Breaking News

Merespons Nurani, Maslahat bagi Umat | Prof. Dr. Khairunnas Rajab

Prof. Dr. Khairunnas Rajab

INDRAGIRI.com - Dalam pusaran zaman yang bergerak cepat, manusia modern cenderung semakin asing dengan suara hatinya sendiri. Di tengah kebisingan opini, kalkulasi rasional, dan tekanan kepentingan, nurani, suara bening dari dalam jiwa, sering kali diabaikan. Padahal, dalam dialektika batin itulah letak kebijaksanaan sejati. Ketika seseorang mampu merespons nuraninya dengan jujur dan ikhlas, ia tidak hanya membentuk pribadi yang utuh, tetapi juga memberikan maslahat nyata bagi umat.

Secara psikologis, nurani tidak hanya berkaitan dengan perasaan, melainkan merupakan struktur kesadaran akhlak yang kompleks. Dalam psikologi eksistensial dan transpersonal, nurani atau conscience adalah pusat pengarah batiniah yang muncul dari integrasi pikiran sadar, alam bawah sadar, pengalaman hidup, dan nilai spiritual. Nurani adalah bentuk kecerdasan akhlak otonom yang berdiri di atas nilai-nilai yang diyakini, tidak berada di bawah tekanan luar. Ia mencerminkan kondisi jiwa seseorang. Ketika jiwanya bersih, suara nurani menjadi jernih. Ketika jiwanya keruh oleh ambisi, suara itu teredam.

Namun, psikologi saja tidak cukup menjelaskan kedalaman kerja nurani. Dalam tradisi ruhani Islam, nurani berakar pada qalb yang hidup, yaitu hati yang tidak mati oleh dosa dan kelalaian. Hati yang sehat secara spiritual disebut qalbun salīm, yaitu hati yang selamat dari penyakit syirik, hasad, riya, dan cinta dunia berlebihan. Nurani yang jernih hanya bisa lahir dari qalbun salīm, sebab di sanalah tempat bersemayamnya kebenaran dan hidayah. Qalb seperti ini tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu atau kepentingan, melainkan teguh mengikuti kebaikan yang hakiki.

Lebih tinggi lagi adalah kondisi jiwa yang disebut nafsul muá¹­ma’innah — jiwa yang tenang, stabil, dan ridha terhadap kehendak Tuhan. Jiwa seperti ini tidak hanya mampu mendengar suara nurani, tetapi hidup dengannya secara penuh. Ia menjadikan suara batin tidak sebagai pengingat sesaat, melainkan penuntun hidup. Jiwa yang tenteram ini mampu membawa maslahat karena keputusan yang ia ambil telah melalui proses penyucian diri dan kejujuran ruhani. Dalam kondisi seperti ini, seseorang tidak lagi mencari kebenaran yang nyaman, melainkan kenyamanan dalam kebenaran.

Para salafusshaleh menjadi teladan nyata dalam hal ini. Mereka tidak hanya mengikuti akal atau emosi, tetapi berjalan bersama nurani yang bersumber dari qalbun salÄ«m dan nafsul muá¹­ma’innah. Kisah Umar bin Khattab ketika membatalkan rencananya untuk menetapkan harga pasar adalah contoh konkret. Meski mendapat tekanan dari masyarakat, ia menolak intervensi karena yakin bahwa campur tangan akan menyalahi prinsip keadilan Tuhan. Keputusan itu lahir dari hati yang bersih dan jiwa yang tenang, bukan karena strategi, tetapi karena keyakinan akhlak.

Imam Abu Hanifah juga pernah menolak jabatan qadhi yang ditawarkan oleh kekuasaan. Ia memilih penjara ketimbang mengorbankan independensi dan kejujuran hukumnya. Ini tidak sekadar keputusan emosional, melainkan refleksi dari nurani yang telah matang. Keputusan seperti ini membutuhkan kekuatan ruhani yang luar biasa. Hal itu hanya mungkin jika seseorang memiliki qalbun salīm dan nafs yang tenang, yang tidak diguncang oleh ancaman duniawi.

Secara psikologis, tindakan seperti ini mencerminkan apa yang disebut Viktor Frankl sebagai kehendak untuk makna, dorongan terdalam manusia untuk hidup selaras dengan makna tertinggi dalam dirinya. Para salaf membuktikan bahwa ketika nurani yang bersih dijadikan dasar, maka akan muncul keberanian, keikhlasan, dan pengorbanan yang menjadi rahmat bagi umat.

Dalam konteks sosial kekinian, maslahat tidak bisa dipisahkan dari keberanian merespons nurani, terutama ketika berhadapan dengan sistem dan keputusan yang tampak sah namun menzalimi. Pemimpin yang memiliki qalbun salīm akan menimbang keputusan dengan landasan kebaikan batin, tidak hanya logika keuntungan. Jiwa yang tenteram tidak tergesa-gesa, tidak reaktif, dan tidak silau oleh kepentingan sesaat.

Maslahat sejati lahir dari kejernihan batin, tidak hanya dari pertimbangan strategis. Seorang guru yang tetap jujur di tengah tekanan sistem, seorang hakim yang menolak sogokan demi menegakkan keadilan, atau seorang mahasiswa yang menyuarakan nilai meski tidak populer, mereka semua sedang hidup dalam gema nurani. Dari situ tumbuh maslahat, sebab yang mereka perjuangkan tidak hanya formalitas, tetapi nilai hakiki.

Masyarakat hari ini memerlukan pribadi-pribadi yang hidup dari pusat nuraninya, dengan qalb yang selamat dan jiwa yang tenteram. Untuk itu, harus ada ekosistem yang menumbuhkan dan melindungi ruang batin manusia. Pendidikan perlu diarahkan pada pembentukan karakter yang mampu mendengar suara hati, tidak hanya mengejar kecerdasan kognitif. Lembaga keagamaan harus menjadi penjaga suara akhlak kolektif. Budaya publik harus membuka ruang bagi perenungan, tidak hanya produksi sensasi.

Merespons nurani tidak perkara ringan. Ia menuntut keteguhan untuk tidak larut dalam arus, untuk berdiri ketika banyak yang memilih duduk. Namun sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar, dalam peradaban dan dalam jiwa, dimulai dari langkah kecil yang jujur kepada suara hati. Para salaf telah membuktikannya. 


Allahu a'lam bisshawab

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close