INDRAGIRI.com, OPINI - Di tengah gempuran digital, individualisme, dan krisis makna yang menyelimuti Generasi Z, teladan Nabi Ibrahim AS, Sang Khalilullah, menawarkan kompas psiko-spiritual yang mendalam dan sangat relevan. Sebagai figur yang menjalani perjalanan iman dengan keberanian, keteguhan, dan keikhlasan, Ibrahim AS menjadi cerminan bagaimana berteologi secara autentik di era modern, bukan sekadar ritual, melainkan transformasi jiwa yang menyentuh ranah eksistensial manusia.
Kisah Nabi Ibrahim AS dalam Surah Al-An’am (6:74–79) menampilkan seorang pemuda yang menjalani proses dekontruksi terhadap sistem keyakinan dominan di zamannya. Dengan jujur, ia mengamati benda-benda langit—bintang, bulan, dan matahari—dan menolaknya sebagai tuhan karena sifat kefanaannya. Ini adalah bentuk pencarian spiritual yang melibatkan keberanian intelektual dan kedalaman emosional: memutuskan untuk tidak sekadar mewarisi keyakinan, tetapi menemukan Tuhan secara sadar dan reflektif.
Puncak dari pencarian tersebut adalah penolakan total terhadap syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Nabi Ibrahim AS bukan hanya meninggalkan berhala, tetapi juga meninggalkan seluruh sistem pemikiran dan budaya yang melanggengkan kebatilan, termasuk khurafat, perdukunan, dan praktik-praktik sihir yang berkembang di tengah masyarakatnya. Ini adalah bentuk penyucian tauhid yang bersifat total—fisik, akal, dan batin. Ia mengajarkan bahwa tidak cukup hanya menyembah Allah secara lahir, tetapi juga harus membersihkan pikiran dari kepercayaan batil dan menghindari penyimpangan keyakinan seperti bid'ah yang menodai kemurnian ajaran wahyu.
Bagi Generasi Z yang hidup dalam ekosistem digital penuh distraksi, algoritma, dan tekanan konformitas, teladan ini mengajarkan pentingnya keaslian spiritual yang berpijak pada tauhid murni. Di tengah tren new age spirituality, astrologi modern, tarot, manifestasi semu, dan praktik pseudoscience yang makin populer, perjalanan Ibrahim adalah seruan lantang untuk kembali kepada iman yang bebas dari campuran kebatilan.
Melalui pendekatan Carl Rogers tentang aktualisasi diri, perjalanan Ibrahim menunjukkan bahwa aktualisasi tertinggi bukanlah pencapaian eksternal, tetapi keselarasan antara nilai internal dan orientasi spiritual. Ini dapat diterapkan dalam praktik muhasabah digital, menyaring konten, membatasi konsumsi impulsif, dan menggunakan ruang digital sebagai ladang refleksi dan kontribusi bernilai—bukan tempat menyuburkan ilusi, takhayul, atau eksploitasi spiritual palsu.
Kehidupan Ibrahim AS penuh dengan ujian eksistensial yang mengguncang jiwanya: penolakan sosial, ancaman pembunuhan, dan perintah untuk menyembelih anak sendiri sebagaimana dikisahkan dalam Surah As-Saffat (102–107). Namun dalam setiap episode penderitaan, Ibrahim menunjukkan ketundukan aktif, bukan pasrah fatalistik, melainkan respons spiritual yang lahir dari hubungan yang intim dan dinamis dengan Allah.
Dalam perspektif psikologi positif modern, hal ini sejalan dengan konsep daya lenting yang dikembangkan Martin Seligman, namun lebih mendalam karena dipandu oleh iman transenden. Ibrahim tidak hanya bertahan, tetapi menemukan makna dalam penderitaan, yang dalam terminologi Viktor Frankl disebut sebagai terapi makna, dimensi terdalam dari penyembuhan jiwa.
Generasi Z yang hidup dalam tekanan performa, budaya pencapaian yang toksik, cyberbullying, dan kebutuhan akan validasi instan dapat mengambil pelajaran penting dari model ketangguhan spiritual Ibrahim. Mereka dapat membangun daya tahan batin melalui keterhubungan dengan Allah. Praktik seperti dzikir, tafakur, atau membaca kisah profetik dapat menjadi penyangga spiritual yang menolong mereka berdiri teguh ketika runtuh secara emosional.
Namun ada musuh yang lebih halus dan lebih berbahaya: hawa nafsu. Jika Ibrahim AS membakar berhala fisik, maka generasi kini dituntut untuk membakar berhala dalam diri, yakni nafsu angkara murka, kesombongan, syahwat kekuasaan, serta kerakusan terhadap dunia. Dalam era digital yang memuja kecepatan, sensasi, dan ego, hawa nafsu tampil dalam bentuk yang dibungkus narasi kebebasan, kebanggaan personal, dan kepuasan instan.
Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa spiritualitas sejati adalah pengendalian diri. Puncaknya terlihat ketika ia dengan ikhlas menerima perintah menyembelih putranya, Ismail AS, dan Ismail pun berserah. Ini adalah simbol pengorbanan ego dan hawa nafsu demi tunduk kepada kehendak Allah. Dalam bahasa modern, ini adalah ekspresi terdalam dari transendensi diri. Ibrahim tidak memperturutkan emosi, tidak menuruti naluri posesif sebagai ayah, melainkan menjadikan cinta kepada Allah sebagai pusat hidup.
Dalam konteks Generasi Z yang terjebak dalam budaya narsistik digital dan hedonisme visual, keikhlasan Ibrahim menjadi penawar dari kekosongan makna yang lahir dari pencarian validasi eksternal yang tak pernah selesai. Meneladani Ibrahim berarti melatih jiwa ikhlas dalam tindakan nyata, menunda gratifikasi, beramal tanpa pamrih, dan berkarya bukan untuk dinilai, melainkan karena ingin berkontribusi atas nama Allah.
Teladan Nabi Ibrahim AS bukan hanya kisah sejarah, melainkan model hidup bagi masyarakat kontemporer, terutama Generasi Z, untuk membangun teologi yang tidak tercerabut dari realitas. Perjalanan pencarian kebenarannya melatih refleksi kritis dan pencarian makna di tengah banjir informasi. Keteguhan imannya membentuk fondasi psiko-spiritual untuk menghadapi badai individualisme dan distraksi digital. Keikhlasannya menuntun jiwa untuk menemukan makna di balik pengorbanan dan pengabdian, dan tauhid murninya menjadi benteng kokoh dari penyimpangan modern seperti syirik kontemporer, khurafat digital, dan hawa nafsu yang tak terkendali.
Dengan meneladani Sang Khalilullah, generasi hari ini dapat menjalani hidup spiritual yang otentik, memadukan nalar, nurani, dan amal, demi kehidupan yang bermakna di dunia dan akhirat.
Allahu a'lam bisshawab
0 Komentar