INDRAGIRI.com, OPINI - Musim ini, kami melihat semakin banyak anak kecil duduk di depan layar ponsel, menonton video-video dengan pergantian adegan yang begitu cepat. Dalam hitungan 0,3 detik, gambar berubah, warna hadir lagi, suara melonjak terus berulang, tanpa jeda, tanpa napas, tanpa ruang bagi otak untuk mencerna apa pun. Dan di tengah semua itu, saya bertanya dalam hati: apa yang sebenarnya terjadi pada otak anak yang tumbuh bersama kegilaan kecepatan ini?
Otak anak bukan mesin editing. Ia bukan program yang bisa memproses gambar secepat kita men-swipe layar. Secara neurologis, otak anak membutuhkan waktu sekitar satu hingga tiga detik untuk menangkap gambar, membangun makna, dan menghubungkan informasi. Ketika gambar berubah terlalu cepat, otak mereka tidak memproses apa pun kecuali sensasi. Anak terlihat senang bukan karena mereka memahami, tetapi karena sistem dopamin mereka sedang dipancing. Mereka tidak belajar, mereka hanya ketagihan.
Kecanduan ini bukan kecanduan isi, tetapi kecanduan irama. Irama cepat. Irama yang tidak manusiawi. Irama yang membuat dunia nyata terasa lambat, membosankan, dan tidak menarik. Maka jangan heran jika anak-anak semakin sulit fokus, semakin cepat marah, semakin tidak sabar terhadap hal-hal sederhana karena otaknya sudah dilatih untuk kecepatan yang tidak ada dalam kehidupan normal.
Neurosains menjelaskan bahwa tontonan cepat melemahkan kerja prefrontal cortex—bagian otak yang mengatur fokus, logika, dan pengendalian diri. Sementara itu, amigdala—pusat emosi menjadi lebih aktif. Hasilnya adalah anak-anak yang emosinya meledak cepat, tetapi kemampuan fokusnya tidak tumbuh. Anak seperti terjebak dalam mode “reaksi”, bukan “pemahaman”. Mereka menangkap warna, tapi tidak menangkap makna. Mereka menangkap suara, tapi tidak menangkap pesan.
Dalam banyak penelitian dari Harvard, Stanford, hingga jurnal Pediatrics ditemukan pola yang sama: video cepat menurunkan kemampuan bahasa, menghambat pemrosesan informasi, dan memicu gejala mirip ADHD. Anak menjadi pencari rangsangan, bukan pencari pengetahuan. Mereka ingin semuanya cepat, karena itulah ritme yang dibiasakan pada saraf mereka sejak dini. Dan perlahan, kemampuan memahami cerita, mengikuti instruksi, bahkan menunggu giliran semua mulai menurun.
Dunia nyata berjalan dengan tempo yang lembut. Orang berbicara perlahan. Guru menjelaskan dengan ritme wajar. Buku menawarkan cerita yang tumbuh dari paragraf ke paragraf. Tapi anak-anak yang otaknya terbiasa dengan “0,3 detik” tidak bisa bertahan dalam ritme normal ini. Mereka merasa bosan, gelisah, atau marah. Mereka bukan malas belajar mereka hanya tidak terbiasa dengan kecepatan manusia. Mereka dibesarkan oleh kecepatan mesin.
Dampaknya tidak main-main. Anak bisa mengalami keterlambatan bicara, gangguan pemrosesan informasi (processing delay), kesulitan mengatur emosi, bahkan ketergantungan digital yang menyerupai kecanduan. Semua ini bukan muncul dalam sehari; muncul pelan-pelan, seperti karat yang menggerogoti. Kita hanya menyadari setelah kerusakannya terlihat jelas.
Kita sering menyalahkan perilaku anak, padahal sering kali masalahnya bukan pada mereka tetapi pada apa yang kita izinkan mereka konsumsi. Jika makanan buruk merusak tubuh, maka tontonan cepat merusak otak. Keduanya tidak menghancurkan sekaligus, tetapi perlahan, teratur, tanpa terasa.
Dan di titik ini, kita perlu bertanya kembali: apa yang ingin kita ajarkan? Apakah kita ingin anak melihat dunia dengan fokus, atau hanya mengejar kilatan-kilatan yang tidak berarti? Apakah kita ingin mereka belajar bahasa, memahami cerita, menikmati melamun, atau hanya menjadi pencari rangsangan yang gelisah?
Mungkin sudah saatnya kita memperlambat dunia untuk mereka. Mengembalikan ritme alami kehidupan: bercerita dengan suara lembut, menonton kartun yang tidak terburu-buru, bermain tanah, membaca buku, mendengar suara manusia, bukan suara gadget. Karena yang mereka butuhkan bukan kecepatan, tetapi kedalaman. Bukan stimulasi, tetapi koneksi.
Pada akhirnya, masalahnya bukan pada teknologi. Masalahnya pada bagaimana kita membiarkan teknologi mengambil alih proses tumbuhnya otak anak. Dan jika kita ingin masa depan yang lebih tenang, kita harus mulai dari satu hal sederhana: melambatkan layar, agar anak dapat kembali menjadi anak. Agar otak mereka tumbuh di dunia yang wajar, bukan di dunia yang berlari tanpa arah.
Karena ketika layar bergerak terlalu cepat, otak anak tidak pernah benar-benar tumbuh ia hanya berusaha mengejar sesuatu yang tidak pernah bisa dikejar. Ini saatnya kita berhenti, dan mengembalikan dunia mereka pada tempo manusia. (*)
-----------
Lily Elwina | Sudirman Anwar, Team Violet Education Center (VIEDU). bergerak dalam bidang pelayanan Psikologi, Pendidikan dan Pemberdayaan.

0 Komentar