![]() |
Ilustrasi |
INDRAGIRI.com, OPINI - Beriman kepada Yaumil Akhir berarti meyakini sepenuh hati bahwa kehidupan tidak berakhir dengan kematian. Setelah ruh berpisah dari jasad, akan ada kehidupan baru yang kekal di alam akhirat—sebuah keniscayaan yang diyakini umat Islam, di mana keadilan sejati akan ditegakkan.
Di sana, setiap amal perbuatan manusia, baik besar maupun kecil, akan diperhitungkan secara sempurna oleh Allah SWT. Tidak ada yang tersembunyi, tidak ada yang terlewat. Bahkan anggota tubuh manusia akan menjadi saksi atas semua tindakan selama hidup di dunia.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka lakukan...”
(QS. Fushilat: 20–21)
“Pada hari itu Kami tutup mulut mereka; tangan mereka berbicara kepada Kami, dan kaki mereka bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(QS. Yasin: 65)
Keadilan Ilahi dalam Timbangan Hisab
Iman kepada hari akhir adalah keyakinan bahwa semua amal manusia akan dihisab, ditimbang dengan mizān (timbangan ilahi), tanpa intervensi, tanpa manipulasi. Di hadapan Allah, setiap manusia akan berdiri sendirian—tanpa pembela, tanpa kuasa untuk berbohong.
Hisab ini merupakan pengadilan paling adil yang tak bisa ditunda atau disuap. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya).”
(QS. Az-Zalzalah: 7–8)
“Adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, ia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.”
(QS. Al-Qāri‘ah: 6–9)
“Dan tiap-tiap manusia telah Kami kalungkan catatan amalnya di lehernya; dan pada hari kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab yang terbuka: Bacalah kitabmu! Cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab terhadapmu.”
(QS. Al-Isrā’: 13–14)
Iman kepada Hari Akhir: Motivasi Hidup Berkemajuan
Kesadaran akan adanya Yaumil Hisab melahirkan motivasi spiritual yang kuat. Manusia menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, bukan tujuan akhir. Amal baik harus diperbanyak karena saat hisab tiba, tidak ada lagi kesempatan kedua.
Bagi mereka yang lalai dan menghabiskan waktu dalam kesia-siaan, penyesalan di akhirat akan sangat menyakitkan. Sayangnya, penyesalan itu tak lagi berguna.
Sebagaimana digambarkan Al-Qur’an:
"Yā laitani..." (Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu berbuat demikian...)
Namun permohonan itu akan ditolak, karena dunia adalah tempat beramal, dan akhirat adalah tempat pembalasan.
Penyesalan dalam Pandangan Psikologi
Dari sudut pandang psikologi, penyesalan adalah respons emosional ketika seseorang menyadari bahwa pilihannya di masa lalu berdampak negatif bagi kehidupannya kini. Ia muncul dari proses evaluasi diri dan perbandingan antara apa yang dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan. Ini menciptakan rasa bersalah, kehilangan peluang, dan kecemasan.
Namun di akhirat, penyesalan itu menjadi beban abadi. Tidak ada ruang untuk memperbaiki, hanya ada pembalasan atas setiap amal. Karena itu, hidup di dunia seharusnya dijalani dengan kesadaran penuh dan kesungguhan, bukan hanya mengikuti arus kenikmatan sesaat.
Teologi Yaumil Akhir sebagai Pendorong Kemajuan
Beriman kepada Yaumil Akhir bukan hanya tentang keimanan abstrak, tapi juga teologi kemajuan. Ia mendorong manusia untuk hidup penuh makna, menjauhi perbuatan sia-sia, dan senantiasa mempersembahkan yang terbaik dalam hidupnya.
Keyakinan ini mendorong terbentuknya kepribadian yang kuat, berorientasi akhirat namun tetap produktif di dunia. Karena ia sadar: setiap detik bernilai ibadah, setiap amal memiliki konsekuensi abadi.
Dengan demikian, iman kepada hari akhir menjadi pondasi spiritual bagi kemajuan, baik secara individu maupun kolektif umat.
Allāhu a‘lam biṣ-ṣhawāb.
0 Komentar