Saya mencoba menganalisis fase awal transisi Suriah di bawah
kepemimpinan Presiden Interim Ahmed al-Sharaa dengan menempatkannya dalam
kerangka perbandingan historis dan teori transisi politik. Yang ingin saya
garis bawahi di sini adalah bahwa keberhasilan Suriah pada tahun pertama
transisi ini tidak lahir dari semangat dan idealisme revolusioner buta,
melainkan dari pragmatisme historis berupa keberanian untuk belajar dari
kegagalan Irak dan Libya, serta kesadaran bahwa menghancurkan negara demi
keadilan instan sering kali justru berujung pada lenyapnya keadilan dan negara
itu sendiri.
Irak pasca-2003 sangat relevan untuk dijadikan rujukan
klasik tentang kegagalan transisi yang dipandu oleh logika balas dendam.
Kebijakan de-Baathification radikal yang dijalankan oleh Otoritas
Koalisi Sementara di bawah pimpinan Paul Bremer tidak hanya menyingkirkan perangkat
elite politik Saddam Hussein, tetapi juga membongkar seluruh sendi birokrasi
dan keamanan negara Irak. Ratusan ribu pegawai negeri, akademisi, tenaga medis,
dan aparat keamanan diberhentikan semata-mata karena afiliasi political
color. Akibatnya adalah kekosongan kelembagaan, delegitimasi negara, dan
kelas terdidik yang termarginalkan. Kondisi seperti ini tentu saja menjadi lahan
subur bagi tumbuhnya ogan-organ milisi, ekstremisme, dan triger bagi pecahnya
konflik sektarian.
Ahmed al-Sharaa tampaknya membaca pelajaran ini dengan
cermat. Alih-alih melakukan pembersihan menyeluruh terhadap aparatur negara era
Assad, pemerintah transisi Suriah memilih mempertahankan kontinuitas
administratif. Diplomat karier, pejabat teknis, bahkan sebagian figur birokrasi
lama tetap dilibatkan demi menjaga fungsi dasar negara. Contoh kongkritnya,
Bank Sentral masih tetap dipimpin deputi era lama bahkan Kementerian Keuangan
masih diarahkan untuk meminta masukan dari mantan menteri-nya Assad. Pemecatan
hanya diarahkan kepada pejabat puncak yang terbukti terlibat langsung dalam
kejahatan perang. Pendekatan ini mencerminkan pemisahan tegas antara kompetensi
birokratik dan dendam terhadap penjahat rezim, sebuah prinsip yang sering
diabaikan dalam umumnya transisi revolusioner.
Langkah ini sejalan dengan teori state-building
Fukuyama bahwa kapasitas negara merupakan prasyarat utama bagi stabilitas
politik di mana demokratisasi atau keadilan tidak dapat ditegakkan di atas
puing-puing institusi yang runtuh. Suriah, setidaknya pada tahap awal, memilih
mempertahankan “tulang punggung” negara agar transisi tidak berubah menjadi
anarki.
Lain halnya dengan Irak yang mengajarkan bahayanya transisi
revolusioner politik yang sembrono dan ugal-ugalan, Libya di satu sisi telah memberikan
cerminan pelajaran tentang kegagalan mengelola keadilan dan rekonsiliasi.
Runtuhnya rezim Muammar Gaddafi tidak diikuti oleh mekanisme hukum yang kuat.
Kekosongan tersebut diisi oleh logika balas dendam, di mana keadilan berubah
menjadi kekerasan horizontal antarkelompok. Negara terfragmentasi menjadi
kantong-kantong kekuasaan milisi, dan otoritas pusat kehilangan legitimasi
serta coercive power-nya.
Syahdan, Suriah menghadapi tantangan yang sejatinya bahkan
lebih kompleks. Bayangkan saja, mosaik sosial yang terpatri sejak lama dari
Sunni, Alawit, Druze, Kristen, dan Kurdi, menyimpan memori trauma dan luka
sejarah masing-masing.
Al-Sharaa merespons situasi ini dengan pendekatan
keseimbangan yang super hati-hati. Ia tidak memaksakan dominasi Damaskus secara
brutal terhadap wilayah Kurdi atau Druze. Pada saat terjadi bentrok sektarian, termasuk
pembunuhan massal terhadap komunitas Alawit, ia memilih jalur penyelidikan
publik dan penegakan hukum terhadap pelaku.
Narasi “mayoritas versus minoritas” secara aktif
didekonstruksi, digantikan dengan semboyan “semua sama” (Suriah Sya‘bun
Wahid). Ya… dalam perspektif keadilan transisional, pendekatan ini
mendekati model restorative justice yang menekankan rekonsiliasi sosial
sebagai prasyarat perdamaian jangka panjang.
Di bidang politik luar negeri, fleksibilitas menjadi kata
kunci diplomasi al-Sharaa. Berbeda dengan sikap ideologis dan konfrontatif
rezim lama, pemerintahan transisi al-Sharaa membuka komunikasi dengan
negara-negara Teluk yang sebelumnya mendukung oposisi, sembari mempertahankan
hubungan fungsional dengan Rusia dan Iran. Strategi “tidak memusuhi semua
pihak” mencerminkan realisme diplomatik sebuah negara yang selama bertahun-tahun
menjadi arena proxy war.
Namun, pragmatisme ini juga mengandung harga politik. Kritik
utama terhadap al-Sharaa adalah keengganannya menindak tegas oligarki ekonomi
dan tokoh intelijen lama yang dianggap simbol impunitas. Kebijakan amnesti bagi
sebagian pendukung rezim Assad memicu kekecewaan keluarga korban. Di sinilah
dilema klasik transisi muncul, yakni bagaimana menegakkan keadilan tanpa
menghancurkan stabilitas yang rapuh.
Teori keadilan transisional mengakui bahwa tidak semua
keadilan dapat ditegakkan sekaligus. Pilihan al-Sharaa tampaknya condong pada
rekonsiliasi bertahap dan rehabilitasi sosial sebagai taruhan bagi stabilitas
jangka panjang. Sebuah pilihan yang secara moral kontroversial, tetapi secara
politik dapat dipahami dalam konteks negara yang nyaris runtuh.
Paling tidak, harus diakui bahwa Suriah pasca-Assad
merupakan eksperimen politik yang penting dalam sejarah kontemporer Timur
Tengah. Pengalaman satu tahun pertama menunjukkan bahwa transisi dari rezim
otoriter tidak selalu harus berakhir kacau seperti Irak atau Libya. Kunci
utamanya terletak pada keberanian untuk belajar dari sejarah, mengutamakan
keberlangsungan negara, dan menahan godaan politik balas dendam.
Tentu saja keberhasilan ini belum final. Fondasinya masih
rapuh, dan tantangan keadilan, rekonstruksi ekonomi, serta rekonsiliasi sosial
masih membentang panjang. Namun, satu tahun dalam “stabilitas” yang membungkam
hampir semua prediksi suram, tetap bisa memberikan secercah harapan bahwa
perdamaian di Suriah bukan utopia. Ia adalah proses yang menuntut kesabaran,
ketelitian, dan kebijaksanaan untuk memilih jalan yang tidak selalu populer:
tidak menghancurkan segalanya demi memulai dari nol. Wallahu a’lam bi ashowab.@

0 Komentar