Breaking News

BELAJAR DARI SURIAH PASCA ASSAD | Oleh Sofiandi Lc., MHI., Ph.D


INDRAGIRI
.com - 
Transisi politik pasca-otoritarianisme hampir selalu dibayangi oleh berbagai ramalan suram, mulai dari kehancuran negara, fragmentasi sosial, dan spiral kekerasan yang tak berujung. Suriah, setelah lebih dari satu dekade (14 tahun) perang saudara yang “habis-habisan”, tidak luput dari prediksi tersebut. Namun, setahun sejak tumbangnya Bashar al-Assad, skenario terburuk itu tidak sepenuhnya terwujud, setidaknya untuk sementara waktu. Negara yang diperkirakan akan terpecah berkeping-keping itu justru menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang tak terduga kendati terkesan masih rapuh dan tampak penuh risiko.

Saya mencoba menganalisis fase awal transisi Suriah di bawah kepemimpinan Presiden Interim Ahmed al-Sharaa dengan menempatkannya dalam kerangka perbandingan historis dan teori transisi politik. Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah bahwa keberhasilan Suriah pada tahun pertama transisi ini tidak lahir dari semangat dan idealisme revolusioner buta, melainkan dari pragmatisme historis berupa keberanian untuk belajar dari kegagalan Irak dan Libya, serta kesadaran bahwa menghancurkan negara demi keadilan instan sering kali justru berujung pada lenyapnya keadilan dan negara itu sendiri.

Irak pasca-2003 sangat relevan untuk dijadikan rujukan klasik tentang kegagalan transisi yang dipandu oleh logika balas dendam. Kebijakan de-Baathification radikal yang dijalankan oleh Otoritas Koalisi Sementara di bawah pimpinan Paul Bremer tidak hanya menyingkirkan perangkat elite politik Saddam Hussein, tetapi juga membongkar seluruh sendi birokrasi dan keamanan negara Irak. Ratusan ribu pegawai negeri, akademisi, tenaga medis, dan aparat keamanan diberhentikan semata-mata karena afiliasi political color. Akibatnya adalah kekosongan kelembagaan, delegitimasi negara, dan kelas terdidik yang termarginalkan. Kondisi seperti ini tentu saja menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ogan-organ milisi, ekstremisme, dan triger bagi pecahnya konflik sektarian.

Ahmed al-Sharaa tampaknya membaca pelajaran ini dengan cermat. Alih-alih melakukan pembersihan menyeluruh terhadap aparatur negara era Assad, pemerintah transisi Suriah memilih mempertahankan kontinuitas administratif. Diplomat karier, pejabat teknis, bahkan sebagian figur birokrasi lama tetap dilibatkan demi menjaga fungsi dasar negara. Contoh kongkritnya, Bank Sentral masih tetap dipimpin deputi era lama bahkan Kementerian Keuangan masih diarahkan untuk meminta masukan dari mantan menteri-nya Assad. Pemecatan hanya diarahkan kepada pejabat puncak yang terbukti terlibat langsung dalam kejahatan perang. Pendekatan ini mencerminkan pemisahan tegas antara kompetensi birokratik dan dendam terhadap penjahat rezim, sebuah prinsip yang sering diabaikan dalam umumnya transisi revolusioner.

Langkah ini sejalan dengan teori state-building Fukuyama bahwa kapasitas negara merupakan prasyarat utama bagi stabilitas politik di mana demokratisasi atau keadilan tidak dapat ditegakkan di atas puing-puing institusi yang runtuh. Suriah, setidaknya pada tahap awal, memilih mempertahankan “tulang punggung” negara agar transisi tidak berubah menjadi anarki.

Lain halnya dengan Irak yang mengajarkan bahayanya transisi revolusioner politik yang sembrono dan ugal-ugalan, Libya di satu sisi telah memberikan cerminan pelajaran tentang kegagalan mengelola keadilan dan rekonsiliasi. Runtuhnya rezim Muammar Gaddafi tidak diikuti oleh mekanisme hukum yang kuat. Kekosongan tersebut diisi oleh logika balas dendam, di mana keadilan berubah menjadi kekerasan horizontal antarkelompok. Negara terfragmentasi menjadi kantong-kantong kekuasaan milisi, dan otoritas pusat kehilangan legitimasi serta coercive power-nya.

Syahdan, Suriah menghadapi tantangan yang sejatinya bahkan lebih kompleks. Bayangkan saja, mosaik sosial yang terpatri sejak lama dari Sunni, Alawit, Druze, Kristen, dan Kurdi, menyimpan memori trauma dan luka sejarah masing-masing.

Al-Sharaa merespons situasi ini dengan pendekatan keseimbangan yang super hati-hati. Ia tidak memaksakan dominasi Damaskus secara brutal terhadap wilayah Kurdi atau Druze. Pada saat terjadi bentrok sektarian, termasuk pembunuhan massal terhadap komunitas Alawit, ia memilih jalur penyelidikan publik dan penegakan hukum terhadap pelaku.

Narasi “mayoritas versus minoritas” secara aktif didekonstruksi, digantikan dengan semboyan “semua sama” (Suriah Sya‘bun Wahid). Ya… dalam perspektif keadilan transisional, pendekatan ini mendekati model restorative justice yang menekankan rekonsiliasi sosial sebagai prasyarat perdamaian jangka panjang.

Di bidang politik luar negeri, fleksibilitas menjadi kata kunci diplomasi al-Sharaa. Berbeda dengan sikap ideologis dan konfrontatif rezim lama, pemerintahan transisi al-Sharaa membuka komunikasi dengan negara-negara Teluk yang sebelumnya mendukung oposisi, sembari mempertahankan hubungan fungsional dengan Rusia dan Iran. Strategi “tidak memusuhi semua pihak” mencerminkan realisme diplomatik sebuah negara yang selama bertahun-tahun menjadi arena proxy war.

Namun, pragmatisme ini juga mengandung harga politik. Kritik utama terhadap al-Sharaa adalah keengganannya menindak tegas oligarki ekonomi dan tokoh intelijen lama yang dianggap simbol impunitas. Kebijakan amnesti bagi sebagian pendukung rezim Assad memicu kekecewaan keluarga korban. Di sinilah dilema klasik transisi muncul, yakni bagaimana menegakkan keadilan tanpa menghancurkan stabilitas yang rapuh.

Teori keadilan transisional mengakui bahwa tidak semua keadilan dapat ditegakkan sekaligus. Pilihan al-Sharaa tampaknya condong pada rekonsiliasi bertahap dan rehabilitasi sosial sebagai taruhan bagi stabilitas jangka panjang. Sebuah pilihan yang secara moral kontroversial, tetapi secara politik dapat dipahami dalam konteks negara yang nyaris runtuh.

Paling tidak, harus diakui bahwa Suriah pasca-Assad merupakan eksperimen politik yang penting dalam sejarah kontemporer Timur Tengah. Pengalaman satu tahun pertama menunjukkan bahwa transisi dari rezim otoriter tidak selalu harus berakhir kacau seperti Irak atau Libya. Kunci utamanya terletak pada keberanian untuk belajar dari sejarah, mengutamakan keberlangsungan negara, dan menahan godaan politik balas dendam.

Tentu saja keberhasilan ini belum final. Fondasinya masih rapuh, dan tantangan keadilan, rekonstruksi ekonomi, serta rekonsiliasi sosial masih membentang panjang. Namun, satu tahun dalam “stabilitas” yang membungkam hampir semua prediksi suram, tetap bisa memberikan secercah harapan bahwa perdamaian di Suriah bukan utopia. Ia adalah proses yang menuntut kesabaran, ketelitian, dan kebijaksanaan untuk memilih jalan yang tidak selalu populer: tidak menghancurkan segalanya demi memulai dari nol. Wallahu a’lam bi ashowab.@


Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D adalah Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research, di IRDAK Institute of Singapore, di Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS), di Islamic Linkage for Southeast Asia, Anggota Dewan Masjid Indonesia Kota Batam, Anggota ICMI Prov. Kepri, Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Prov. Kepri, guru PAI Bakti Mulya 400, dan dosen di beberapa kampus yang juga  aktif menulis mengenai isu-isu pendidikan selain politik, sosial, dan ekonomi.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close