INDRAGIRI.com, OPINI - Ada satu hal yang sering kali luput kita renungkan dari keseharian siswa di sekolah, yaitu keberadaan seragam. Ia tampak sederhana, hanya sebatas pakaian yang harus dikenakan setiap hari. Namun di balik keseragaman itu sesungguhnya terkandung makna yang jauh lebih dalam. Pernahkah kita merenungi bahwa seragam yang dikenakan oleh para siswa di sekolah itu bukan sekadar pakaian. Ia sejatinya adalah simbol dari elemen penting yang berkaitan erat dengan output akhir dari sebuah pendidikan, yakni sebuah penanda sosial, bahkan refleksi filosofis tentang arti pendidikan itu sendiri.
Seragam menghadirkan prinsip kesetaraan. Di
ruang kelas, tidak ada lagi perbedaan antara anak yang berasal dari keluarga
berada dan anak dari keluarga sederhana. Mereka duduk di bangku yang sama,
mengenakan pakaian yang serupa, dan menempuh pelajaran yang sama. Dengan kata
lain, seragam meniadakan hirarki yang biasanya sangat kentara di luar sekolah.
Di luar, mungkin ada perbedaan mobil antar-jemput, model hape yang digunakan,
atau gaya hidup keluarga yang menonjol. Tetapi begitu masuk ke sekolah, semua
itu ditanggalkan. Yang tersisa hanyalah identitas utama mereka: seorang
pelajar.
Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya Émile, ou De l’éducation pernah menegaskan
bahwa pendidikan sejatinya merupakan proses yang membentuk manusia agar dapat
hidup sebagai manusia. Pesan ini sejalan dengan makna penerapan penggunaan
seragam sekolah tersebut. Bahwa sekolah tidak semestinya menjadi arena untuk
mempertontonkan perbedaan sosial, melainkan ruang di mana setiap siswa dilatih
untuk memaknai hidup secara sejajar sebagai manusia.
Seragam juga memiliki dimensi filosofis yang menumbuhkan
dan meneguhkan kesadaran kolektif. Disiplin berseragam sekolah mengandung arti rigid
yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah perjalanan individual semata,
melainkan perjalanan bersama. Sama seperti konsep eksistensialisme Sartre yang
menilai manusia dibentuk oleh cara ia “mengada” (baca: eksis), seragam memberi
arah eksistensi seorang siswa bahwa keberadaannya di sekolah adalah sebagai
bagian dari komunitas dengan skala yang luas. Kendati identitas personalnya tidak
bisa dinafikan, namun seragam mengingatkan bahwa ada identitas kolektif yang
lebih besar: mereka adalah pelajar yang sedang menempuh jalan ilmu bersama-sama.
Lebih jauh lagi, berseragam di sekolah menjadi
latihan awal bagi siswa untuk memahami makna disiplin. Kepatuhan terhadap
aturan berpakaian seragam sesungguhnya bukan soal teknis semata. Ia adalah
simbol kepatuhan pada sistem, pada tata tertib, dan pada nilai yang mengikat
sebuah komunitas pendidikan. Kant, bapak filsuf Jerman itu pernah menekankan
pentingnya duty atau kewajiban moral
sebagai fondasi etika manusia. Seragam sekolah adalah representasi konkret dari
kewajiban itu: kewajiban yang sangat sederhana namun melatih seorang siswa untuk
taat, konsisten, dan bertanggung jawab.
Tanpa penegakan disiplin seragam sekolah,
pendidikan berpotensi menjadi ruang kompetisi yang tidak sehat. Bayangkan jika
setiap siswa bebas memakai pakaian apa saja sesuai latar belakang ekonomi
keluarganya. Mereka yang berasal dari kalangan mampu mungkin akan tampil dengan
busana bermerek, sementara yang lain merasa rendah diri karena tidak mampu
menandinginya. Di sinilah seragam berfungsi sebagai “tirai” yang menutupi
perbedaan ekonomi agar siswa bisa fokus pada substansi: belajar. John Dewey, filsuf
pendidikan Amerika, menyebut pendidikan sebagai “a process of living and not a
preparation for future living.” Artinya, sekolah adalah ruang latihan kehidupan
itu sendiri. Dan kehidupan yang sehat mestinya meniadakan diskriminasi sosial
yang berbasis pada penampilan lahiriah.
Pada akhirnya, seragam bukan sekadar
formalitas administratif. Ia adalah simbol filosofis. Simbol kesetaraan sosial,
kebersamaan, dan disiplin. Simbol bahwa pendidikan adalah untuk semua, tanpa
membeda-bedakan siapa pun. Maka, setiap kali siswa mengenakan seragam sekolah,
sesungguhnya ia sedang mengikrarkan dirinya sebagai bagian dari sebuah
komunitas belajar yang egaliter. Wallahu a'lam.@
0 Komentar