INDRAGIRI.com, OPINI - Di negeri ini, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat dari tahun ke tahun.
Di media sosial, berita tentang pelecehan di sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan penelantaran anak muncul nyaris setiap hari sampai-sampai sebagian dari kita mulai kebal melihatnya.
Tapi sesungguhnya, ini bukan sekadar berita.
Ini adalah tanda bahaya sosial yang menuntut kesadaran bersama.
Karena, sebagaimana kata Eleanor Roosevelt:
> “Kemanusiaan diukur dari bagaimana kita memperlakukan mereka yang paling lemah.”
Data KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menunjukkan ribuan laporan kekerasan setiap tahunnya, dan angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi karena banyak korban tidak berani melapor.
Mirisnya, sebagian besar pelaku justru orang yang dikenal dekat: orang tua, guru, pacar, bahkan pasangan sah.
Dan anak-anak, yang seharusnya tumbuh dengan aman, malah menyimpan trauma yang membentuk luka batin hingga dewasa.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya melukai tubuh, tapi juga mengubah struktur psikologis korban.
Anak yang hidup dalam kekerasan cenderung: kehilangan rasa percaya, sulit mengatur emosi, dan rentan meniru pola kekerasan itu di masa depan.
Sedangkan perempuan korban kekerasan kerap terjebak dalam lingkaran rasa bersalah, takut bicara karena stigma sosial, dan akhirnya memilih diam dalam penderitaan.
> Diam mereka bukan tanda kuat — tapi tanda bahwa kita gagal memberi ruang aman.
Perlindungan Bukan Tanggung Jawab Satu Lembaga
Perlindungan perempuan dan anak tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Ia butuh kalibrasi dan koordinasi banyak pihak:
1. Dinas Pendidikan zdan Kementrian Agama
Harus aktif membangun sistem deteksi dini di sekolah: melatih guru mengenali tanda kekerasan, membentuk unit layanan konseling yang aman, dan memastikan sekolah menjadi ruang belajar yang ramah anak.
2. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Dapat berperan dalam pengawasan terhadap anak jalanan, pekerja anak, dan kasus eksploitasi di ruang publik.
Mereka bukan sekadar penegak ketertiban, tapi juga penjaga ruang sosial.
3. Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak)
Wajib memberi pelayanan yang berempati,
bukan menginterogasi korban seolah mereka bersalah. Penanganan yang salah bisa menambah trauma baru.
4. Dinas Sosial (Dinsos)
Menjadi ujung tombak pemulihan psikososial: menyediakan rumah aman, layanan psikologis, dan program reintegrasi sosial bagi korban.
5. Masyarakat dan Tokoh Lokal
Harus berhenti menormalisasi kekerasan dengan alasan “aib keluarga.”
Budaya diam adalah sekutu bagi pelaku.
Pendekatan yang Perlu Diubah
Selama ini, kita sering bergerak setelah ada korban. Padahal, perlindungan sejati bukan soal reaksi, tapi pencegahan. Diperlukan, edukasi kesetaraan gender sejak dini. Anak laki-laki dan perempuan harus sama-sama diajarkan empati, bukan dominasi.
Program parenting dan literasi emosi untuk orang tua. Banyak kekerasan lahir dari ketidaktahuan, bukan niat jahat.
Kolaborasi lintas sektor yang terukur.
Tidak cukup “kerja sama simbolik,” tapi kerja nyata dengan sistem berbagi data dan pelaporan terpadu.
Dalam nilai-nilai keagamaan apa pun, perempuan dan anak adalah amanah, bukan milik..Islam, misalnya, meletakkan dasar yang jelas:
> “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” (HR. Tirmidzi)
Artinya, melindungi mereka bukan sekadar urusan sosial, tapi tanda iman dan kematangan moral.
Perlindungan perempuan dan anak bukan sekadar tugas dinas atau lembaga. Ia adalah tanggung jawab moral setiap hati yang masih peka. Karena dari rahim perempuan dan dari tawa anak-anaklah masa depan tumbuh.
Dan jika kita gagal melindungi mereka hari ini, maka jangan salahkan generasi esok jika mereka tumbuh tanpa rasa kasih.
> “Anak yang tidak dipeluk desa,
akan membakar desa itu untuk merasakan kehangatannya.” Pepatah Afrika
Melindungi perempuan dan anak bukan tugas tambahan dari negara, tapi inti dari keberadaban manusia. (*)

0 Komentar