Breaking News

Koruptor, Gejolak Jiwa dan Keseimbangan Mental | Prof. Dr. Khairunnas Rajab


 

INDRAGIRI.com, OPINI - Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, atau kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan cara yang melanggar hukum, moral, dan keadilan sosial.

Tindakan koruptif tidak muncul tiba-tiba; ia tumbuh perlahan dari penyimpangan kecil dalam niat dan moral, yang dibiarkan tanpa koreksi. Awalnya mungkin hanya ketidakjujuran ringan atau pembenaran diri atas kesalahan kecil, namun lama-kelamaan berubah menjadi kebiasaan yang sistematis, ketika kontrol diri melemah dan rasa takut kepada Tuhan hilang.

Korupsi bukan hanya terjadi di kalangan pejabat atau pemegang kekuasaan. Siapa pun yang mengabaikan nilai kejujuran dan tanggung jawab bisa terjangkit penyakit ini. Dalam makna luas, korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, baik dalam pekerjaan, pendidikan, maupun kehidupan sosial.


Korupsi dan Ketimpangan Batin

Korupsi bukan sekadar kejahatan sosial, tetapi juga penyakit kejiwaan dan spiritual. Ia muncul ketika keseimbangan antara akal, hati, dan nafsu terganggu.

Ketika nafsu serakah menguasai hati, akal kehilangan arah, dan nurani menjadi tumpul. Dalam keadaan ini, pelaku korupsi tampak tenang secara lahiriah, namun batinnya gelisah, cemas, dan penuh rasa bersalah. Ia kehilangan makna hidup, karena jiwanya terpenjara oleh ketamakan.

Korupsi merusak keseimbangan batin, menjauhkan manusia dari ketenteraman yang lahir dari nilai kejujuran. Ia menumbuhkan kehampaan spiritual—sebuah penderitaan jiwa yang tersembunyi di balik kemewahan semu.

Kejahatan ini sering kali merupakan pelarian dari kegelisahan batin, ketika seseorang gagal menata konflik antara keinginan duniawi dan suara moral dalam dirinya.


Akar Korupsi: Hilangnya Kepekaan Nurani

Setiap perilaku koruptif berawal dari pengkhianatan kecil terhadap diri sendiri. Ketika seseorang mulai menipu nuraninya, ia membuka celah bagi dosa yang lebih besar.

Kebohongan kecil yang dianggap sepele perlahan mengikis integritas, hingga akhirnya seseorang terbiasa berbuat salah tanpa merasa bersalah.

Nilai kebenaran yang dulu dijunjung tinggi kini tampak kabur; dosa yang dulu terasa berat kini terasa biasa.

Godaan material menjadi pemicu utama. Hasrat untuk memiliki lebih banyak, ingin diakui, atau ingin cepat kaya sering kali membuat manusia mengabaikan nilai kejujuran dan keadilan.

Dalam pola hidup yang pragmatis dan hedonistik, keberhasilan tidak lagi diukur dari ketulusan amal, tetapi dari seberapa besar harta dan pujian yang diperoleh.


Menemukan Keseimbangan Jiwa

Keseimbangan antara akal, qalbu, dan nafsu adalah kunci untuk menjaga kejujuran dan kesehatan moral.

Akal berfungsi menimbang benar dan salah, qalbu menjadi pusat kepekaan spiritual, dan nafsu harus dikendalikan agar tidak melampaui batas.

Jika ketiganya harmonis, maka akan lahir integritas diri yang kokoh dan kesadaran moral yang sejati.

Untuk memberantas perilaku koruptif, pembenahan harus dilakukan dari dalam kesadaran spiritual manusia, bukan hanya lewat sistem hukum.

Kejujuran harus ditanamkan sebagai nilai luhur kemanusiaan, bukan sekadar norma sosial.

Pendidikan karakter dan pembinaan etika berbasis spiritualitas perlu dikembangkan sejak dini, agar manusia tumbuh dengan hati yang jernih dan pikiran yang jujur.


Spiritualitas Anti-Korupsi

Kesadaran spiritual adalah penangkal paling kuat terhadap mentalitas koruptif. Ia menumbuhkan empati, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap sesama.

Korupsi adalah pengkhianatan terhadap nurani, karena ia memutus ikatan kasih dan solidaritas sosial yang dibangun atas dasar keadilan dan kejujuran.

Untuk mengakhiri budaya korupsi di Indonesia, perlu restrukturisasi nilai dan mentalitas bangsa.

Pendidikan harus menjadi instrumen pembentuk karakter yang menumbuhkan integritas, keberanian moral, dan kesadaran etis.

Generasi muda perlu dididik agar jujur dalam tindakan, kritis terhadap penyimpangan, dan berani menegakkan kebenaran.


Membangun Peradaban Bersih dari Korupsi

Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hukum; ia membutuhkan revolusi batin.

Internalitas diri, kesadaran sosial, kemampuan empatik, dan adab yang mendahului ilmu adalah senjata spiritual dalam membangun bangsa yang bermartabat.

Internalitas diri meneguhkan kompas moral dalam jiwa. Kesadaran sosial menumbuhkan tanggung jawab terhadap sesama. Kemampuan empatik melatih kepekaan terhadap penderitaan dan ketidakadilan. Adab di atas ilmu memastikan bahwa pengetahuan digunakan untuk kemaslahatan umat.

Ketika empat unsur ini menyatu dalam diri manusia, maka korupsi tidak lagi memiliki tempat karena manusia telah kembali pada fitrah nuraninya: jujur, beradab, dan bertanggung jawab.


Allāhu a‘lam biṣ-ṣhawāb.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close