Breaking News

Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali: Antara Etika, Akhlak, dan Pengembangan Karakter | Leni Sumarni


Penulis: Leni Sumarni
Mahasiswa S2 STAI Ibnu Sina Batam
Dosen Pembimbing : Dr. Ita Tryas Nur Rochbani


OPINI - Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan sejatinya bukan sekadar warisan klasik, melainkan cermin dari kebutuhan spiritual manusia modern. Ketika dunia pendidikan kita semakin terjebak dalam logika pasar dan pengukuran kognitif, Al-Ghazali mengingatkan bahwa inti pendidikan bukanlah sekadar kecerdasan, melainkan penyucian diri. Dalam pandangannya, ilmu tanpa akhlak adalah petaka, dan akhlak tanpa ilmu adalah kebutaan. Pandangan ini, jika direnungkan, adalah kritik tajam terhadap pendidikan yang kehilangan arah moral dan spiritualnya.

Sebagai mahasiswa yang hidup di zaman serba digital, saya melihat bagaimana gagasan Al-Ghazali menjadi lentera di tengah kegelapan orientasi pendidikan modern. Kita sering membanggakan capaian akademik, namun lupa mengasah nurani. Sekolah dan universitas mengajarkan cara berpikir logis, tetapi jarang mengajarkan cara menjadi manusia yang bijak. Dalam konteks inilah, Al-Ghazali berbicara lantang: pendidikan sejati adalah proses penyempurnaan jiwa (tazkiyatun nafs), bukan sekadar pencapaian akademik. Ia menolak pemisahan antara akal dan hati, karena bagi beliau, keduanya adalah anugerah Tuhan yang harus berjalan beriringan.


Etika dan Akhlak dalam Pendidikan

Etika dan akhlak dalam pendidikan, menurut Al-Ghazali, bukanlah pelengkap, melainkan inti. Ia memandang guru sebagai sosok yang bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menuntun jiwa murid. Seorang pendidik sejati, katanya, tidak cukup dengan kefasihan lidah, tetapi harus berbicara dengan ketulusan perbuatan. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia menulis bahwa guru sejati adalah yang mengarahkan murid bukan kepada dirinya, melainkan kepada Allah. Betapa luhur idealisme pendidikan seperti ini—suatu pandangan yang seolah hilang di tengah hiruk pikuk sertifikasi dan akreditasi masa kini.

Namun, gagasan Al-Ghazali tidak berhenti di langit idealisme. Ia berbicara tentang praktik: pembiasaan moral, latihan spiritual, dan introspeksi diri. Pendidikan bukan hanya tentang membaca buku, tetapi membaca diri sendiri. Dalam dunia modern yang disibukkan dengan hasil instan, konsep muhasabah (evaluasi diri) terasa asing, padahal di situlah kunci pembentukan karakter. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak belajar mengenali dirinya, bukan sekadar mengejar nilai. Jika semangat ini dihidupkan kembali, pendidikan akan menemukan kembali rohnya.


Krisis Nilai dan Tantangan Pendidikan Modern

Krisis pendidikan kita bukan semata-mata karena kurangnya fasilitas, tetapi karena kehilangan orientasi nilai. Kita butuh lebih banyak guru yang berhati bersih, bukan hanya berwawasan luas. Kita butuh kurikulum yang mengajarkan kejujuran dan empati, bukan hanya efisiensi. Dalam hal ini, Al-Ghazali memberikan fondasi filosofis yang luar biasa: bahwa karakter tidak bisa diajarkan, tetapi harus diteladankan.

Pendidikan masa kini membutuhkan keberanian untuk kembali kepada nilai-nilai transendental sebagaimana yang ditanamkan oleh Al-Ghazali. Pendidikan yang baik seharusnya tidak hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga manusia yang mampu menimbang kebenaran dengan hati nurani. Ini berarti pendidikan harus menyentuh dimensi spiritual, moral, dan sosial secara seimbang. Dalam konteks ini, pemikiran Al-Ghazali dapat menjadi inspirasi pembaharuan kurikulum yang tidak terjebak dalam rasionalitas semata, melainkan berlandaskan pada etika kemanusiaan.


Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Pembentukan Karakter

Relevansi Al-Ghazali sangat kuat ketika kita berbicara tentang krisis identitas generasi muda. Banyak anak muda hari ini mengalami kekosongan makna meskipun hidup dalam kelimpahan informasi. Di sinilah konsep tazkiyatun nafs menjadi penting: penyucian diri yang mengarahkan manusia agar tidak dikuasai hawa nafsu dan ilusi dunia. Pendidikan harus membantu siswa menemukan makna hidup, bukan sekadar profesi hidup.

Pemikiran Al-Ghazali juga menantang cara kita memahami ilmu pengetahuan. Ia menegaskan bahwa ilmu tidak netral; ilmu harus membawa manusia kepada kebaikan. Dalam konteks ini, tanggung jawab moral ilmuwan dan pendidik menjadi sangat besar. Jika ilmu digunakan tanpa etika, maka ia dapat menjadi alat penghancur. Refleksi ini terasa semakin relevan di era teknologi kecerdasan buatan, di mana kemajuan sains tidak selalu diiringi dengan kematangan moral.


Pembiasaan Moral dan Peran Guru

Pembentukan karakter dalam pendidikan modern sering kali berhenti pada jargon. Banyak sekolah berbicara tentang pendidikan karakter, tetapi belum menjadikannya napas dalam kehidupan sehari-hari di kelas. Al-Ghazali menekankan pentingnya teladan dan habitual action — pembiasaan yang terus-menerus hingga nilai-nilai itu mendarah daging. Guru yang penuh kasih dan konsisten jauh lebih efektif daripada seribu slogan moral yang dibacakan setiap hari.

Lebih dalam lagi, Al-Ghazali mengajarkan bahwa kebijaksanaan lahir dari pengalaman spiritual, bukan hanya dari bacaan. Ia mengingatkan bahwa pendidikan tanpa introspeksi hanya akan menghasilkan kesombongan intelektual. Maka, sistem pendidikan yang ideal adalah yang mengajarkan anak muda untuk merenung, berdialog dengan dirinya, dan menemukan keseimbangan antara ambisi dan kerendahan hati. Tanpa itu, pendidikan hanya akan melahirkan manusia yang pintar tetapi gelisah.


Kritik terhadap Orientasi Materialistik Pendidikan

Al-Ghazali memberi kritik halus terhadap kecenderungan materialistik dalam dunia pendidikan. Gelar akademik dan capaian prestasi sering dijadikan ukuran keberhasilan, padahal ukuran sejati adalah kedewasaan jiwa. Seseorang mungkin memiliki banyak gelar, tetapi tanpa kejujuran dan kasih sayang, ia hanyalah cangkang kosong. Al-Ghazali menulis bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya — sebuah pesan yang sangat relevan bagi zaman kita yang haus prestise.

Pendidikan yang ideal menurut Al-Ghazali adalah pendidikan yang berimbang antara head, heart, dan hand  antara akal, hati, dan tindakan. Ketiganya harus berjalan bersama agar manusia menjadi utuh. Saya melihat bahwa gagasan ini dapat diintegrasikan dalam pendekatan pendidikan holistik modern yang menekankan keseimbangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Maka, jika pendidikan kita ingin maju, ia tidak boleh melupakan ruh yang membuatnya bermakna: akhlak.


Integrasi Pemikiran Al-Ghazali dengan Sistem Pendidikan Modern

Gagasan Al-Ghazali dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan modern melalui pendekatan kurikulum berbasis nilai. Pendidikan tidak hanya harus fokus pada hasil akademik, tetapi juga harus menyentuh aspek pembentukan karakter dan spiritualitas. Dalam konteks ini, kurikulum berbasis akhlak dan nilai kemanusiaan bisa menjadi pondasi bagi pembelajaran yang bermakna. Sekolah dan universitas dapat mengadopsi metode reflektif, di mana siswa diajak berdialog tentang nilai-nilai moral dalam setiap bidang ilmu.

Selain itu, penting untuk memfasilitasi pendidikan yang menumbuhkan kesadaran etis dalam penggunaan teknologi. Al-Ghazali mengajarkan keseimbangan antara akal dan hati; prinsip ini relevan dalam era digital di mana informasi mengalir tanpa batas. Siswa perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis sekaligus etika digital agar tidak terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan empati harus menjadi bagian integral dalam proses pendidikan berbasis teknologi.

Lebih lanjut, konsep tazkiyatun nafs dapat diterjemahkan dalam konteks pendidikan karakter modern sebagai upaya pengembangan kesadaran diri (self-awareness). Sekolah dan lembaga pendidikan dapat mengadopsi praktik refleksi diri, meditasi Islami, atau jurnal introspektif yang membantu siswa mengenal dirinya dan memperbaiki perilaku. Hal ini akan menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.


Penutup

Pemikiran Al-Ghazali juga mendorong transformasi dalam kepemimpinan pendidikan. Kepala sekolah dan dosen seharusnya menjadi figur yang meneladankan nilai-nilai integritas dan kebijaksanaan, bukan sekadar administrator. Dalam kerangka ini, setiap lembaga pendidikan perlu membangun budaya moral yang menekankan keteladanan dan tanggung jawab sosial. Pendidikan bukan hanya tugas guru, tetapi ekosistem yang harus hidup dengan nilai-nilai akhlak.

Terakhir, relevansi Al-Ghazali menegaskan bahwa pendidikan adalah proses berkelanjutan menuju kebijaksanaan. Ia bukan produk instan, melainkan perjalanan seumur hidup yang melatih manusia untuk memahami dirinya, orang lain, dan Tuhannya. Dalam hal ini, konsep hikmah (kebijaksanaan) menjadi tujuan tertinggi pendidikan: menjadikan manusia tidak hanya tahu apa yang benar, tetapi juga mampu menjalankannya dengan hati yang bersih.

Pemikiran Al-Ghazali bukan hanya relevan untuk pendidikan Islam, tetapi juga universal. Nilai-nilainya melampaui batas agama dan zaman. Dunia modern memerlukan paradigma pendidikan yang menempatkan manusia sebagai makhluk spiritual, bukan sekadar mesin ekonomi. Dengan menghidupkan kembali gagasan-gagasan Al-Ghazali, kita tidak hanya memperkaya warisan intelektual Islam, tetapi juga menanamkan kesadaran baru tentang kemanusiaan dalam pendidikan global.



Referensi

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Ghazali. (2006). Ayyuha al-Walad. Cairo: Dar al-Ma’arif.
Nasr, S. H. (2008). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperCollins.
Bakar, O. (2019). Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science. Kuala Lumpur: ISTAC.
Daud, W. M. N. W. (2017). The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas. Kuala Lumpur: ISTAC.
Hashim, R. (2014). Educational Dualism in Malaysia: Implications for Theory and Practice. Kuala Lumpur: IIUM Press.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close