INDRAGIRI.com, OPINI - Begini…, mari kita mulai dari satu kesepahaman dasar terlebih dahulu. Sebuah sekolah, semegah apapun gedungnya, secanggih apapun fasilitasnya, seambisius apapun visi yang ditulis dan ditempelkan di dinding depan lobby, pada akhinrya kembali kepada apa yang dilakukan guru di dalam ruang-ruang kelas. Dari titik inilah, saya sering menyebut bahwa guru adalah lifeblood bagi keberlangsungan dan kesuksesan sebuah sekolah. Tanpa sosok guru yang “hidup”, sekolah hanya sekedar bangunan. Tanpa sosok guru yang berpikir, pendidikan hanya sekedar rutinitas.
Namun persoalannya, guru kerap dibebani begitu banyak tugas teknis,
laporan, target, dan indikator, hingga lupa pada peran paling esensialnya. Padahal,
jika disarikan secara jujur, dari sekian banyak peran guru jika diperas maka
intinya adalah to facilitate learning. Guru adalah fasilitator proses
belajar. Ia membuka ruang, membimbing proses, dan memastikan bahwa belajar
benar-benar berjalan secara bermakna. Thus, guru bukan pusat pengetahuan
di mana ia “maha” tahu segalanya, bukan penjaga ketertiban, bukan pula semata operator
kurikulum.
Gagasan ini sesungguhnya bukan hal baru. John Dewey, sang filsuf pragmatisme
dari Amerika itu, jauh di awal abad ke-20 telah menegaskan bahwa pendidikan
bukanlah persiapan untuk hidup, melainkan kehidupan itu sendiri. Belajar,
menurut Dewey, adalah proses pengalaman (learning by doing), bukan
sekadar transfer informasi. Ketika guru berubah menjadi fasilitator pengalaman
belajar, pendidikan menjadi hidup. Sebaliknya, ketika guru direduksi menjadi
penyampai materi, pendidikan kehilangan rohnya.
Masalah besar muncul ketika the dominant culture dalam sistem
pendidikan kita selama ini bukanlah pembelajaran, melainkan ujian. Secara
perlahan namun pasti, pendidikan direduksi menjadi serangkaian tes, angka,
peringkat, dan kelulusan. Proses belajar dan mengajar tidak lagi dipandang
sebagai perjalanan intelektual, melainkan sebagai shortcut menuju skor/angka/peringkat
tertentu.
Sudah barang tentu ujian itu penting. Bahkan, ujian yang berstandar dan
dirancang secara baik adalah keniscayaan. Namun ujian seharusnya berfungsi
sebagai alat “diagnosis”, bukan alat “definisi”. Ujian mestinya membantu guru
memahami kebutuhan belajar peserta didik, bukan justru mengunci potensi mereka
dalam label “pandai” atau “tidak pandai”. Ketika ujian berubah menjadi the
dominant culture, di situlah pendidikan mulai kehilangan arah.
Saya teringat dengan istilah yang digunakan oleh Paulo Freire untuk menyebut
situasi ini dengan sebutan banking concept of education (pendidikan gaya
tabungan). Ia menggambarkan situasi di mana guru “menyetor” pengetahuan dan
murid hanya bertugas menyimpan lalu mengulanginya saat ujian. Dalam sistem
seperti ini, kepatuhan lebih dihargai daripada pemahaman, dan keheningan kelas
lebih dipuja daripada dialog kritis. Pendidikan tidak lagi membebaskan,
melainkan menjinakkan.
Akibatnya, alih-alih menumbuhkan rasa ingin tahu, imajinasi, dan
pemahaman yang mendalam, kita justru membangun budaya kepatuhan. Anak-anak
dilatih mengikuti pola, bukan menjelajah atau “bernakal-nakal” dengan segala
bentuk kemungkinan. Guru pun, sering kali tanpa sadar, ikut terseret menjadi
pelaksana rutinitas, bukan penggerak makna. Sir Ken Robinson, seorang educationalist
asal Liverpool, dengan tajam mengkritik kondisi ini. Ia katakan bahwa sekolah
modern terlalu sibuk menstandarkan kecerdasan, padahal manusia pada dasarnya
beragam dan kreatif dalam frame-nya masing-masing.
Dalam perspektif Islam, kritik semacam ini justru menemukan resonansi
yang kuat. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar mengisi
akal, tetapi membentuk manusia seutuhnya (akal, hati, dan akhlak). Ilmu yang
tidak menghidupkan kesadaran hanya akan melahirkan kepandaian yang kering
makna. Ibn Khaldun bahkan mengingatkan bahwa pembelajaran yang bersifat memaksa
dan berlebihan akan mematikan daya pikir dan kreativitas peserta didik.
Lebih jauh, konsep ta‘lim dalam tradisi Islam tidak pernah
berdiri sendiri tanpa tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan bukan hanya
soal mengetahui, tetapi soal menjadi. Maka ketika pendidikan direduksi menjadi
angka ujian, kita sesungguhnya sedang mengkhianati ruh pendidikan itu sendiri, baik
dalam tradisi modern maupun dalam khazanah Islam klasik.
Ki Hadjar Dewantara juga telah lama mengingatkan bahwa pendidikan harus ‘menuntun’
segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. Menuntun, bukan menyeret. Menghidupkan, bukan
menyeragamkan. Prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut
wuri handayani justru menempatkan guru sebagai fasilitator, bukan dominator.
Pada akhirnya, kita perlu kembali pada kesadaran paling mendasar di mana
hidup manusia itu pada hakikatnya kreatif. Pendidikan seharusnya membangunkan
kreativitas itu, bukan menekannya dengan standar yang kaku. Pendidikan tidak
harus selalu seperti sekarang. Perubahan tidak selalu dimulai dari kebijakan
besar, tetapi dari keberanian guru dan pemimpin pendidikan untuk membayangkan langkah
alternatif seperti kelas yang lebih dialogis, pembelajaran yang lebih bermakna,
dan evaluasi yang lebih manusiawi.
Saya cenderung percaya, pendidikan akan kembali bernyawa ketika guru
dikembalikan pada peran sejatinya, dan ujian dikembalikan pada fungsinya: to
diagnose rather than to define. Selebihnya adalah keberanian kita untuk
tidak terus-menerus mempertahankan sesuatu hanya karena sudah lama dianggap
normal. Wallahu a‘lam bi al-shawab.(*)

0 Komentar