Breaking News

UAS TETAP WAHID | HARDI S. HOOD

 

Hardi S. Hood bersama UAS

INDRAGIRI.com, OPINI - Tatkala kabar itu datang—bahwa Abdul Wahid, sang Gubernur Riau, ditahan oleh KPK seketika suasana Riau menjadi riuh. Dalam suasana itu, muncul Ustadz Abdul Somad (UAS) dengan sebuah video singkat. Dengan suara yang tenang, beliau berkata bahwa Wahid hanya diminta keterangan. Saya dapat merasakan, kala itu UAS bukan semata ingin menjelaskan, tetapi hendak menenangkan hati—menyejukkan suasana yang sedang tidak baik. Seakan beliau berkata, “Aku tetap bersama Wahid, dalam senang dan dalam susah.”

Bagi UAS, Wahid adalah sahabat, tak peduli apakah ia seorang Gubernur, Anggota DPR, atau hanya manusia biasa. UAS tetap bersama Wahid itulah makna sejati dari persahabatan.

Saya pun pernah merasakannya. Saat musim Pilkada 2024 yang lalu, tiba-tiba saya dipinang  oleh Partai untuk maju sebagai calon Wakil Walikota. Sebagai orang yang tak menyukai terjadinya Pilkada dengan kotak kosong, saya menyetujuinya. Namun sebelum melangkah, saya tentu memohon restu keluarga, adik-beradik, dan terutama petunjuk serta doa dari UAS. Jawaban beliau singkat saja:

“Maju, Bang. Bismillah.”

Musim kampanye pun tiba. Kebetulan pada waktu itu UAS dijadwalkan berceramah di Batam. Dalam hati kecil saya, terselip harapan agar beliau sudi menyebut nama kami di sela-sela tausiyahnya. Saya pun mengirim pesan:

“Ustadz, nanti kalau ceramah di Batam, mohon disebut nama kami ya.”

Jawaban beliau membuat saya terdiam:

“Tak hanya disebut, Bang. Ikut kampanye pun saya siap.”

Saya mengira beliau bergurau. Maka saya pun membalas, juga sambil bergurau:

“Kalau ustadz serius, kirimlah KTP, karena KPU mewajibkan data Juru Kampanye.”

Dan, tanpa menunggu lama, secepat kilat KTP itu benar-benar dikirimkan oleh beliau.

Ah… di situlah saya benar-benar memahami makna “berkawan” dalam arti —tulus, teguh, dan tidak berpura-pura.

Untuk pertama kalinya, saya melihat UAS menyesuaikan jadwal ceramahnya hanya untuk berkampanye bagi kami. Di mana pun beliau hadir, lautan manusia datang mendengar. Namun, baru kali ini pula saya melihat (walau tetap tidak ada bersentuhan langsung), beliau  mau ber-selfie dengan ibu-ibu malah beliau yang memegang handphonenya. Beliau mau berlama-lama di panggung hanya untuk melayani berfoto dengan yang hadir. Katanya, hasil foto itu akan disebarkan oleh mereka dan itu menjadi ajang kampanye. Luar biasa, strateginya. Bahkan,suatu  ketika supir kami parkir terlalu dekat ke panggung, UAS menegur dengan lembut tapi tegas:

“Kita ini sedang kampanye, bukan sekadar ceramah. Parkir jauh, biar orang melihat kita berjalan.”

Kata-kata itu terasa dalam—sederhana tapi penuh makna. Inilah tanda sahabat sejati.

Selama tiga hari penuh beliau mendampingi kami tanpa mengenal lelah. Setelah itu, beliau dijadwalkan menuju Sumatera Barat. Namun kabar datang bahwa kehadirannya di sana ditolak. Anehnya, wajah UAS justru terlihat tenang, bahkan gembira. Ia berkata kepada saya,

“Alhamdulillah, berarti saya boleh kampanye lagi bersama Bang Hardi.”

Saya nyaris tak dapat menahan air mata mendengar kata-kata itu.

Namun tentu, tak semua orang menyukai kedekatan kami. Ada panggilan dari Jakarta yang menasihati UAS agar menghentikan keterlibatannya. Jawaban beliau begitu tegas dan menggetarkan:

“Matikan Hardi dulu, baru saya berhenti kampanye untuknya.”

Saya terdiam lama, mata saya berkaca-kaca. Betapa dalam arti persahabatan bagi beliau.

Ketika masa kampanye berakhir, UAS bersiap kembali ke Pekanbaru. Saya dan calon walikota yang saya dampingi menghantarnya ke bandara. Calon walikota saya itu telah menyiapkan sedikit tanda terima kasih atas perjuangan UAS yang luar biasa. Namun, ketika uang itu diserahkan, UAS menolak dengan senyum lembut:

“Kalian yang sedang banyak keperluan. Saya tak perlu. Saya terima, tapi saya kembalikan untuk biaya kampanye kalian.”

Kami berdua terdiam. UAS menundukkan kepala, memimpin doa untuk kami dengan suara yang khusyuk. Saya merasakan, baginya persahabatan lebih berharga daripada harta atau jabatan.

Hari pemilihan pun tiba. Suasana tegang, semua sibuk menghitung suara. Akhirnya, kami kalah. Tak lama kemudian, pesan masuk dari UAS:

“Maaf ya Bang, Abang belum menang. Insya Allah, Allah memberi yang terbaik.”

Saya terdiam, dada saya sesak. Bukan karena kekalahan, tetapi karena seorang Ustadz seagung UAS justru meminta maaf kepada kami. Bukankah seharusnya kami yang meminta maaf, karena gagal membalas dukungannya?

Itulah UAS—bagi beliau, pertemanan bukan urusan menang atau kalah. Ia adalah urusan hati.

Beberapa waktu setelah pelantikan walikota baru, UAS kembali datang ke Batam. Saya menemaninya berceramah, dan di sela-sela perbualan, saya mohon maaf atas kegagalan kami. UAS hanya tersenyum.

“Dalam hitungan manusia, saya sudah tahu abang akan kalah,” katanya lembut.

“Tapi saya ingin menunjukkan pada umat, ke mana hati saya berpihak.”

Saya terdiam lama. Di hadapan saya berdiri seorang sahabat sejati, yang tidak menimbang dengan untung rugi, tetapi dengan cinta dan keikhlasan.

Kini, ketika sahabatnya Wahid ditahan KPK, saya tahu—andaikan nanti Wahid harus menjalani hukuman, UAS pasti akan datang membesuknya. Karena bagi UAS, persahabatan adalah amanah hati. Inilah pendirian UAS, berteman adalah nomor wahid, walaupun tanpa Wahid.

Dan saya bersyukur, sepanjang hidup saya diberi kesempatan bersahabat dengan beliau.

Bagi saya, UAS tetap Wahid.


Sahabat UAS,

Hardi S Hood

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close