesadaran akan keesaan Tuhan dan keterhubungan antara ciptaan
dan Pencipta. Prinsip ini mencegah terjadinya fragmentasi ilmu dan
mengembalikan makna belajar sebagai bentuk pengabdian spiritual.
Penulis
berpandangan bahwa dalam konteks pendidikan masa kini, filsafat pendidikan
Islam memiliki relevansi kuat dalam menjawab tantangan disorientasi nilai.
Banyak lembaga pendidikan modern yang fokus pada capaian akademik tanpa
menanamkan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial. Filsafat pendidikan Islam
hadir untuk menegaskan kembali bahwa tujuan utama pendidikan bukan hanya
mencetak pekerja terampil, tetapi membentuk manusia beradab dan bermartabat.
Selain
itu, hubungan antara guru dan murid dalam filsafat pendidikan Islam bersifat
simbiosis spiritual. Guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi juga teladan
hidup yang menginspirasi kejujuran, kesabaran, dan kebijaksanaan. Dalam tradisi
Islam klasik, hubungan ini disebut tarbiyah, yaitu proses pembimbingan
yang menumbuhkan potensi ruhani dan intelektual secara bersamaan. Konsep ini
menuntut transformasi dalam sistem pendidikan modern agar lebih menekankan
aspek kemanusiaan daripada mekanistik.
Filsafat
pendidikan Islam juga menekankan pentingnya keseimbangan antara ilmu teoritis
dan praktik. Ilmu tidak bermakna bila tidak diwujudkan dalam tindakan nyata
yang bermanfaat bagi sesama. Pendidikan harus mampu melahirkan manusia yang
tidak hanya berpikir benar, tetapi juga bertindak benar. Oleh karena itu, penulis
menilai bahwa pembelajaran dalam kerangka pendidikan Islam harus bersifat
partisipatif, dialogis, dan berorientasi pada pengamalan nilai-nilai keadilan
dan rahmah.
Akhirnya,
filsafat pendidikan Islam menuntut adanya pembaruan paradigma pendidikan yang lebih
humanistik dan spiritual. Integrasi antara sains dan nilai-nilai ketuhanan
menjadi jalan tengah antara rasionalitas dan iman. Pembaruan ini tidak hanya
penting bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam, tetapi juga bagi sistem
pendidikan nasional yang ingin menumbuhkan manusia Indonesia yang berilmu,
berakhlak, dan beradab sejati.
3. Pemikiran Tokoh-Tokoh Klasik Islam
Pemikiran
para tokoh klasik Islam tidak hanya memberikan sumbangsih terhadap perkembangan
ilmu, tetapi juga membentuk dasar filosofis bagi sistem pendidikan Islam yang
berorientasi pada keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas. Ibnu
Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd adalah tiga di antara tokoh utama yang
gagasannya terus berpengaruh hingga masa kini.
Ibnu Sina
melihat pendidikan sebagai sarana pengembangan potensi intelektual dan moral
yang seimbang. Baginya, ilmu harus berfungsi sebagai alat untuk mencapai
kebahagiaan dan kesempurnaan manusia. Ia menolak konsep pendidikan yang hanya
menekankan hafalan dan pengetahuan teoritis tanpa mengasah daya pikir kritis
dan kebijaksanaan praktis. Pandangan ini menegaskan pentingnya pembelajaran
kontekstual yang menghubungkan teori dengan realitas kehidupan.
Al-Ghazali,
di sisi lain, menekankan dimensi spiritual dalam pendidikan. Menurutnya, ilmu tidak
memiliki nilai bila tidak disertai dengan niat yang benar dan pengamalan yang
tulus. Pendidikan harus mempersiapkan manusia agar menjadi makhluk beradab,
berakhlak, dan mampu mengendalikan hawa nafsunya. Dalam hal ini, guru berperan
sebagai penuntun moral yang membimbing murid menuju pencerahan hati dan
kesucian jiwa. Konsep ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter merupakan inti
dari proses pendidikan Islam.
Ibnu
Rusyd menghadirkan sintesis antara wahyu dan akal. Ia menolak dikotomi ilmu
agama dan ilmu dunia karena keduanya bersumber dari kebenaran yang sama. Dalam
konteks filsafat pendidikan, Ibnu Rusyd menekankan perlunya keterbukaan
intelektual dan rasionalitas kritis dalam menafsirkan teks-teks keagamaan tanpa
meninggalkan prinsip iman. Pemikirannya menginspirasi pendekatan pendidikan
yang inklusif dan rasional, yang sangat relevan untuk menjawab tantangan zaman
modern.
Penulis
berpandangan bahwa pemikiran tokoh-tokoh klasik ini perlu direvitalisasi dalam
pendidikan Islam kontemporer. Keseimbangan antara akal dan wahyu, serta
integrasi antara ilmu dan moralitas, menjadi dasar yang kuat untuk membangun
sistem pendidikan yang berkeadaban. Dengan mengaktualisasikan nilai-nilai
tersebut, pendidikan Islam dapat berfungsi sebagai kekuatan transformasi sosial
yang menumbuhkan manusia berilmu sekaligus bertakwa. Ibnu Sina menekankan
pentingnya pendidikan sebagai upaya rasional untuk mengembangkan kemampuan
berpikir dan memahami hakikat realitas. Baginya, pendidikan ideal adalah yang
menggabungkan antara kecerdasan intelektual dan kepekaan moral. Sementara itu,
Ibnu Rusyd menolak pemisahan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ia berpandangan
bahwa akal dan wahyu adalah dua jalan yang saling mendukung dalam menyingkap
kebenaran (Leaman, 1999). Al-Ghazali memberikan penekanan pada aspek spiritual
pendidikan, bahwa ilmu tanpa niat yang benar hanya akan menimbulkan kesombongan
intelektual. Oleh karena itu, guru dalam pandangan Islam memiliki peran penting
bukan hanya sebagai penyampai ilmu, tetapi juga pembimbing moral dan spiritual
(Nasr, 1987).
4. Relevansi dengan Pendidikan Kontemporer
Dalam
konteks pendidikan modern, filsafat pendidikan Islam memberikan kritik mendalam
terhadap sistem sekuler yang menempatkan ilmu secara bebas nilai. Hashim (2017)
menegaskan bahwa krisis moral yang terjadi saat ini merupakan akibat dari
pemisahan antara pengetahuan dan etika. Pendidikan Islam harus diarahkan untuk
memulihkan kesatuan antara ilmu dan nilai melalui pendekatan ta’dib,
yakni proses pembentukan manusia beradab yang memahami tempat dirinya,
Tuhannya, dan masyarakatnya. Integrasi ilmu dan iman menjadi kebutuhan mendesak
untuk mengatasi disorientasi pendidikan kontemporer.
Selain
itu, filsafat pendidikan Islam memiliki relevansi besar dalam menghadapi
tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi. Dunia pendidikan kini dituntut
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang adaptif terhadap perubahan, namun
tanpa kehilangan orientasi moral. Prinsip-prinsip filsafat pendidikan Islam
seperti keseimbangan antara akal dan hati, serta integrasi antara ilmu dan
iman, menjadi dasar untuk membangun sistem pendidikan yang mampu menyeimbangkan
kemajuan intelektual dan spiritual.
Penulis
berpandangan bahwa relevansi filsafat pendidikan Islam juga terletak pada
kemampuannya menghadirkan model pendidikan yang berpusat pada nilai-nilai
kemanusiaan. Pendidikan yang dilandasi tauhid akan memandang peserta didik
bukan sekadar objek belajar, tetapi subjek aktif yang memiliki potensi ilahiah
untuk dikembangkan. Dengan demikian, pendidikan Islam dapat menjadi jawaban
atas krisis kemanusiaan modern yang menonjolkan individualisme dan
materialisme.
Dalam
praktiknya, penerapan filsafat pendidikan Islam di lembaga pendidikan modern
dapat diwujudkan melalui integrasi kurikulum yang menyatukan antara sains dan
nilai-nilai spiritual. Proses pembelajaran harus mendorong peserta didik untuk
tidak hanya memahami konsep teoretis, tetapi juga menginternalisasi makna moral
di balik ilmu yang dipelajari. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan
model pembelajaran reflektif dan berbasis proyek yang menekankan tanggung jawab
sosial dan etika.
Akhirnya,
filsafat pendidikan Islam memiliki potensi besar untuk menjadi paradigma
alternatif bagi sistem pendidikan global. Ia tidak menolak kemajuan, tetapi
mengarahkan kemajuan tersebut agar bermuara pada kemaslahatan manusia. Dengan
menempatkan nilai-nilai ilahiah sebagai fondasi, pendidikan Islam mampu
membentuk manusia yang utuh—cerdas, berakhlak, dan berkontribusi positif bagi
peradaban dunia.### 5. Kesimpulan Kajian Teoritis.
Dari
uraian di atas, dapat dipahami bahwa filsafat pendidikan Islam memandang ilmu
sebagai bagian integral dari upaya manusia mencapai kesempurnaan. Paradigma ini
menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum serta menekankan pentingnya
keseimbangan antara dimensi spiritual, moral, dan intelektual. Dengan demikian,
pendidikan Islam memiliki peran strategis dalam membangun masyarakat beradab
dan berorientasi tauhid, di mana setiap pencarian ilmu selalu diarahkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pemikiran
penulis juga menyoroti pentingnya dimensi reflektif dalam pendidikan Islam.
Ilmu seharusnya tidak berhenti pada tataran kognitif, tetapi berkembang menjadi
kesadaran eksistensial tentang tujuan hidup. Dalam konteks ini, pendidikan
Islam perlu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis yang berpadu dengan
nilai-nilai spiritual agar peserta didik tidak hanya menjadi pengumpul
informasi, tetapi pencari makna. Guru berperan penting dalam menanamkan
kesadaran bahwa belajar adalah ibadah, bukan sekadar kewajiban akademik.
Selain
itu, penulis berpandangan bahwa filsafat pendidikan Islam harus menjadi basis
dalam membangun kebijakan pendidikan nasional. Integrasi antara ilmu dan nilai
tidak akan terjadi hanya melalui kurikulum, tetapi melalui teladan, budaya
akademik, dan sistem evaluasi yang menghargai kejujuran serta tanggung jawab
moral. Pendidikan yang demikian dapat melahirkan generasi yang tidak hanya
unggul secara intelektual, tetapi juga berkomitmen pada keadilan sosial dan
kemanusiaan.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis terhadap filsafat pendidikan Islam menunjukkan bahwa konsep ilmu
dan pendidikan memiliki keterkaitan yang mendalam dengan nilai-nilai tauhid.
Dalam paradigma Islam, ilmu bukan sekadar alat untuk mencapai kemajuan duniawi,
tetapi juga jalan untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Pendidikan Islam, karenanya, diarahkan untuk membentuk manusia yang tidak hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.
Proses pendidikan dalam Islam mencakup dimensi intelektual (ta’lim),
pembinaan moral (tarbiyah), dan penginternalisasian nilai-nilai
ilahiah (ta’dib). Ketiga dimensi ini saling melengkapi dan menjadi
dasar dalam mencetak insan kamil.
Dalam konteks kontemporer, pendidikan Islam menghadapi tantangan besar
akibat dominasi paradigma sekuler yang menempatkan ilmu secara bebas nilai.
Sistem pendidikan modern sering kali terjebak dalam orientasi pragmatis dan
instrumental, di mana pengetahuan diukur dari kegunaannya secara material
semata. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ilmu dalam Islam yang
mengandung dimensi spiritual dan moral. Oleh karena itu, perlu adanya
rekonstruksi paradigma pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai ilahiah ke
dalam seluruh aspek kurikulum dan metodologi pengajaran. Integrasi ini bukan
sekadar penambahan pelajaran agama, melainkan pembentukan cara berpikir yang
menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pengetahuan.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa ketimpangan dalam sistem pendidikan
saat ini sering kali disebabkan oleh pemisahan antara ilmu dan akhlak. Banyak
institusi pendidikan menghasilkan individu yang berpengetahuan tinggi, namun
miskin dalam empati dan integritas. Filsafat pendidikan Islam memberikan solusi
melalui penegasan bahwa ilmu sejati harus melahirkan amal yang baik. Setiap aktivitas
belajar harus diarahkan pada pengembangan kepribadian yang beradab, sebagaimana
ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam konsep ta’dib—pendidikan
sebagai penanaman adab dan pengenalan terhadap posisi manusia dalam tatanan
kosmos Ilahi.
Pembahasan juga menyoroti peran penting guru sebagai agen transformasi
spiritual dalam pendidikan Islam. Guru bukan hanya penyampai informasi, tetapi
juga teladan moral yang menanamkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan
tanggung jawab. Dalam sistem pendidikan modern, peran ini sering kali tereduksi
menjadi sekadar fasilitator akademik. Padahal, dalam tradisi Islam klasik,
hubungan antara guru dan murid memiliki makna sakral yang mengandung unsur
spiritualitas dan keikhlasan. Revitalisasi peran guru dalam kerangka pendidikan
Islam menjadi kunci untuk mengembalikan makna luhur pendidikan sebagai proses
pembentukan karakter dan kesadaran diri.
Selanjutnya, pendidikan Islam memiliki potensi besar dalam membangun
peradaban yang berkeadilan dan berkelanjutan. Prinsip keseimbangan antara ilmu
dan iman, serta antara akal dan wahyu, dapat menjadi fondasi bagi terciptanya
masyarakat yang harmonis dan beretika. Integrasi ini tidak hanya relevan bagi
dunia Islam, tetapi juga dapat menjadi kontribusi global dalam membangun sistem
pendidikan yang humanistik dan berorientasi pada kemaslahatan universal. Dengan
demikian, filsafat pendidikan Islam bukan sekadar warisan intelektual masa
lalu, melainkan solusi konseptual bagi problem kemanusiaan modern yang
kehilangan arah moral dan spiritual.
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam
menawarkan paradigma yang menyatukan pengetahuan, etika, dan spiritualitas. Ia
menolak sekularisasi ilmu dan mengembalikan fungsi pendidikan sebagai sarana
penyucian jiwa dan pembentukan manusia seutuhnya. Relevansinya terhadap
pendidikan modern semakin nyata ketika dunia menghadapi krisis makna dan nilai
dalam sistem pembelajaran yang terlalu menekankan aspek material. Oleh sebab
itu, mengimplementasikan filsafat pendidikan Islam berarti membangun manusia
yang tidak hanya mampu berpikir kritis dan kreatif, tetapi juga berakhlak,
berempati, dan berorientasi pada pengabdian kepada Tuhan dan kemanusiaan.
Analisis yang lebih mendalam memperlihatkan bahwa krisis epistemologis dalam
pendidikan modern berakar pada pemisahan antara sumber pengetahuan dan
orientasi moralnya. Sains modern berfokus pada penguasaan alam, sementara Islam
menekankan pengenalan terhadap tanda-tanda Ilahi di balik realitas alam itu
sendiri. Oleh sebab itu, paradigma pendidikan Islam perlu merevitalisasi
pandangan epistemologis yang berpusat pada wahyu. Dalam kerangka ini, wahyu
tidak menafikan rasio, tetapi menjadi sumber orientasi etis yang membimbing
akal agar tidak tersesat dalam rasionalisme ekstrem.
Selain aspek epistemologis, dimensi aksiologis pendidikan Islam menuntut
bahwa ilmu harus memberi manfaat sosial. Ilmu yang benar adalah ilmu yang
melahirkan keadilan dan kemaslahatan. Fenomena komersialisasi pendidikan saat
ini menimbulkan jarak antara pengetahuan dan moralitas publik. Dalam pandangan
filsafat Islam, pengetahuan yang tidak melayani keadilan adalah pengetahuan
yang cacat secara etis. Maka, reformasi pendidikan perlu diarahkan pada
penyatuan antara kebenaran ilmiah dan tanggung jawab sosial.
Dari sudut pandang ontologis, manusia sebagai subjek pendidikan tidak
dipandang sebagai makhluk yang netral, melainkan sebagai entitas yang membawa
potensi ilahi. Filsafat pendidikan Islam menempatkan manusia sebagai khalifah
di bumi, dengan tanggung jawab untuk memelihara keseimbangan kosmos. Oleh
karena itu, pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak tenaga kerja, tetapi
mempersiapkan penjaga nilai yang memahami makna keberadaannya. Pengetahuan
dalam Islam harus menjadi sarana pemaknaan diri, bukan sekadar alat produksi
ekonomi.
Secara sosiologis, penerapan filsafat pendidikan Islam dapat memperkuat
kohesi sosial dan memperkecil kesenjangan nilai di masyarakat. Pendidikan yang
berakar pada etika Qur’ani menumbuhkan solidaritas dan empati sosial. Ketika
peserta didik memahami bahwa setiap bentuk ilmu adalah amanah, mereka akan
lebih sadar akan tanggung jawab sosialnya. Dengan demikian, sistem pendidikan
Islam dapat menjadi alat transformasi sosial yang memanusiakan manusia dan
memperkuat nilai kebersamaan.
Analisis ini juga menegaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus responsif
terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip dasarnya. Modernisasi tidak
boleh diartikan sebagai westernisasi, tetapi sebagai proses adaptasi
nilai-nilai Islam dengan tantangan baru. Pendekatan ini membuka peluang untuk
mengembangkan metodologi pembelajaran yang progresif namun berakar pada
moralitas tauhid.
Lebih lanjut, filsafat pendidikan Islam berperan dalam melawan hegemoni
budaya global yang menempatkan keberhasilan pendidikan hanya pada capaian
ekonomi dan teknologi. Pandangan ini menuntut redefinisi makna kemajuan dalam
perspektif Islam—bahwa kemajuan sejati adalah keseimbangan antara pembangunan
materi dan pembangunan spiritual. Sistem pendidikan yang islami harus berorientasi
pada pembentukan manusia beradab, bukan sekadar produktif secara material.
Selain itu, dalam konteks global, pendidikan Islam dapat berkontribusi
terhadap dialog peradaban. Nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih
sayang, dan tanggung jawab terhadap alam menjadikan filsafat pendidikan Islam
relevan dalam diskursus global mengenai etika ilmu dan kemanusiaan. Paradigma
pendidikan ini menolak eksklusivisme dan membuka ruang bagi kolaborasi lintas
budaya yang didasari rasa hormat dan saling pengertian.
Akhirnya, analisis ini menegaskan perlunya revitalisasi peran institusi
pendidikan Islam untuk menjadi pusat pencerahan dan pengembangan nilai.
Perguruan tinggi Islam harus menjadi laboratorium moral yang mengintegrasikan
riset ilmiah dengan visi spiritual. Dengan mengembalikan tujuan pendidikan pada
penyucian ilmu dan jiwa, dunia Islam dapat kembali berkontribusi pada peradaban
global sebagai sumber kebijaksanaan yang menyeimbangkan akal dan iman.
Dari keseluruhan pembahasan mulai dari abstrak, pendahuluan, kajian
teoritis, hingga analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa filsafat
pendidikan Islam memberikan fondasi konseptual dan moral bagi sistem pendidikan
yang berkeadaban. Ilmu dalam pandangan Islam bukan sekadar alat rasional untuk
memahami dunia, tetapi juga sarana spiritual yang menuntun manusia kepada
pengenalan hakikat dan kebenaran Ilahi. Pendidikan Islam, dengan dasar tauhid,
menolak pemisahan antara ilmu dan nilai, serta mengedepankan keseimbangan
antara dimensi intelektual, moral, dan spiritual.
Filsafat pendidikan Islam menegaskan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah
pembentukan insan kamil—manusia paripurna yang berpikir rasional,
berjiwa spiritual, dan berakhlak mulia. Dengan menempatkan wahyu sebagai sumber
utama pengetahuan dan akal sebagai sarana pemahaman, Islam menawarkan paradigma
pendidikan yang menyatukan iman dan ilmu dalam satu kesatuan yang utuh.
Paradigma ini sangat relevan untuk menjawab krisis nilai dan disorientasi moral
yang melanda sistem pendidikan kontemporer.
Analisis terhadap pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Al-Ghazali, Ibnu
Sina, dan Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan
yang membentuk manusia beradab dan berorientasi pada pengabdian kepada Allah.
Pandangan mereka menjadi dasar bagi pembangunan sistem pendidikan yang
integratif dan humanistik. Selain itu, gagasan modern dari pemikir seperti Syed
Muhammad Naquib al-Attas dan Seyyed Hossein Nasr memperkuat pentingnya
rekonstruksi epistemologi Islam dalam menghadapi sekularisasi ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam bukan sekadar warisan intelektual
masa lalu, melainkan kerangka konseptual yang hidup dan relevan bagi
pembangunan peradaban masa depan. Melalui penguatan konsep ta’lim, tarbiyah,
dan ta’dib, pendidikan Islam dapat menjadi solusi atas krisis
kemanusiaan modern, melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan kritis,
tetapi juga beradab, berempati, dan berorientasi pada kemaslahatan universal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, S. M. N. (1991). The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali. (2002). Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Haque, A. (2016). Psychology and Religion: An Islamic Perspective.
London: Routledge.
Hashim, R. (2017). Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur:
International Islamic University Malaysia Press.
Leaman, O. (1999). Averroes and His Philosophy. Oxford: Clarendon
Press.
Nasr, S. H. (1987). Knowledge and the Sacred. New York: Crossroad.
Rosenthal, F. (2007). Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam. Leiden: Brill.
Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1978). Islam and Secularism. Kuala
Lumpur: ABIM.
Zakaria, A. (2020). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali
Press.
Baharun, H. (2016). Manajemen Kinerja Dalam Meningkatkan Competitive
Advantage Pada Lembaga Pendidikan Islam. At-Tajdid: Jurnal Ilmu
Tarbiyah, 5(2), 243–262.
Laal, M. (2011). Knowledge Management in Higher Education. Procedia
Computer Science, 3, 544–549.
0 Komentar