Breaking News

SERAGAM SEKOLAH DARI TINJAUAN FILOSOFIS DAN SOSIAL | Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D


INDRAGIRI.com, OPINIAda satu hal yang sering kali luput kita renungkan dari keseharian siswa di sekolah, yaitu keberadaan seragam. Ia tampak sederhana, hanya sebatas pakaian yang harus dikenakan setiap hari. Namun di balik keseragaman itu sesungguhnya terkandung makna yang jauh lebih dalam. Pernahkah kita merenungi bahwa seragam yang dikenakan oleh para siswa di sekolah itu bukan sekadar pakaian. Ia sejatinya adalah simbol dari elemen penting yang berkaitan erat dengan output akhir dari sebuah pendidikan, yakni sebuah penanda sosial, bahkan refleksi filosofis tentang arti pendidikan itu sendiri.

Seragam menghadirkan prinsip kesetaraan. Di ruang kelas, tidak ada lagi perbedaan antara anak yang berasal dari keluarga berada dan anak dari keluarga sederhana. Mereka duduk di bangku yang sama, mengenakan pakaian yang serupa, dan menempuh pelajaran yang sama. Dengan kata lain, seragam meniadakan hirarki yang biasanya sangat kentara di luar sekolah. Di luar, mungkin ada perbedaan mobil antar-jemput, model hape yang digunakan, atau gaya hidup keluarga yang menonjol. Tetapi begitu masuk ke sekolah, semua itu ditanggalkan. Yang tersisa hanyalah identitas utama mereka: seorang pelajar.

Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya Émile, ou De l’éducation pernah menegaskan bahwa pendidikan sejatinya merupakan proses yang membentuk manusia agar dapat hidup sebagai manusia. Pesan ini sejalan dengan makna penerapan penggunaan seragam sekolah tersebut. Bahwa sekolah tidak semestinya menjadi arena untuk mempertontonkan perbedaan sosial, melainkan ruang di mana setiap siswa dilatih untuk memaknai hidup secara sejajar sebagai manusia.

Seragam juga memiliki dimensi filosofis yang menumbuhkan dan meneguhkan kesadaran kolektif. Disiplin berseragam sekolah mengandung arti rigid yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah perjalanan individual semata, melainkan perjalanan bersama. Sama seperti konsep eksistensialisme Sartre yang menilai manusia dibentuk oleh cara ia “mengada” (baca: eksis), seragam memberi arah eksistensi seorang siswa bahwa keberadaannya di sekolah adalah sebagai bagian dari komunitas dengan skala yang luas. Kendati identitas personalnya tidak bisa dinafikan, namun seragam mengingatkan bahwa ada identitas kolektif yang lebih besar: mereka adalah pelajar yang sedang menempuh jalan ilmu bersama-sama.

Lebih jauh lagi, berseragam di sekolah menjadi latihan awal bagi siswa untuk memahami makna disiplin. Kepatuhan terhadap aturan berpakaian seragam sesungguhnya bukan soal teknis semata. Ia adalah simbol kepatuhan pada sistem, pada tata tertib, dan pada nilai yang mengikat sebuah komunitas pendidikan. Kant, bapak filsuf Jerman itu pernah menekankan pentingnya duty atau kewajiban moral sebagai fondasi etika manusia. Seragam sekolah adalah representasi konkret dari kewajiban itu: kewajiban yang sangat sederhana namun melatih seorang siswa untuk taat, konsisten, dan bertanggung jawab.

Tanpa penegakan disiplin seragam sekolah, pendidikan berpotensi menjadi ruang kompetisi yang tidak sehat. Bayangkan jika setiap siswa bebas memakai pakaian apa saja sesuai latar belakang ekonomi keluarganya. Mereka yang berasal dari kalangan mampu mungkin akan tampil dengan busana bermerek, sementara yang lain merasa rendah diri karena tidak mampu menandinginya. Di sinilah seragam berfungsi sebagai “tirai” yang menutupi perbedaan ekonomi agar siswa bisa fokus pada substansi: belajar.  John Dewey, filsuf pendidikan Amerika, menyebut pendidikan sebagai “a process of living and not a preparation for future living.” Artinya, sekolah adalah ruang latihan kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan yang sehat mestinya meniadakan diskriminasi sosial yang berbasis pada penampilan lahiriah.

Pada akhirnya, seragam bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah simbol filosofis. Simbol kesetaraan sosial, kebersamaan, dan disiplin. Simbol bahwa pendidikan adalah untuk semua, tanpa membeda-bedakan siapa pun. Maka, setiap kali siswa mengenakan seragam sekolah, sesungguhnya ia sedang mengikrarkan dirinya sebagai bagian dari sebuah komunitas belajar yang egaliter. Wallahu a'lam.@


Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D
Guru PAI di Bakti Mulya 400, juga tercatat sebagai Research Fellow di beberapa lembaga seperti Fath Institute for Islamic Research Jakarta, IRDAK Institute of Singapore, Asia-Pacific Journal on Religion and Society, Institute for Southeast Asian Islamic Studies, Islamic Linkage for Southeast Asia, Anggota Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Badan Koordinasi Muballigh Indonesia Prov. Kepri, Anggota ICMI Prov. Kepri, Pembina Ikatan Wartawan Online Indonesia Prov. Kepri, dan aktif menulis mengenai isu-isu pendidikan selain politik, sosial, dan ekonomi.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close