Penulis: Nur Kamilah
Mahasiswa S2 STAI Ibnu Sina BatamDosen Pembimbing : Dr. Ita Tryas Nur Rochbani---------------------------------------------------------------------
Mahasiswa S2 STAI Ibnu Sina Batam
Pendahuluan
Abu al-Hasan al-ʿAmiri merupakan salah satu pemikir Muslim klasik yang hidup pada abad ke - 4 Hijriah (sekitar abad ke-10 Masehi). Ia dikenal sebagai filsuf yang berusaha mengharmoniskan antara ajaran agama Islam dan filsafat rasional. Dalam konteks pendidikan, pemikiran Al-Amiri penting karena menawarkan sintesis antara ilmu agama, ilmu rasional, dan pembentukan moral manusia. Bagi Al-Amiri, pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan usaha sadar untuk membentuk manusia yang berakal, berakhlak, dan mampu menjalani kehidupan secara bijaksana.
Pemikiran Al-Amiri muncul pada masa ketika dunia Islam sedang menghadapi dinamika intelektual yang kompleks, terutama akibat masuknya filsafat Yunani ke dalam khazanah keilmuan Islam. Situasi ini memunculkan ketegangan antara kalangan rasionalis dan tradisionalis. Al-Amiri hadir sebagai pemikir yang mencoba menjembatani dua kutub tersebut dengan menunjukkan bahwa filsafat dapat berfungsi sebagai alat untuk memperkuat pemahaman keagamaan, bukan sebagai ancaman bagi iman (Nasr, 1996).
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, Al-Amiri memandang manusia sebagai makhluk rasional sekaligus moral. Pandangan ini sejalan dengan gagasan para filsuf Muslim lain yang menempatkan pendidikan sebagai sarana penyempurnaan potensi manusia. Al-Jabiri menegaskan bahwa tradisi filsafat Islam klasik, termasuk Al-Amiri, menempatkan akal sebagai instrumen utama untuk memahami realitas, namun tetap berada dalam bingkai nilai-nilai wahyu (Al-Jabiri, 1991).
Pendidikan, menurut kerangka berpikir Al-Amiri, tidak dapat dilepaskan dari tujuan etis. Ilmu yang diperoleh manusia harus diarahkan pada kebaikan dan kemaslahatan. Pandangan ini memperkuat tesis bahwa pendidikan Islam klasik tidak pernah netral nilai, melainkan selalu terkait dengan pembentukan karakter dan tanggung jawab moral. Hal ini juga ditegaskan oleh Nasr yang menyatakan bahwa dalam tradisi Islam, ilmu sejati selalu berorientasi pada kebijaksanaan dan pengabdian kepada Tuhan (Nasr, 1996).
Dalam kajian kontemporer, pemikiran Al-Amiri sering ditempatkan sebagai bagian penting dari diskursus integrasi ilmu. Rizki menunjukkan bahwa konsep ilmu Al-Amiri menolak pemisahan kaku antara ilmu agama dan ilmu rasional, karena keduanya sama-sama berfungsi untuk mengantarkan manusia pada kebenaran (Rizki, 2018). Oleh karena itu, pemikiran Al-Amiri relevan untuk dikaji kembali dalam upaya merumuskan paradigma pendidikan Islam yang integratif dan kontekstual di era modern.
Biografi Singkat Al-Amiri
Al-Amiri memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Muhammad bin Yusuf al-Amiri al-Naisaburi. Ia lahir di wilayah Khurasan dan dikenal sebagai murid dari Abu Zayd al-Balkhi. Lingkungan intelektual tempat ia hidup ditandai oleh berkembangnya tradisi penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles dan Plato. Al-Amiri berada di tengah arus besar tersebut, namun mengambil posisi moderat dengan menegaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama apabila digunakan secara benar.
Secara intelektual, Al-Amiri dikenal sebagai pemikir yang produktif dalam menulis karya-karya filsafat dan keislaman. Salah satu karyanya yang paling penting adalah Al-Iʿlam bi Manaqib al-Islam, sebuah karya yang menegaskan keunggulan Islam sekaligus menunjukkan kompatibilitasnya dengan rasionalitas filosofis. Dalam karya ini, Al-Amiri berupaya membela Islam dari kritik filsafat luar dengan menggunakan argumen rasional yang sistematis, sebuah pendekatan yang menunjukkan kapasitas pedagogis sekaligus apologetik (Nasr, 1996).
Kedudukan Al-Amiri dalam sejarah filsafat Islam sering dipandang sebagai penghubung antara tradisi filsafat murni dan teologi rasional. Al-Jabiri menempatkan Al-Amiri sebagai bagian dari arus filsafat etis-rasional yang berusaha menjinakkan filsafat agar tetap berada dalam orbit nilai-nilai keagamaan, tanpa mengebiri peran akal itu sendiri (Al-Jabiri, 1991). Posisi ini menjadikan Al-Amiri relevan tidak hanya sebagai filsuf, tetapi juga sebagai pemikir pendidikan.
Dari sisi pendidikan, latar belakang kehidupan dan pemikiran Al-Amiri menunjukkan bahwa proses belajar pada masanya berlangsung dalam ruang dialog lintas disiplin. Ia merepresentasikan sosok intelektual yang tidak terkungkung oleh satu bidang keilmuan, melainkan menguasai filsafat, etika, dan ilmu-ilmu keislaman secara terpadu. Model intelektual seperti ini, menurut Nasr, merupakan ciri khas sarjana Muslim klasik yang memandang ilmu sebagai kesatuan organik, bukan fragmen-fragmen terpisah (Nasr, 1996).
Konsep Ilmu dalam Pemikiran Al-Amiri
Menurut Al-Amiri, ilmu adalah pengetahuan yang menghasilkan keyakinan benar dan menjauhkan manusia dari kesalahan. Ilmu tidak cukup hanya diketahui, tetapi harus dipahami secara mendalam sehingga melahirkan kejelasan dan kepastian. Pandangan ini menegaskan bahwa pendidikan harus menekankan pemahaman substantif, bukan sekadar hafalan. Ilmu juga memiliki nilai intrinsik karena berfungsi mengangkat martabat manusia sebagai makhluk berakal.
Al-Amiri memandang bahwa kebenaran ilmu sangat berkaitan dengan kemampuan akal dalam menangkap realitas secara tepat. Oleh karena itu, proses pendidikan harus melatih nalar kritis dan kemampuan berpikir reflektif. Pandangan ini sejalan dengan tradisi filsafat klasik Islam yang menempatkan akal sebagai instrumen utama pencarian ilmu, sebagaimana ditegaskan pula oleh Al-Farabi bahwa kesempurnaan manusia dicapai melalui aktualisasi akal (Nasr, 1996).
Dalam kerangka epistemologisnya, Al-Amiri menolak pandangan relativistik terhadap ilmu. Ia berpandangan bahwa kebenaran bersifat objektif dan dapat dicapai melalui metode yang benar. Sikap ini menunjukkan bahwa pendidikan, menurut Al-Amiri, harus berorientasi pada pencarian kebenaran, bukan sekadar pada kegunaan pragmatis. Rizki menegaskan bahwa bagi Al-Amiri, ilmu yang benar akan melahirkan keteraturan berpikir dan ketenangan batin (Rizki, 2018).
Al-Amiri juga menekankan hubungan erat antara ilmu dan etika. Ilmu tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab moral, karena pengetahuan yang tidak dikendalikan oleh nilai dapat menimbulkan kerusakan. Gagasan ini sejalan dengan pandangan Nasr yang menyatakan bahwa dalam filsafat Islam klasik, ilmu selalu terikat dengan nilai-nilai etis dan spiritual, sehingga tidak pernah bersifat netral secara moral (Nasr, 1996).
Al-Amiri membagi ilmu ke dalam beberapa kategori, antara lain ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional. Namun, pembagian ini tidak dimaksudkan untuk memisahkan secara dikotomis, melainkan untuk menunjukkan perbedaan fungsi dan pendekatan. Ilmu agama berfungsi sebagai petunjuk hidup dan sumber nilai, sedangkan ilmu rasional berperan dalam memahami realitas alam dan sosial secara logis.
Pembagian ilmu tersebut menunjukkan bahwa Al-Amiri memandang keseluruhan disiplin ilmu sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Al-Jabiri menjelaskan bahwa model berpikir seperti ini merupakan ciri khas filsafat Islam yang berusaha menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas (Al-Jabiri, 1991). Dengan demikian, konsep ilmu Al-Amiri memberikan landasan epistemologis bagi pendidikan yang integratif dan berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya.
Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Rasional
Salah satu kontribusi penting Al-Amiri dalam pemikiran pendidikan adalah gagasannya tentang integrasi ilmu. Ia menolak pandangan yang mempertentangkan filsafat dengan agama. Menurutnya, kebenaran bersumber dari Tuhan, sehingga akal dan wahyu pada hakikatnya saling mendukung. Jika terjadi pertentangan, maka yang perlu dikaji ulang adalah cara memahami teks agama atau cara menggunakan rasio.
Dalam konteks pendidikan, pandangan ini mengisyaratkan pentingnya kurikulum yang terpadu. Pendidikan ideal menurut Al-Amiri adalah pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan sekaligus ilmu-ilmu rasional, sehingga peserta didik tumbuh sebagai pribadi yang seimbang antara iman, akal, dan akhlak.
Pendidikan dan Pembentukan Akhlak
Bagi Al-Amiri, tujuan akhir pendidikan bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kebijaksanaan moral. Ilmu yang tidak melahirkan akhlak justru berpotensi menyesatkan. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan karakter, pengendalian diri, dan kebiasaan berbuat baik.
Ia menekankan pentingnya keteladanan dalam proses pendidikan. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai figur moral yang dicontoh oleh peserta didik. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan harus ditanamkan melalui praktik nyata, bukan hanya melalui nasihat verbal.
Dalam pandangan Al-Amiri, akhlak tidak dapat dibentuk secara instan melalui pengajaran teoritis semata. Pembentukan moral memerlukan pembiasaan yang berulang dan lingkungan pendidikan yang kondusif. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Ibn Miskawayh yang menegaskan bahwa akhlak merupakan hasil latihan jiwa yang terus-menerus hingga menjadi karakter yang menetap (Ibn Miskawayh, 1995).
Al-Amiri juga memandang bahwa hubungan antara ilmu dan akhlak bersifat kausal. Ilmu yang benar akan mengarahkan manusia pada perilaku yang benar, sementara akhlak yang baik akan menjaga ilmu dari penyalahgunaan. Nasr menegaskan bahwa dalam tradisi Islam klasik, pemisahan antara ilmu dan etika dipandang sebagai sumber krisis kemanusiaan, karena pengetahuan kehilangan orientasi nilai (Nasr, 1996).
Pendidikan akhlak menurut Al-Amiri tidak hanya bersifat individual, tetapi juga sosial. Akhlak yang baik harus tercermin dalam relasi sosial, keadilan, dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Al-Jabiri menjelaskan bahwa etika sosial merupakan salah satu pilar penting dalam filsafat Islam klasik, di mana pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia yang mampu hidup harmonis dalam tatanan sosial (Al-Jabiri, 1991).
Lebih jauh, Al-Amiri menempatkan pendidikan akhlak sebagai fondasi bagi stabilitas peradaban. Ilmu pengetahuan yang berkembang tanpa landasan moral berpotensi melahirkan kerusakan, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Pandangan ini relevan dengan kritik kontemporer terhadap modernitas, yang sering kali menghasilkan kemajuan teknologis tanpa diimbangi kedewasaan etis (Nasr, 1996).
Dengan demikian, pendidikan dan pembentukan akhlak dalam pemikiran Al-Amiri tidak dapat dipisahkan. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membentuk manusia berilmu sekaligus berakhlak, sehingga ilmu menjadi sarana kebaikan, bukan sumber kehancuran.
Tujuan Pendidikan Menurut Al-Amiri
Secara umum, tujuan pendidikan dalam pemikiran Al-Amiri dapat dipahami sebagai upaya mencapai kesempurnaan manusia. Kesempurnaan ini mencakup tiga aspek utama, yaitu kesempurnaan intelektual melalui penguasaan ilmu, kesempurnaan moral melalui pembentukan akhlak, dan kesempurnaan spiritual melalui kedekatan kepada Tuhan. Pendidikan dengan demikian menjadi sarana untuk membimbing manusia menuju kehidupan yang bermakna dan seimbang.
Al-Amiri memandang bahwa kesempurnaan intelektual tidak identik dengan penguasaan banyak pengetahuan, melainkan kemampuan menggunakan akal secara benar dan proporsional. Akal harus dilatih agar mampu membedakan yang benar dari yang salah serta yang bermanfaat dari yang merusak. Pandangan ini sejalan dengan tradisi filsafat Islam klasik yang menempatkan pendidikan sebagai proses aktualisasi potensi rasional manusia secara bertahap dan terarah (Nasr, 1996).
Pada aspek moral, Al-Amiri menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk pribadi yang memiliki keseimbangan jiwa. Akhlak yang baik tidak muncul secara spontan, tetapi merupakan hasil dari latihan berkelanjutan yang dibimbing oleh ilmu dan teladan. Pandangan ini memiliki irisan kuat dengan pemikiran Ibn Miskawayh yang menegaskan bahwa pendidikan moral bertujuan menciptakan harmoni antara dorongan rasional dan emosional manusia (Ibn Miskawayh, 1995).
Sementara itu, kesempurnaan spiritual menurut Al-Amiri menjadi puncak dari keseluruhan proses pendidikan. Ilmu dan akhlak pada akhirnya harus mengantarkan manusia pada kesadaran akan tujuan hidup yang transenden. Al-Jabiri menjelaskan bahwa dalam filsafat Islam, dimensi spiritual bukanlah lawan dari rasionalitas, melainkan orientasi akhir yang memberi makna pada aktivitas intelektual dan etis manusia (Al-Jabiri, 1991). Dengan demikian, tujuan pendidikan menurut Al-Amiri bersifat menyeluruh dan terintegrasi, mencakup dimensi rasio, moral, dan spiritual secara sekaligus.
Relevansi Pemikiran Al-Amiri dengan Pendidikan Kontemporer
Pemikiran Al-Amiri tetap relevan dalam konteks pendidikan modern, khususnya di tengah tantangan fragmentasi ilmu dan krisis moral. Gagasannya tentang integrasi ilmu agama dan ilmu rasional sejalan dengan kebutuhan pendidikan holistik yang tidak hanya mengejar kompetensi teknis, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks kontemporer, fragmentasi ilmu sering kali melahirkan spesialisasi sempit yang miskin orientasi nilai. Pendidikan modern cenderung memisahkan sains, humaniora, dan pendidikan moral sebagai wilayah yang berdiri sendiri. Telaah Al-Amiri justru menunjukkan bahwa pemisahan semacam ini berisiko menciptakan manusia terdidik secara teknis, tetapi rapuh secara etis. Nasr menegaskan bahwa krisis pendidikan modern berakar pada hilangnya visi kesatuan ilmu yang pernah menjadi fondasi peradaban Islam klasik (Nasr, 1996).
Lebih jauh, integrasi ilmu yang ditawarkan Al-Amiri dapat dibaca sebagai kritik filosofis terhadap paradigma pendidikan berbasis pasar (market-driven education). Ketika pendidikan direduksi menjadi alat produksi tenaga kerja, dimensi kebijaksanaan dan tujuan hidup terpinggirkan. Al-Amiri, sebaliknya, memandang pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia, di mana ilmu harus diarahkan pada kebaikan bersama dan kemaslahatan sosial. Perspektif ini relevan untuk menantang kecenderungan instrumentalisasi pendidikan dewasa ini.
Selain itu, penekanan Al-Amiri pada etika praktik memiliki implikasi langsung terhadap peran pendidik di era modern. Guru tidak cukup berfungsi sebagai fasilitator pengetahuan, tetapi juga sebagai penjaga nilai dan teladan moral. Al-Jabiri mengingatkan bahwa pendidikan tanpa orientasi etis hanya akan melahirkan kecerdasan yang oportunistik, bukan kebijaksanaan yang membebaskan manusia (Al-Jabiri, 1991).
Selain itu, penekanannya pada pemahaman mendalam dan etika praktik dapat menjadi kritik terhadap sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada capaian angka dan sertifikat. Al-Amiri mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah proses panjang pembentukan manusia, bukan sekadar pencapaian administratif.
Kesimpulan
Pemikiran Al-Amiri tentang pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan harus dipahami sebagai proses integratif antara ilmu, akhlak, dan spiritualitas. Dengan menolak dikotomi antara agama dan rasio, Al-Amiri menawarkan kerangka pendidikan yang seimbang dan relevan lintas zaman. Warisan pemikirannya dapat menjadi rujukan penting dalam merancang sistem pendidikan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.
Daftar Pustaka
Al-Amiri, Abu al-Hasan. Al-Iʿlam bi Manaqib al-Islam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Miskawayh. (1995). Tahdhib al-Akhlāq wa Tathīr al-Aʿrāq. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Rizki, M. M. (2018). Konsepsi Ilmu dalam Perspektif Abu al-Hasan al-Amiri. Jurnal Filsafat Islam, 5(2).
Al-Jabiri, M. A. (1991). Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah.
Nasr, S. H. (1996). Islamic Philosophy from Its Origin to the Present. Albany: SUNY Press.

0 Komentar