| Prof. Dr. Drs. Firdaus L.N., M.Si. |
INDRAGIRI.com, OPINI - Pulau sering
dipersepsikan sebagai pinggiran. Jauh dari pusat, terbatas oleh laut, dan
seakan tertinggal oleh arus besar perubahan. Namun sejatinya, dari pulau-pulau
kecil inilah sejarah peradaban Melayu dan Islam Nusantara pernah bersemi,
tumbuh, dan menyebar ke penjuru dunia.
Pertanyaannya hari
ini bukan lagi soal jarak geografis, melainkan jarak kesadaran:
apakah kita, khususnya para sarjana Muslim dari wilayah kepulauan, siap
menjadikan pulau sebagai titik tolak peradaban, bukan sekadar tempat pulang?
Kita hidup di masa
ketika teknologi melaju lebih cepat daripada kebijaksanaan. Kecerdasan buatan,
media sosial, dan digitalisasi telah mengubah cara manusia berpikir, bekerja,
bahkan beragama. Ilmu pengetahuan mudah diakses, tetapi makna sering kali
terlepas dari akhlak.
Di sinilah letak
ujian sarjana Muslim hari ini. Ilmu yang dimiliki bukan sekadar bekal mencari
kerja, tetapi amanah untuk menerangi. Gelar akademik bukan tanda selesai
belajar, melainkan tanda dimulainya tanggung jawab sosial dan moral.
Bagi masyarakat
kepulauan seperti Lingga dan Kepulauan Riau, tantangan itu terasa lebih nyata.
Potensi maritim, budaya, dan sumber daya lokal sangat besar, tetapi tidak akan
bermakna tanpa manusia yang berilmu, beriman, dan berani berbuat.
Dalam Islam, ilmu
bukan sekadar kumpulan pengetahuan, melainkan cahaya. Ia seharusnya membimbing
manusia pada kebaikan, bukan menjauhkannya dari nilai. Karena itu,
teknologi—betapapun canggihnya—harus berada di bawah kendali etika dan
spiritualitas.
Sarjana Muslim
dituntut menjadi pribadi yang utuh: cerdas akalnya, lembut hatinya, dan lurus
niatnya. Ia tidak hanya piawai menggunakan teknologi, tetapi juga bijak dalam
memaknainya.
Di ruang digital,
dakwah dan komunikasi keagamaan menuntut kehati-hatian. Tanpa adab, ilmu bisa
berubah menjadi senjata yang melukai; tanpa hikmah, kebenaran bisa kehilangan
keindahannya.
Tanah Melayu
mewariskan lebih dari sekadar adat dan tradisi. Ia mewariskan cara hidup:
menjunjung adab, mendahulukan musyawarah, dan menjaga harmoni antara manusia,
alam, dan Sang Pencipta.
Nilai-nilai Melayu
sejatinya sangat sejalan dengan ajaran Islam. Ketika kearifan ini dirawat dan
dipadukan dengan ilmu modern, ia menjadi modal peradaban yang kokoh—tidak mudah
goyah oleh arus globalisasi.
Melestarikan budaya
bukan berarti menolak kemajuan. Justru dari akar budaya yang kuat, inovasi yang
berkarakter dapat tumbuh: ekonomi kreatif berbasis tradisi, pendidikan yang
membumi, dan kepemimpinan yang berjiwa kolektif.
Dalam konteks
kepulauan, sarjana Muslim setidaknya dipanggil untuk menapaki tiga jalan
pengabdian. Pertama, menjadi pencerah masyarakat. Ilmu disampaikan dengan adab,
dakwah dilakukan dengan kasih sayang, dan keteladanan ditunjukkan melalui laku
hidup sehari-hari.
Kedua, menjadi
inovator sosial. Ilmu tidak berhenti di ruang kelas, tetapi hadir dalam solusi
nyata: mendampingi UMKM, menguatkan literasi digital, mengembangkan ekonomi
syariah, dan memberdayakan masyarakat pesisir.
Ketiga, menjadi
penggerak peradaban. Menjembatani tradisi Melayu-Islam dengan dunia global,
sehingga identitas lokal tidak hilang, tetapi justru menjadi sumber kekuatan.
Perguruan tinggi
adalah pintu, bukan tujuan akhir. Setelah itu, setiap sarjana akan diuji di
“universitas kehidupan”: di tengah masyarakat, di dunia kerja, dan dalam
pergulatan nurani.
Ilmu yang tidak
diamalkan akan layu. Ilmu yang dibagikan akan tumbuh. Ilmu yang disertai akhlak
akan melahirkan peradaban.
Sarjana Muslim
hendaknya menjadi produsen pengetahuan, bukan sekadar pengguna. Menulis,
meneliti, dan mengabdi—sekecil apa pun—adalah bentuk syukur atas ilmu yang
dianugerahkan Allah SWT.
Pulau mungkin kecil
di peta, tetapi tidak kecil di hadapan Tuhan. Dari pulau-pulau inilah cahaya
bisa dinyalakan—asal ada manusia yang mau menjaga iman, menajamkan ilmu, dan
menghidupkan akhlak.
Jika tidak mampu
melakukan perubahan besar, lakukanlah perubahan kecil dengan niat yang besar.
Karena peradaban tidak selalu dibangun oleh langkah gigantis, tetapi oleh
langkah-langkah tulus yang istiqamah.
Dari pulau ke
peradaban, semoga perjalanan itu dimulai dari hati yang bersih dan ilmu yang
diamalkan. (*)
Catatan Redaksi
Artikel ini merupakan catatan reflektif oleh Penulis dari Naskah Lengkap
Orasi Ilmiah dalam Rangka Wisuda Sarjana III Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah
Lingga (STIT-LG) Dabosingkep, 13
Desember 2025 berjudul “Dari Pulau ke Peradaban: Peran Sarjana Muslim dalam
Transformasi Ilmu, Teknologi, dan Kearifan Melayu Menuju Indonesia Berkemajuan”.
0 Komentar