Breaking News

PENDIDIKAN YANG DISEMPITKAN | Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D



INDRAGIRI.com, OPINI - Begini…, mari kita mulai dari satu kesepahaman dasar terlebih dahulu. Sebuah sekolah, semegah apapun gedungnya, secanggih apapun fasilitasnya, seambisius apapun visi yang ditulis dan ditempelkan di dinding depan lobby, pada akhinrya kembali kepada apa yang dilakukan guru di dalam ruang-ruang kelas. Dari titik inilah, saya sering menyebut bahwa guru adalah lifeblood bagi keberlangsungan dan kesuksesan sebuah sekolah. Tanpa sosok guru yang “hidup”, sekolah hanya sekedar bangunan. Tanpa sosok guru yang berpikir, pendidikan hanya sekedar rutinitas.

Namun persoalannya, guru kerap dibebani begitu banyak tugas teknis, laporan, target, dan indikator, hingga lupa pada peran paling esensialnya. Padahal, jika disarikan secara jujur, dari sekian banyak peran guru jika diperas maka intinya adalah to facilitate learning. Guru adalah fasilitator proses belajar. Ia membuka ruang, membimbing proses, dan memastikan bahwa belajar benar-benar berjalan secara bermakna. Thus, guru bukan pusat pengetahuan di mana ia “maha” tahu segalanya, bukan penjaga ketertiban, bukan pula semata operator kurikulum.

Gagasan ini sesungguhnya bukan hal baru. John Dewey, sang filsuf pragmatisme dari Amerika itu, jauh di awal abad ke-20 telah menegaskan bahwa pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, melainkan kehidupan itu sendiri. Belajar, menurut Dewey, adalah proses pengalaman (learning by doing), bukan sekadar transfer informasi. Ketika guru berubah menjadi fasilitator pengalaman belajar, pendidikan menjadi hidup. Sebaliknya, ketika guru direduksi menjadi penyampai materi, pendidikan kehilangan rohnya.

Masalah besar muncul ketika the dominant culture dalam sistem pendidikan kita selama ini bukanlah pembelajaran, melainkan ujian. Secara perlahan namun pasti, pendidikan direduksi menjadi serangkaian tes, angka, peringkat, dan kelulusan. Proses belajar dan mengajar tidak lagi dipandang sebagai perjalanan intelektual, melainkan sebagai shortcut menuju skor/angka/peringkat tertentu.

Sudah barang tentu ujian itu penting. Bahkan, ujian yang berstandar dan dirancang secara baik adalah keniscayaan. Namun ujian seharusnya berfungsi sebagai alat “diagnosis”, bukan alat “definisi”. Ujian mestinya membantu guru memahami kebutuhan belajar peserta didik, bukan justru mengunci potensi mereka dalam label “pandai” atau “tidak pandai”. Ketika ujian berubah menjadi the dominant culture, di situlah pendidikan mulai kehilangan arah.

Saya teringat dengan istilah yang digunakan oleh Paulo Freire untuk menyebut situasi ini dengan sebutan banking concept of education (pendidikan gaya tabungan). Ia menggambarkan situasi di mana guru “menyetor” pengetahuan dan murid hanya bertugas menyimpan lalu mengulanginya saat ujian. Dalam sistem seperti ini, kepatuhan lebih dihargai daripada pemahaman, dan keheningan kelas lebih dipuja daripada dialog kritis. Pendidikan tidak lagi membebaskan, melainkan menjinakkan.

Akibatnya, alih-alih menumbuhkan rasa ingin tahu, imajinasi, dan pemahaman yang mendalam, kita justru membangun budaya kepatuhan. Anak-anak dilatih mengikuti pola, bukan menjelajah atau “bernakal-nakal” dengan segala bentuk kemungkinan. Guru pun, sering kali tanpa sadar, ikut terseret menjadi pelaksana rutinitas, bukan penggerak makna. Sir Ken Robinson, seorang educationalist asal Liverpool, dengan tajam mengkritik kondisi ini. Ia katakan bahwa sekolah modern terlalu sibuk menstandarkan kecerdasan, padahal manusia pada dasarnya beragam dan kreatif dalam frame-nya masing-masing.

Dalam perspektif Islam, kritik semacam ini justru menemukan resonansi yang kuat. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar mengisi akal, tetapi membentuk manusia seutuhnya (akal, hati, dan akhlak). Ilmu yang tidak menghidupkan kesadaran hanya akan melahirkan kepandaian yang kering makna. Ibn Khaldun bahkan mengingatkan bahwa pembelajaran yang bersifat memaksa dan berlebihan akan mematikan daya pikir dan kreativitas peserta didik.

Lebih jauh, konsep ta‘lim dalam tradisi Islam tidak pernah berdiri sendiri tanpa tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan bukan hanya soal mengetahui, tetapi soal menjadi. Maka ketika pendidikan direduksi menjadi angka ujian, kita sesungguhnya sedang mengkhianati ruh pendidikan itu sendiri, baik dalam tradisi modern maupun dalam khazanah Islam klasik.

Ki Hadjar Dewantara juga telah lama mengingatkan bahwa pendidikan harus ‘menuntun’ segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Menuntun, bukan menyeret. Menghidupkan, bukan menyeragamkan. Prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani justru menempatkan guru sebagai fasilitator, bukan dominator.

Pada akhirnya, kita perlu kembali pada kesadaran paling mendasar di mana hidup manusia itu pada hakikatnya kreatif. Pendidikan seharusnya membangunkan kreativitas itu, bukan menekannya dengan standar yang kaku. Pendidikan tidak harus selalu seperti sekarang. Perubahan tidak selalu dimulai dari kebijakan besar, tetapi dari keberanian guru dan pemimpin pendidikan untuk membayangkan langkah alternatif seperti kelas yang lebih dialogis, pembelajaran yang lebih bermakna, dan evaluasi yang lebih manusiawi.

Saya cenderung percaya, pendidikan akan kembali bernyawa ketika guru dikembalikan pada peran sejatinya, dan ujian dikembalikan pada fungsinya: to diagnose rather than to define. Selebihnya adalah keberanian kita untuk tidak terus-menerus mempertahankan sesuatu hanya karena sudah lama dianggap normal. Wallahu a‘lam bi al-shawab.(*)

 

Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D adalah Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research, di IRDAK Institute of Singapore, di Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS), Anggota Dewan Masjid Indonesia Kota Batam, Anggota ICMI Prov. Kepri, Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Prov. Kepri, guru PAI Bakti Mulya 400, dan dosen di beberapa kampus yang juga  aktif menulis mengenai isu-isu pendidikan selain politik, sosial, dan ekonomi.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close