![]() |
Prof. Dr. Khairunnas Rajab |
INDRAGIRI.com, OPINI - Teologi politik dalam Islam tidak hanya berbicara tentang struktur kekuasaan, tetapi menyentuh inti terdalam dari hubungan antara manusia, Tuhan, dan tatanan sosial. Dalam bingkai ini, politik menjadi dimensi ibadah yang sarat nilai ilahiah. Ia bukan semata alat perebutan kekuasaan, tetapi merupakan ekspresi kesadaran tauhid dalam ruang publik. Politik dalam Islam diarahkan menjadi sarana transformasi sosial sekaligus bentuk pengabdian spiritual yang berakar pada kehendak ilahi.
Dalam sejarah peradaban manusia, sangat jarang ditemukan tokoh yang mampu mengintegrasikan antara spiritualitas, moralitas, dan strategi politik secara menyeluruh. Nabi Muhammad SAW menempati posisi tertinggi dalam hal ini. Beliau adalah seorang politikus agung yang mampu menavigasi kompleksitas sosial dengan kecakapan strategis, keluhuran akhlak, dan ketajaman visi profetik. Kepemimpinan politik beliau tidak bisa dilepaskan dari kekuatan ruhani yang menjadi fondasi utama seluruh kebijakan dan tindakannya.
Kepiawaian Nabi dalam merancang solusi sosial-politik sudah terlihat sejak masa sebelum kenabiannya secara formal. Dalam peristiwa perselisihan antar kabilah Quraisy tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya, Nabi tampil sebagai penengah. Meski belum memegang otoritas resmi, solusi cerdas yang beliau ajukan—melibatkan semua kabilah dalam proses peletakan—merupakan bukti intuisi politik yang tajam dan kepekaan nurani yang tinggi. Beliau memahami bahwa kestabilan sosial harus dijaga melalui solusi yang adil dan menjaga martabat semua pihak.
Hijrah ke Madinah menandai fase baru dalam kepemimpinan Nabi. Beliau menjadi bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga kepala negara, pemimpin militer, negosiator internasional, dan arsitek tatanan sosial pluralistik. Piagam Madinah menjadi bukti kemampuan legislatif dan visi politik beliau yang sangat inklusif. Dalam dokumen tersebut, Nabi menetapkan prinsip-prinsip dasar negara multikultural berdasarkan keadilan, kesetaraan hak, perlindungan hukum, dan kesepakatan bersama. Tidak ada paksaan keyakinan, tetapi ada kohesi sosial sebagai bagian dari identitas bersama sebagai umat Madinah.
Kebijaksanaan Nabi juga sangat menonjol dalam pengambilan keputusan politik pada masa-masa kritis. Perjanjian Hudaibiyah adalah contoh paling nyata. Meskipun secara lahiriah tampak merugikan, Nabi melihat jauh ke depan. Beliau memilih jalur damai yang strategis, yang kemudian membuka jalan bagi penyebaran Islam secara lebih luas. Ini menunjukkan tingkat kesabaran strategis yang sangat tinggi, yakni kemampuan untuk menunda tindakan reaktif demi tercapainya kemenangan hakiki dalam jangka panjang.
Puncak kebesaran politik beliau tampak saat penaklukan Makkah. Alih-alih melakukan pembalasan sebagaimana tradisi penguasa pada umumnya, Nabi justru memberikan pengampunan massal kepada musuh-musuh lamanya. Pilihan ini tidak hanya memperlihatkan keluhuran akhlak, tetapi juga memperkuat legitimasi moral dan politik beliau. Ia menunjukkan bahwa kemenangan sejati tidak terletak pada dominasi, melainkan pada kemampuan untuk memaafkan dan merekonsiliasi.
Dalam perspektif psikologi politik, kepemimpinan Nabi mencerminkan karakter moral statesman. Ia menjadikan etika dan spiritualitas sebagai landasan utama dalam bertindak. Nabi memiliki kecerdasan empatik yang luar biasa, mampu membaca psikologi kolektif masyarakat dan meresponsnya secara tepat. Kepemimpinan beliau bersifat karismatik, namun karisma itu tidak dibangun di atas pencitraan atau manipulasi, melainkan berasal dari integritas moral dan konsistensi perilaku.
Sebagai politikus agung, Nabi tidak hanya mengatur kekuasaan, tetapi juga mendidik umat untuk matang secara spiritual dan sosial. Ia menciptakan budaya politik baru yang berorientasi pada kebenaran dan amanah, bukan pada kepentingan pragmatis. Politik beliau bersifat transformatif—membangkitkan manusia dari keterpurukan menuju kemuliaan, dari konflik menuju persatuan, dari kebodohan menuju kesadaran.
Namun demikian, tantangan besar masa kini terletak pada mentalitas kolektif yang mengalami kemunduran spiritual. Masyarakat modern sering kali menjadikan kekuasaan sebagai tujuan absolut dan menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Politik uang, klenik, dan bahkan manipulasi simbol-simbol religius telah menjadi bagian dari strategi yang dianggap normal. Tidak sedikit yang mencari jalan pintas melalui praktik perdukunan, sihir, dan ritual ziarah kubur yang bertujuan politis. Ini mencerminkan gejala regresi psikologis—di mana nalar digantikan oleh ketakutan, dan ikhtiar digantikan oleh ketergantungan metafisik yang irasional.
Lebih mengkhawatirkan lagi, berkembangnya pandangan keliru bahwa takdir manusia sudah sepenuhnya ditentukan dan tidak bisa diubah. Akibatnya, lahirlah sikap fatalistik yang membunuh semangat perjuangan. Padahal dalam ajaran Nabi, takdir tidak pernah menjadi dalih untuk menyerah. Takdir adalah ruang ujian dan amanah yang harus direspons dengan usaha, doa, dan keberanian mengambil keputusan. Nabi tidak pernah mengajarkan untuk berpasrah pada keadaan tanpa ikhtiar. Justru sebaliknya, beliau adalah teladan utama dalam menjadikan proses syariat sebagai jalan utama untuk mewujudkan tujuan hidup, termasuk dalam hal politik.
Tujuan politik dalam Islam tidak dapat dicapai dengan cara yang bertentangan dengan syariat. Keberhasilan politik hanya memiliki nilai jika dicapai melalui kejujuran, keadilan, dan komitmen terhadap nilai-nilai ilahiah. Nabi mengajarkan bahwa proses adalah bagian dari ibadah, bukan semata alat untuk hasil. Oleh karena itu, keberhasilan politik sejati bukan terletak pada kemenangan elektoral atau dominasi kekuasaan, melainkan pada kesesuaian antara cara dan tujuan dengan nilai-nilai yang diridhai Allah.
Di tengah krisis moral dan spiritual dalam politik kontemporer, model kenabian menjadi koreksi dan cahaya penuntun. Politik kehilangan rohnya ketika dipisahkan dari dimensi transendental. Muhammad SAW telah membuktikan bahwa kepemimpinan sejati hanya dapat dibangun di atas fondasi ruhani yang kokoh, keadilan yang tak tergoyahkan, dan keberanian untuk menempuh jalan yang benar meskipun berat secara duniawi.
Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang rasul yang membawa risalah, tetapi juga negarawan besar yang berhasil menyatukan visi langit dengan realitas bumi. Kepemimpinan beliau adalah sintesis antara spiritualitas dan politik praktis. Ia adalah model utama bagi siapa pun yang ingin menapaki jalan kepemimpinan bermoral dalam masyarakat yang penuh tantangan, kegaduhan, dan krisis nilai.
Allahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar