![]() |
| L.N. Firdaus | Pensyarah di FKIP Universitas Riau |
INDRAGIRI.com, OPINI - Di tengah gempuran teknologi dan perubahan zaman yang cepat, pendidikan kita sering terjebak pada angka, ranking, dan perlombaan prestasi.
Namun, bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh kecerdasan logika, melainkan juga kelembutan hati, budi pekerti, dan marwah kemanusiaan.
Dalam konteks itu, muncul gagasan Kemenag dibawah teraju Prof. Nasaruddin Umar yang layak direnungkan bersama: kurikulum cinta. Cinta di sini bukan romantisme, melainkan kesadaran untuk menghadirkan pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan.
Cinta adalah pedoman moral: bagaimana guru mendidik dengan ikhlas, murid belajar dengan hormat, dan sekolah menjadi taman tempat tumbuhnya karakter. Bagimana guru suka membantu, membuka minda, dan menyentuh hati anak didik.
Dalam budaya Melayu, nilai ini bukan hal baru. Sejak dulu, masyarakat kita hidup dengan falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah—sebuah panduan hidup yang menempatkan akhlak, kesantunan, dan keadaban di atas kepintaran semata.
Anak-anak Melayu diajarkan menuntut ilmu dengan adab: menjunjung guru, memuliakan ilmu, dan menjaga marwah diri dan keluarga.
Pepatah Melayu berkata: “Yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing.”
Nilai gotong royong dan kasih sayang selalu menjadi napas pendidikan kita—bahwa membangun anak tidak cukup oleh satu tangan, tapi oleh seluruh kampung: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam perspektif modern, pendekatan ini sejalan dengan gagasan Otto Scharmer dalam Teori-U tentang tiga mata air kesadaran: pikiran yang terbuka (open mind), hati yang terbuka (open heart), dan kehendak yang terbuka (open will).
Pikiran yang terbuka melahirkan murid yang kritis; hati yang terbuka menumbuhkan empati; dan kehendak yang terbuka melahirkan keberanian untuk berbuat baik.
Nilai ini sejatinya juga hadir dalam semangat peringatan Hari Guru Nasional 2025 dengan mengusung tema “ Guru Kuat, Indonesia Hebat”, di mana guru dihormati bukan hanya karena mengajar, tetapi karena menuntun, mengasuh, dan menanamkan ketulusan serta keteladanan bagi generasi muda.
Hari ini, ketika dunia berlomba menciptakan mesin cerdas, Dunia Melayu bisa memberi pesan: teknologi sangat penting, tetapi hati lebih utama.
Kita boleh maju dalam sains dan digitalisasi, tapi jangan hilang santun, sopan, dan rasa hormat.
Membangun kurikulum cinta berarti menjaga marwah pendidikan: mendidik anak menjadi pandai dan berbudi, cerdas sekaligus santun, modern namun berakar pada adat dan iman.
Di situlah martabat Melayu bercahaya—dan dari sanalah masa depan bangsa dibentuk. **

0 Komentar