INDRAGIRI.com, Dunia terhentak pada Juni 2025 ketika ketegangan antara Israel dan Iran meledak menjadi konflik terbuka. Apa yang selama puluhan tahun berupa perang dingin, tiba-tiba berubah menjadi pertempuran panas yang mengguncang panggung global. Serangan langsung antar kedua negara ini bukanlah insiden spontan, melainkan puncak gunung es dari konflik berkepanjangan yang akarnya tertanam dalam di tanah Timur Tengah.
Tapi sebenarnya, ini bukanlah ledakan yang tiba-tiba.
Konflik ini ibarat bom waktu yang sudah diaktifkan puluhan tahun lalu. Lewat
tulisan ini, saya mengajak anda menelusuri akar konflik yang jarang dipahami,
momen-momen kunci yang membawa kita ke titik ini, dan dampak besar yang akan
kita rasakan ke depannya
Ini bukan sekadar konflik dua negara. Ini tentang masa depan
kawasan, tentang pertarungan teknologi militer, dan tentang nasib jutaan orang
yang terjebak di tengahnya. Mari kita selami bersama.
Israel secara historis memandang Iran sebagai ancaman
eksistensial (existential threat) terhadap kelangsungan negaranya.
Persepsi ini terutama didorong oleh dua faktor utama: dukungan aktif Iran
terhadap kelompok militan anti-Israel, seperti Hamas di Palestina dan Hizbullah
di Lebanon, serta pengembangan program nuklir Iran yang dianggap
berpotensi mengarah pada pembuatan senjata pemusnah massal. Ketakutan ini
secara konsisten diungkapkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai
salah satu tantangan keamanan nasional paling kritis dalam beberapa dekade
terakhir.
Di sisi lain, Iran memandang Israel sebagai "entitas
Zionis ilegal" (illegitimate Zionist entity) yang didirikan
melalui pendudukan atas tanah Palestina. Sebagai bagian dari kebijakan luar
negerinya, Tehran secara terbuka mendukung perlawanan Palestina melalui "Poros
Perlawanan" (Axis of Resistance), sebuah aliansi strategis
yang bertujuan melawan pengaruh Israel dan Amerika Serikat di kawasan Timur
Tengah. Persepsi yang saling bertolak belakang ini memperdalam permusuhan
antara kedua negara dan menjadi pemicu utama konflik berkepanjangan yang terus
mengalami eskalasi.
Pasca Revolusi Islam 1979, yang mengakhiri kekuasaan
monarki Shah Pahlavi, Iran secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan
Israel dan mengadopsi kebijakan luar negeri yang secara terbuka menentang
eksistensi negara Zionis tersebut. Pergeseran ideologis ini diikuti dengan
dukungan aktif Tehran terhadap berbagai kelompok perlawanan anti-Israel,
sebagai bagian dari strategi "ekspor revolusi" (export
of revolution) yang menjadi pilar politik luar negeri Republik Islam.
Memasuki dekade 2000-an, Iran semakin memperluas
pengaruhnya di kawasan melalui dukungan militer dan finansial kepada Hizbullah
di Lebanon, mengubah kelompok tersebut menjadi kekuatan proxy yang signifikan
dalam konflik dengan Israel. Sebagai respons, Israel mengadopsi shadow war
dengan melakukan serangan terselubung terhadap para ilmuwan dan fasilitas
nuklir Iran, termasuk pembunuhan bertarget (targeted killings) terhadap
figur-figur kunci dalam program nuklir Tehran.
Tercatat, pada periode 2020–2024,
eskalasi konflik mencapai fase baru dengan intensifikasi serangan Israel
terhadap target Iran di Suriah. Operasi-operasi ini mencakup pembunuhan Mohsen
Fakhrizadeh (2020) – Ilmuwan utama program nuklir Iran yang dianggap
sebagai "bapak bom nuklir" Iran dan serangan terhadap Kedutaan Iran
di Damaskus (2024).
Eskalasi ini mencerminkan perang asimetris (asymmetric
warfare) antara kedua negara, di mana Israel mengandalkan keunggulan
teknologi intelijen dan serangan presisi, sementara Iran menggunakan jaringan
proxy dan perang pengaruh sebagai alat strategisnya.
Serangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni 2025, yang diberi
sandi Operasi Rising Lion, menandai puncak eskalasi konflik berkepanjangan
antara kedua negara. Serangan udara strategis ini secara simultan menargetkan
tiga lokasi vital: Teheran sebagai pusat pemerintahan, serta fasilitas nuklir
Natanz dan Fordo yang menjadi tulang punggung program pengayaan uranium Iran.
Target operasi difokuskan pada tiga elemen kritis: (1) infrastruktur nuklir
termasuk sentrifugal pengayaan uranium di Natanz, (2) kepemimpinan militer
seperti Jenderal Ali Shadmani selaku Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dan (3)
infrastruktur energi strategis berupa kilang minyak dan pembangkit listrik.
Secara doktriner, operasi ini bertujuan mencapai dua tujuan strategis sekaligus
- melumpuhkan kapasitas nuklir Iran dan melemahkan stabilitas rezim yang
berkuasa. Operasi Rising Lion merepresentasikan perubahan signifikan dalam pola
konflik kedua negara, dari perang proksi menuju konfrontasi langsung yang lebih
terbuka.
Sebagai respons terhadap serangan Israel, Iran melancarkan
operasi pembalasan dengan meluncurkan serangan rudal balistik dan drone secara
simultan ke wilayah Israel. Target utama mencakup dua lokasi strategis: (1) Tel
Aviv sebagai pusat pemerintahan dan markas badan intelijen Mossad, serta (2)
Haifa yang menjadi lokasi kilang minyak Bazan Group - infrastruktur energi
vital Israel. Iran mengerahkan rudal canggih Haj Qassem yang
dirancang khusus untuk menembus sistem pertahanan udara Iron Dome Israel,
menunjukkan peningkatan kemampuan teknis dalam peperangan asimetris. Namun,
efektivitas serangan ini sebagian berkurang karena intervensi pasukan
pertahanan udara Yordania yang berhasil menembak jatuh sejumlah drone Iran
sebelum mencapai wilayah sasaran.
Eskalasi konflik Iran-Israel terjadi dalam konteks
geopolitik yang kompleks, bersamaan dengan memburuknya krisis kemanusiaan di
Gaza akibat pembatasan akses bantuan oleh Israel. Situasi ini memperlihatkan
bagaimana dinamika konflik regional sering kali mengorbankan populasi sipil
yang terjebak di antara kepentingan strategis berbagai aktor.
Pemahaman mendalam tentang konflik ini memerlukan analisis
terhadap dua komponen teknologi kunci. Pertama, program sentrifug nuklir Iran
yang menjadi tulang punggung pengayaan uranium negara tersebut. Iran
mengoperasikan ribuan sentrifug gas di tiga fasilitas strategis: Natanz sebagai
kompleks terbesar, Fordow yang berbentuk bunker bawah tanah, dan Isfahan
sebagai pusat konversi uranium. Sentrifug-sentrifug ini berfungsi memisahkan
isotop uranium-235 melalui proses pemutaran gas uranium heksafluorida, dengan
efisiensi yang terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Kedua, sistem Iron Dome Israel yang menjadi pertahanan utama
terhadap serangan rudal. Meskipun canggih, sistem ini menunjukkan keterbatasan
ketika menghadapi rudal generasi terbaru seperti Haj Qassem milik Iran.
Serangan Israel terhadap fasilitas Natanz dan Fordow mencerminkan upaya
strategis untuk mengganggu rantai pengayaan uranium Iran, sekaligus menunjukkan
tantangan teknis dalam menetralisir fasilitas nuklir yang didesain khusus untuk
bertahan dari serangan.
Pemahaman terhadap kedua sistem teknologi ini penting karena
tidak hanya menjelaskan kalkulasi strategis kedua belah pihak, tetapi juga
mengungkap kompleksitas perlombaan senjata di kawasan Timur Tengah. Interaksi
antara kemampuan ofensif nuklir Iran dan sistem pertahanan Israel membentuk
pola deterensi khusus yang menjadi pemicu sekaligus pengendali dalam dinamika
konflik yang terus bereskalasi.
Jika Anda yang mengikuti sejarah perkembangan "Islamic
Nuclear Bomb", tentu tidak asing dengan nama Abdul Qadir Khan (AQK). Figur
Abdul Qadir Khan (AQK), yang kerap dijuluki sebagai "Bapak Bom Nuklir
Islam" oleh majalah TIME, memainkan peran sentral dalam penyebaran
teknologi nuklir di kawasan. Antara tahun 1987 hingga 1995, AQK diketahui
terlibat dalam penjualan komponen sentrifug ke Iran melalui transaksi gelap di
Dubai, yang kemudian diselundupkan ke Tehran. Jaringannya, yang dijuluki
"Nuclear Walmart", menjadi saluran utama transfer teknologi nuklir
tidak hanya ke Iran dan Libya, tetapi juga ke Korea Utara. Meskipun pada
akhirnya AQK dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah Pakistan, pengaruhnya
tetap signifikan dalam perkembangan program nuklir negara-negara tersebut.
Keterkaitan AQK dengan program nuklir Iran bersifat tidak
langsung namun relevan. Selain melalui penjualan komponen sentrifug,
jejaringnya diduga terkait dengan generasi kedua ilmuwan nuklir Iran, termasuk
Mohsen Fakhrizadeh (2020) dan Fereydoon Abbasi (2025), yang menjadi target
operasi Israel. Hal ini memunculkan spekulasi tentang adanya hubungan antara
program nuklir Pakistan dan Iran, meskipun tidak ada bukti langsung bahwa
ilmuwan Iran belajar secara formal dari AQK.
Pernyataan kontroversial dari pejabat militer Iran, Mohsen
Rezaei, yang mengklaim bahwa Pakistan siap mendukung Iran dengan senjata nuklir
jika diserang Israel, menuai respons cepat dari pemerintah Pakistan yang
membantah keterlibatan tersebut. Insiden ini menggarisbawahi kompleksitas
hubungan nuklir antara kedua negara, serta sensitivitas politik yang menyertai isu
proliferasi nuklir di kawasan. Warisan AQK, meskipun kontroversial, tetap
menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi perkembangan senjata nuklir di dunia
Islam.
Meskipun berbagi perbatasan geografis, Iran dan Pakistan
menunjukkan perbedaan mendasar dalam orientasi politik dan keamanan
nasionalnya. Pakistan telah membangun hubungan strategis yang erat dengan
Amerika Serikat, di mana pengaruh Washington sangat dominan dalam kebijakan
pertahanan Islamabad. Sebaliknya, Iran secara konsisten menentang hegemoni
Barat dan menolak campur tangan asing, terutama dalam konteks dukungan Amerika
terhadap Israel.
Perbedaan fundamental inilah yang menjelaskan mengapa kemajuan program nuklir Iran - khususnya penguasaan teknologi sentrifugal untuk pengayaan uranium - menjadi ancaman eksistensial (existential threat) bagi keamanan nasional Israel. Sementara itu, meskipun Pakistan juga memiliki senjata nuklir, negara tersebut tidak dianggap sebagai ancaman langsung oleh Israel. Kerentanan ekonomi Pakistan, termasuk utang luar negeri yang besar dan masalah korupsi sistemik, membuat negara ini lebih bergantung pada bantuan AS dan mengurangi kapasitasnya sebagai aktor independen di kancah regional. Namun, status keduanya sebagai kekuatan nuklir memicu pernyataan tegas dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang secara terbuka menyatakan rencana untuk "menyelesaikan masalah nuklir Pakistan" setelah mengatasi ancaman dari Iran. Sebuah pernyataan yang sangat lantang dan berani. Tak pelak ini tercetus dari keberhasilan Israel menyerang Iran yang menyasar hampir semua instalasi nuklir Iran dan membunuh setidaknya empat jenderal, seorang laksamana dan setenah lusin ilmuwan nuklir Iran. Dalam operasi Rising Lion itu, Israel mengerahkan 200 pesawat tempur, terbang dari dua rute. Rute pertama, Suriah - Iraq - Iran. Dan rute kedua, Jordan - Iraq - Iran. Pilihan utama adalah rute Suriah - Iraq - Iran. Mengapa? Kenapa serangan lewat rute ini sangat efektif? Simak analisis lengkapnya dalam tulisan mendatang. Terima kasih.
------------------
Sofiandi, Ph.D adalah guru di Sekolah BM 400 dan juga peneliti serta dosen yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan ekonomi.
0 Komentar