Breaking News

Berdamai dengan Diri Sendiri | Prof. Dr. Khairunnas Rajab

 

Istilah “berdamai dengan diri sendiri” telah lama dikenal sebagai proses penerimaan diri secara utuh—menerima masa lalu, kelemahan, dan luka batin tanpa penolakan.

Kelukaan, kegundahan, dan tekanan psikologis adalah bagian alami dari kehidupan emosional manusia. Semua itu merupakan respons terhadap kehilangan, penolakan, kekecewaan, atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Namun sesungguhnya, pengalaman menyakitkan tidak selalu menjadi tanda kehancuran; justru di dalamnya terdapat potensi transformasi diri yang paling dalam.

Ketika seseorang berani mengakui luka sebagai bagian dari perjalanan hidup, maka penderitaan menjadi guru kebijaksanaan. Luka mengajarkan ketabahan, kegelisahan membuka ruang refleksi, dan tekanan batin menuntun seseorang menemukan keseimbangan baru antara keinginan dan realitas.

Pada titik itu, jiwa mulai beralih dari penolakan menuju penerimaan, dari pergulatan menuju ketenangan, hingga mencapai kondisi nafs al-muthmainnah—jiwa yang damai karena berdamai dengan takdir dan dirinya sendiri.


Makna Sejati Berdamai dengan Diri Sendiri

Banyak yang salah paham bahwa berdamai berarti pasrah atau menyerah. Padahal, hakikatnya jauh lebih dalam. Berdamai dengan diri sendiri bukan tentang mengabaikan luka atau menolak kenyataan, melainkan rekonsiliasi aktif antara kesadaran, pengalaman, dan nilai-nilai diri.

Berdamai berarti mengenali konflik batin tanpa menghakimi, menerima keterbatasan manusiawi tanpa kehilangan semangat untuk tumbuh. Ia adalah proses menerima masa lalu tanpa terperangkap di dalamnya, dan menjalani masa kini dengan tanggung jawab emosional serta kebijaksanaan.

Inilah bentuk kebebasan psikologis dan spiritual—saat seseorang tidak lagi hidup berdasarkan penilaian orang lain, melainkan menemukan sumber ketenangan di dalam dirinya sendiri.


Keseimbangan antara Penerimaan dan Pengembangan Diri

Berdamai dengan diri sendiri bukan berarti pasif terhadap keadaan, tetapi berdiri tegak dalam realitas tanpa kehilangan arah dan makna. Kesadaran ini menuntun seseorang memahami batas antara diri dan orang lain: bahwa setiap individu memiliki pengalaman, cara pandang, dan perjalanan batin yang berbeda.

Maka, berdamai berarti mampu menerima perbedaan tanpa kebencian, memahami tanpa harus menyetujui, dan tetap tenang meski tidak selalu dimengerti.

Sikap ini tidak lahir dari empati semata, melainkan dari kejujuran dalam mengenali diri sendiri. Seseorang yang berdamai tidak sibuk menuntut kesempurnaan, tetapi belajar tumbuh dari keterbatasan.

Ia sadar bahwa ketenangan tidak lahir dari pencapaian eksternal, melainkan dari penerimaan terhadap realitas diri yang sedang berkembang


Melepaskan Racun Emosional

Berdamai dengan diri sendiri juga berarti membersihkan jiwa dari racun emosional seperti dendam, iri hati, dan kebencian.

Ketiga hal ini tumbuh dari jiwa yang belum tenang—jiwa yang masih terikat pada luka, perbandingan, dan penolakan terhadap takdir.

Dendam membuat seseorang terus hidup dalam bayangan masa lalu, iri hati menumbuhkan rasa tidak pernah cukup, dan kebencian menguras energi batin hingga menutup ruang kasih sayang.

Dalam perspektif psikologis, racun emosional ini menyebabkan stres, kecemasan, depresi, bahkan penyakit psikosomatik.

Sedangkan dalam pandangan psiko-spiritual Islam, ia termasuk amradh an-nafs (penyakit jiwa), karena menghalangi cahaya hati dan menutup jalan menuju sakinah (ketenangan).

Jiwa yang masih dikuasai dendam dan iri sulit merasakan ikhlas dan kasih Ilahi.


Berdamai sebagai Tazkiyatun Nafs

Dalam Islam, proses berdamai dengan diri sendiri adalah bagian dari tazkiyatun nafs—penyucian jiwa.

Ia merupakan perjalanan spiritual untuk menata batin, menyembuhkan luka, dan membangun kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap pengalaman hidup.

Melalui tazkiyah, seseorang belajar melepaskan diri dari pengaruh negatif, membuang ego berlebihan, dan menumbuhkan kerendahan hati.

Berdamai dengan diri sendiri berarti menumbuhkan sikap cukup (qana‘ah), tenang (sakinah), dan bersyukur (syukr).

Ketika jiwa telah menemukan keseimbangan ini, ia tak lagi dikuasai oleh dorongan untuk selalu menang, selalu benar, atau selalu dipuji. Sebaliknya, ia menemukan kebahagiaan sejati dalam ketenangan dan penerimaan.


Kematangan Spiritual dan Psikologis

Kematangan jiwa yang berdamai dengan diri sendiri tercermin dalam prinsip “Lakum dīnukum wa liya dīn”  bagimu jalanmu, bagiku jalanku.

Ungkapan ini bukan bentuk penolakan terhadap orang lain, melainkan pernyataan kedewasaan spiritual: bahwa setiap manusia memiliki jalan hidup, proses batin, dan pandangan sendiri yang tidak perlu dipaksakan untuk sama.

Berdamai dengan diri sendiri adalah puncak kesadaran spiritual dan psikologis. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada perubahan dunia luar, melainkan pada perubahan sikap batin terhadap dunia itu sendiri.


Allāhu a‘lam biṣ-ṣhawāb.


0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close